Mohon tunggu...
Surya SINAGA
Surya SINAGA Mohon Tunggu... -

pekerja dan pemerhati sosial

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Desa Lagai di Bumi Sikerei

25 Oktober 2011   04:01 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:32 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sikerei merupakan julukan bagi orang yang menjadi dukun atau orang yang memiliki bakat untuk mengobati penyakit dan memimpin upacara adat di Mentawai. Sedangkan Laggai adalah sebutan untuk orang mentawai. Beragam keindahan alam dan kekayaan budaya bumi Sikerei telah menambah khasanah kemolekan nusantara.

Tepat setahun yang lalu, 25 oktober 2010 bumi sikerei ini di landa gempa dan tsunami. Ratusan orang menjadi korban keganasan gulungan air yang berasal dari dasar samudera Indonesia. Negara Indonesia kembali menjadi perhatian dunia, mengapa tidak tiga bencana dahsyat hampir bersamaan datangnya melanda di negeri Gatot Kaca ini. Antara lain: Banjir Wasior di Papua, Letusan Gunung Merapi di DIY, dan terakhir tsunami di Kepulauan Mentawai. Bantuan bertubi-tubi datang ke daerah bencana baik dari dalam maupun luar negeri. Sangkin banyaknya, warga setempat terkhusus Mentawai heran, mengapa sampai sebegitu besarnya perhatian dunia pada mereka. Padahal ketika bencana sebelumnya, gempa bumi tahun 2007 yang dampaknya sepertinya dampaknya juga hebat, tidak seperti ini bantuan yang mereka dapat. Setidaknya itulah kesan yang diceritakan salah seorang warga kepada penulis tentang luapan dihatinya.

Tanah yang subur, laut yang indah nan kaya isinya, hutan kayu yang masih perawan dan jenis-jenis burung cantik yang narsis diangkasa. Setidaknya itulah yang saya bisa gambarkan pabila orang bertanya tentang deskripsi alam mentawai, dan bisa kupastikan jawaban yang sama juga akan diutarakan orang yang pernah keMentawai. Namun jika ditanya tentang penduduknya, tentu jawaban akan beragam, tergantung daerah yang dimaksud.

Kesempatan kali ini, saya mau bercerita dengan kompasiana tentang sebuah desa di Kepulauan Mentawai. Tepatnya desa Malakopak Kecamatan Pagai Selatan Kabupaten Kepulauan Mentawai Sumatera Barat. Bagi kalangan NGO atau relawan yang fokusnya di daerah Pagai Selatan daerah ini lebih dikenal dengan sebutan KM 37. Nama itu diambil dari ukuran jauhnya tempat itu ke daerah Sikakap ibukota kecamatan (jaraknya 37 kilometer)

Di KM 37 penduduknya lumayan heterogen, selain suku mentawai suku yang lain juga ada seperti; Batak, Nias, Minang, dan Jawa. Bisa beragam karena dulunya desa ini adalah daerah pemukiman perusahaan kayu milik penguasa, sekarang sudah jatuh seiring dengan jatuhnya penguasa tersebut. Tutupnya perusahaan raksasaini membuat banyak karyawannya yang memilih pulang kampung, namun masih ada juga yang memilih untuk tinggal. Alasan mereka yang tinggal; sudah memiliki tanah di daerah itu, malu untuk kembali ke kampung halaman, sudah menikah dengan penduduk setempat dan sudah jatuh hati dengan tanah Mentawai.

Apapun yang menjadi alasan mereka, yang pasti mereka masih berada di daerah ini. hidup dengan kekayaan alam yang melimpah, walau dengan tingkat kepuasan yang terbatas/dibatasi. Mengapa dibatasi? Asumsi sebelum tsunami, jika ditanya: apakah penduduk desa di Mentawai hidup cukup makan? Jawabannya ya, apakah cukup gizi? Sepertinya ya, karena mudah mendapatkan makanan bergizi (ikan dilaut, sayur di ladang, buah di hutan), bagaimana dengan fasilitas kesehatan? Bagaimana dengan pendidikan? Listrik? Hm,,, perlu berpikir untuk menjawabnya.

Pembaca yang terhormat, ada rumor yang beredar dimasyarakat bahwa untuk seorang pria asing, yang sudah makan daging monyet di Mentawai, maka alamat si pria akan tidak pernah lagi kembali kekampung halamannya. Dia akan dinikahkan dengan gadis setempat dan akan melupakan keluarganya dikampung halaman. Pada kesempatan kali ini izinkan saya menyatakan bahwa itu tidak benar. Keadaan sebenarnya adalah sebagai berikut!

Alam mentawai kaya, tanahnya subur sekali. Tanaman mahal seperti nilam sangat tumbuh subur ditempat ini. Apalagi cabai, tomat dan jenis sayuran yang lain. Namun sayang, petani setempat kurang bisa berkembangdengan hasil pertaniannya. Karena hasil dari usaha taninya hanya bisa dinikmati sendiri, tidak mampu untuk menjadikannya barang penghasil ekonomi. Akses ke pasar tradisional sangat jauh, diatas 37 km dari lokasi pertanian. Akses transportasi juga tidak ada, kalaupun ada sangat mahal lewat jalur laut. Itulah mengapa petani di desa-desa mentawai hidup seadanya. Itu juga masih dari sudut pandang normatif kita melihatnya, belum lagi praktek-praktek pemiskinan dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab lainnya, termasuk pemerintah. Sebut saja tengkulak yang memonopoli harga, jalan darat yang dihempang perusahaan lewat tameng pemerintah dll. Kembali ke persoalan diatas, mengapa banyak pria seolah-olah tidak lagi ingat keluarganya di kampung halaman apabila sudah berdomisili di Mentawai. Yah,, karena dia tidak mempunyai uang untuk pulang kampung, uang yang dimaksud tentu bukan hanya ongkos kepulangan, tapi juga biaya-biaya lain yang harus dipersiapkan.

Setahun sudah tragedi tsunami terjadi di Mentawai. Semoga ini membuat tanah Laggai semakin berkembang. Perekonomian maju, pendidikan maju seperti yang sering di pidatokan oleh “sang penguasa”. Berharap NGO yang masih tetap ada di Mentawai bisa memaksimalkan program-programnya dengan tetap mengacu kepada pemberdayaan masyarakat bukan malah memperdaya masyarakat lewat pemberian gratis saja. Tulisan bang Ingki Rinaldi di Kompas (25 oktober 2011) “satu tahun dalam kealpaan” semoga tidak mutlak terjadi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun