Mohon tunggu...
Suryananda Mandar
Suryananda Mandar Mohon Tunggu... -

Alumni Universitas AL Asyariah Mandar, Mahasiswa Pascasarjana Program Magister (S2) Ilmu Politik Universitas Nasional Jakarta, Asal Mandar Sulawesi Barat Indonesia, Aktif Sebagai Kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indoneisa (PMII)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Restorasi Kebangsaan Dalam Pemilu “Menciptakan Pendidikan Politik Bagi Pemilih Pragmatis”

27 Juli 2014   02:36 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:05 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Restorasi, tentu term ini jika tidak didalami secara cermat, maka kita pasti beranggapan bahwa restorasi merupakan mansterm berfikir yang radikal dalam menghadapi persoalan bangsa. Terlibih lagi ketika, dirujuk istilah restorasi ini, mengigatkan kita pada peristiwa Kudeta kekaisaran di Jepang pada tahun 1868, yang dikenal sebagai peristiwa “ Restorasi Meiji”, revolusi meiji atau pembaruan meiji.

Restorasi ini menyebabkan perubahan besar- besaran pada struktur politik dan sosial di Jepang, hal ini berlanjut hingga zaman Edo (Akhir Keshogunan Tokugawa) disinilah dumulainya  Zaman meiji. Restoraisi ini terjadi oleh karna perjanjian shimoda dan perjanjian towsen harris yang dilalakukan oleh komodor matthew perry dari Ammerika serikat.

Lantas bagaimana dengan indonesia ?

Bangsa Indonesia sebagai Negara berdaulat, serta pola pemerintahan yang dianutnya tentu sudah mengalami revolusi diberbagai era. Sejak tahun 1945 indonesia pernah berganti system pemerintahan, Indonesia pernah menerapkan kedua sistem presidensial dan perlementer.

Akan tetapi atmosfir politiknya, belum sejalan dengan kesejahteraan rakyat indonesia. Situasi politik bangsa ini, memksa untuk memilih sistem Demokrasi. Konsep tersebut digunakan sebagaimana beberapa negara lain di dunia, dalam memilih pemimpin dan wakil rakyat, disebutlah Pemilu.

Pemilihan Umum, suatu proses di mana para pemilih menentukan pilihan pada orang untuk mengisi jabatan-jabatan politik tertentu. Jabatan yang akan disini cukup bervariasi , mulai dari presiden, wakil rakyat samapai pada tingkat pemerintahan desa.

Pada konteks yang lebih luas, pemilu dapat juga berarti proses mengisi jabatan-jabatan keorganisasian. Sistem pemilu ini disebut sebagai proses demokrasi, yang berasas luber dan jurdil.

Para pemilih merupakan konstituen, kepada merekalah para peserta pemilu menawarkan janji politiki dan programnya pada masa kampanye samapai menjelang hari pemungutan suara.

Setelah pemungutan suara  dilakukan, proses penghitungan dimulai. pemenang pemilu ditentukan oleh aturan main atau sistem penentuan pemenang yang sebelumnya telah ditetapkan dan disetujui oleh para peserta, dan disosialisasikan ke para pemilih.

Akan tetapi hal yang sangat penting untuk direfleksi dari pemilu ialah fenomena pemilih pragmatis.Kecenderungan ini terjadi sejak mulai diterapkannya sistem demokrasi di Indonesia dalam bentuk pemilihan langsung. Demokrasi pada dasaranya cukup ideal untuk melihat aspirasi rakyat. Akan tetapi tidak jarang pula, pola politik para politisi memaksa terciptanya para pemilih pragmatis.

Apakah hal tersebut telah menunjukkan cita–cita demokrasi?

Dominannya pemilih pragmatis pada beberapa pemilihan kepala daerah di indonesia, termasuk pemilu 9 april 2014. Disebut pragmatis, karena pilihan akan  ditentukan sesaat sebelum berangkat ke TPS. Masyarakat cenderung lebih memilih memilih figure, dengan berbagai alsan.

Masyarakat enggan memilih karakter yang berkapasitas, mereka cenderung buta dengan hal tersebut, malah anggapan yang miris ialah ketika masayarakat tidak sanggup menentukan sikap, dikarenakan tidak ada jaminan kriteria pemimpin yang ideal, anehnya lagi, pemilih juga tergantung, berapa jumlah transaksi politik (Money Politik).

Hal tersebut membuat sistem demokrasi harus difikirkan kembali untuk diterapkan di Indonesia atau mengkaji ulang substansi demokrasi tersebut. Pemimpin, presiden, kepala daerah tidak cukup hanya sekedar jujur, merakyat dan punya banyak uang, akan tetapi butuh kapasitas, gasan yang tepat sasaran dan jaringan yang luas.

Mestinya ada refleksi, bahwasanya, Bangsa Indonesia butuh perubahan. Salah satu terobosannya ialah, merubah pola politik atau merefres substansi demokrasi.

Kebangkitan dan atau perubahan yang substansial adalah perubahan yang tidak dinodai oleh pragmatisme politik dan politik transaksional, tapi perubahan yang bersumber dari semangat dan cita-cita luhur bangsa serta dilandasi nilai-nilai perjuangan, keikhlasan dan pengabdian.

Inspirasi perubahan selalu berawal dari kegelisahan-kegelisahan akan kondisi negara yang tidak kunjung membawa kemakmuran. Karena itu masyarakat, para aktivis mahasiswa dan generasi muda serta pemilih pemula yang masih mempunyai idealisme dan cita-cita besar tentang Indonesia, tentu merasa gelisah dengan kondisi bangsa saat ini. Karena itu Pemilu 2014 adalah momentum yang tepat bagi perubahan bangsa.

Akan tetapi pemilu 2014, banyak menysakan kenyataan tentang pragmatisme dan keberadaan Partai Politik” caleg”kader dan simpatisan yang bertarung, lebih memanfaatkan ketokohan dan membuat statement di media massa untuk menaikan simpatik dari masyarakat agar lebih mendukung caleg maupun parpolnya.

Pragmatisme pemilih merupakan gejala buruk dari demokrasi kita. Disebut demikian, sebab proses memilih para pemilih tak lagi berbasis pada kriteria-kriteria yang dirasa layak-sebagaimana keinginan demkrasi. Seperti mampu berbuat adil, menjunjung supremasi hukum dan sebagainya. Namun didasarkan pada transaksi material yang diterima sebelum memilih. Isilah tersebut, menunggu sesuatu untuk memastikan pilihan". .

Fenomena pragmatisme pemilih dapat dijelaskan sebagai efek keringnya pemahaman akan hak-hak politik warga negara. Ini berarti tak ada kemajuan signifikan dalam pengalaman berdemokrasi kita setidaknya pasca reformasi.

Lantas, siapa yang paling bertanggungjawab untuk urusan seperti ini? Pemerintah, penyelenggara dan parpol lah yang bertanggung jawab. Tugas mereka adalah melakukan sosialisasi hak-hak politik warga negara kepada masyarakat..

Pemilih pragmatis dapat pula difahami sebagai bentuk resistensi politik masyarakat pemilih terhadap para aktor politik. Itu merupakan resistensi atas sikap elit yang cenderung tidak memberikan perhatian ketika telah duduk dikursi kekuasaan. Pengalaman menjadi pemilih ditingkat rakyat dirasakan sebagai pengalaman buruk; dijanji lalu tidak ditepati, dan ini berlangsung bertahun-tahun lamanya.

Sebut saja ungkapan yang telah lumrah "Lebih baik menerima pemberian sesuatu walau bersifat sesaat dari pada tidak mendapatkan apa-apa diesok hari selama lima tahun", kurang lebih begitu persepsi politik yang tumbuh dilevel bawah.

Namun fenomena pemilih pragmatis itu bisa jadi muncul, sebab lebih diawali oleh fenomena politisi pragmatis yang menjamur dimana-mana. Lihatlah misalnya, bagaimana politisi lokal kita mendistribusi baliho politiknya dalam jumlah besar di ruang-ruang strategis kota. Baliho politik itu setidaknya merupakan salah satu cara yang dianggapnya efektif untuk sosialisasi agar dirinya tidak asing  dimata publik. Lalu konsep gagsan dan terobosannya seperti apa ? dan telah berbuat apa dimasyarakat?.

Metode ini terasa instan dan pragmatis. Sebab, bukankah  idealnya seorang politisi justru wajib memiliki basis konstituen yang ril, memiliki kelompok pemilih yang konkrit yang akan diperjuangkannya?

Untuk membangun basis konstituen itu, maka tentu tak semudah mendistribusi baliho, atau tak segampang membalik telapak tangan. Intinya, membangun basis konstituen  harus berkeringat, bukan kerja praktis, melainkan harus lahir dari proses dialektis antara politisi dengan kelompok sosialnya itu sendiri.

Politisi pragmatis tidak saja dapat dilihat dari fenomena baliho itu. Namun dapat pula dilacak dari cara pandangnya terhadap rakyat. Bila politisi melihat rakyat semata sebagai "vote", bukan sebagai "voters" maka tak berlebih bila didefenisikan sebagai politisi pragmatis.

Cara pandang seperti ini mengisyaratkan lemahnya tanggung jawab politisi terhadap pemilihnya usai terpilih. Tak ada urusan dengan pemilih setelah terpilih. Habis manis sepah dibuang. Usai dipilih, rakyat dibuang.  Inilah representasi yang ditampilkan para politisi adalah reperesentasi semu.

Politisi pragmatis dapat dikenali pula saat akan berlangsung pemilu/pilkada.  Mereka menampakkan diri jelang momentum pemilu atau pilkada.  Dengan definisi lain, mereka  adalah politisi elektoral.

Bila tak ada momentum pemilu/pilkada, mereka pun tak hadir diruang-ruang publik, mereka absen dari ruang sosial. Sebaliknya, bila pemilu/pilkada segera digelar, satu persatu mereka hadir. Mereka berlomba hadir diruang-ruang sosial masyarakat. Bahkan, diantara mereka kadangkala rela menyambangi warga dengan cara door to door.

Upaya yang dilakukan politisi pragmatis itu tampak cukup kering muatan pendidikan politiknya, bahkan justeru bisa dikatakan sebagai manipulasi. Mereka hanya berusaha mengubah paradigma bahwa politik itu adalah kursi dan rezeki, tetapi tidak sampai pada politik adalah proses pengambilan keputusan publik.  Seperti apa keresahan rakyat Indonesia dalam menyikapi fenomena tersebut.?

Untuk menunjang hidup berkebangsaan dalam spesifik berpolitik yang lebih baik,  sejatinya, pemilih pragmatis tak boleh dibiarkan hadir terus menerus, sebab akan berdampak negatif terhadap demokratisasi, setidaknya demokrasi akan kehilangan makna substansinya bila pemilih prgamatis menjamur. Untuk itu, perlu antisipasi dalam mencegah meluasnya kelompok pemilih pragmatis ini.

Antisipasi yang memungkinkan ditunaikan adalah memperluas gerakan pendidikan politik untuk warga. Yang diperluas bukan semata-mata objek pendidikan politik itu, tetapi aktor pendidikan politik itupun perlu diperluas, sebab pemerintah dan parpol yang selama ini diamanahkan konstitusi sampai kini nampaknya tidak progressif menjalankan itu.

Karena itu, sudah saatnya rakyat indonesia, Oraganisasi mahasiswa  sebagai agen of change dan control social, para lembaga pendidikan,ormas, LSM, dan organsisasi masyarakat civil lainnya perlu mengambil alih peran pendidikan politik ini secara sadar. Perlu dibangunkan iklim yang memungkinkan mereka menjalankan pendidikan politik untuk warga.

Point utama gerakan pendidikan politik yang dimaksud  yaitu pendidikan politik yang bertumpu pada partisipasi politik, bukan pada mobilisasi politik atau partisipasi semata. Pendidikan politik yang tidak semata menekankan kesadaran kritis, tetapi juga kesadaran berpolitik rakyat.

Ini semuanya penting agar politik tidak lagi dianggap dosa dan demokrasi tidak jatuh ke tangan pemerkosa hak-hak rakyat. Model ini akan segera memperkuat sumber daya politik rakyat sebagai warga Negara

Sama halnya para politsi pragmatis, yang menjadi relasi penting para pemilih, dalam meminimalisasi politisi pragmatis, dibutuhkan komitmen parpol. Parpol sejatinya mereformasi pola rekruitmen kader/aktifis politiknya.

Secara normatif, rekruitmen politik ini mencakup, pemilihan, seleksi, dan pengangkatan seseorang atau sekelompok orang untuk melaksanakan sejumlah peranan dalam sistem politik pada umumnya dan pemerintah pada khususnya.

Parpol dalam melakukan rekruitmen politik selama ini cenderung pragmatis pula dalam "memilih-menyeleksi-mengangkat" kader politiknya, sehingga politisi yang lahir adalah politisi pragmatis pula.

Kecenderungan rekruitmen politik secara pragmatis ini tergambar dari (nyaris) hilanganya kaderisasi politik di internal parpol. Kaderisasi politik sebagai salah satu metode penting rekruitmen politik, kini tergantikan oleh metode "aklamasi" sang ketua umum Parpol bersangkutan.

Selain membuahkan politisi pragmatis dan karbitan, tiadanya metode rekruitmen politik yang rasional-demokratis ditubuh parpol juga akan berpotensi melahirkan konflik yang tidak produktif diinternal parpol.

Dengan demikian, semakin dibutuhkan hadirnya parpol yang mampu melahirkan kader/politisi yang tidak pragmatis, dan mampu bekerja ril untuk konstituennya/rakyat. Untuk mewujudkan ini, pola rekruitmen diinternal parpol melalui kaderisasi penting dijalankan secara berkelanjutan.

Melihat selama ini pola politik dan kampanye para politisi dominan pragmatis dan ditambah dengan para pemilih yang apatis sehingga Pemilu belum berkualitas. Dengan demikian keresahan ini  tentunya menjadi semangat restorasi kebangsaan dalam pemilu untuk menyonsong kesadaran masyarakat yang diharapkan menjadi pendorong kehidupan masayarakat yang lebih baik.

Selama ini kita berteriak dijalan, aksi dan bahkan advokasi, tentunya kader organisasi dapat berfikir pada problema yang lebih dekat pada kehidupan masyarakat sebagai korban gejolak politik di Indonesia.

Bagi masyarakat yang menyadari, baik dalam lingkar ormas dan parpol, dalam mengimplementasikan keresahan mesti melakukan gerakan yang menciptakan pendidikan politik bagi masyarakat, dan para politisi untuk merubah Politisi pragmatis dan pemilih pragmatis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun