Halaman kertas di microsoft word ini masih putih kosong, belum ada satu kata pun yang sanggup untuk ku tuliskan barisan kata kata seperti yang biasa ku lakukan. Barisan kata kata yang biasa ku buat dan mampu untuk ku bayangkan sebelum ku tuangkan, seolah lenyap tak berbekas bersamaaan dengan tawamu yang kini telah lepas dari pandanganku.
Hidupmu adalah pilihanmu, dan hidupku adala pilihanku. Ya, hidup adalah sebuah pilihan, sama seperti ketika kamu dulu memilih aku untuk menjadi partnermu dalam sebuah proyek buku yang sedang kau garap saat itu. Dan ketika itu, aku pun mempunyai pilihan untuk mengatakan tidak untuk proyek tersebut , namun kala itu aku lebih memilih mengatakan iya dan menerima tawaranmu
Pilihanmu dan pilihanku membuat kita untuk ebih sering bertemu, membuat kita lupa bahwa kita tak lagi sepeti dulu. Berbagai perbedaan pandangan dalam berbagai hal yang kita kemukakan dan diskusikan tidak membuat kita berjarak dan bersekat, yang ada justru kita semakin melekat dan menyatu. Aku merasakan hal yang nyaman ketika bersama mu, ketenangan dan pelepasan diri yang telah lama tak kurasakan dengan pasanganku, iya istriku.
“Kamu yakin.. ?” ujarmu kala itu dengan tatap yang terlihat ragu ketika aku mengatakan secara jujur kalau aku mencintaimu. Kamu memang ragu, tapi matamu tak bisa bohong kalau kau memang merasakan hal yang sama denganku.
“Iya.. Maaf.. “ ujarku sopan, sedikit tahu diri dengan statusku yang sudah beristri. Tak ada jawaban memang, tapi yang terjadi adalah bahwa hubungan kita berjalan lebih dari sebuah rekan, sekat pemisah yang harusnya ada itu mulai tak kelihatan, hingga berakhir dengan sebuah kesalahan fatal, dimana dalam sebuah kamar hotel kita berdua tidak berpakaian, saling memberi respon untuk berbagai gesture tubuh yang bergerak karena berbagai perasaan.
“Mau sampai kapan .. ??” tanyamu ketika proyek novel yang sedang kita garap hampir jadi.
Aku diam karena tak ada yang bisa kujelaskan, bagiku kalian bukanlah sebuah pilihan. 1 orang istri yang setia menemaniku dan telah memberiku 2 orang anak, dan kamu, seorang lain yang memberiku kenyamanan yang berbeda, gaya gravitasi terbesar dan terbaik yang melebihi dari gravitasi bumi.
“Aku butuh kepastian.. “ ujarmu pelan. Suara pelan yang menjadi suara kedua selain suara air yang menetes di wastafel kamar mandi karena kerannya yang bocor. Hanya dua suara, tapi amat memekakkan telinga, memompa darah dengan derasnya dan membuat jantung ini kewalahan dan hampir pecah.
“Kalian bukan pilihan.. “ jawabku jujur, berharap dengan kejujuranku, jantungku mampu kembali mendapatkan detaknya secara normal hingga batal pecah, bergantian dengan jantungmu yang aku yang aku yakin kini merasakan hal yang sama dengan jantungku beberapa menit lalu, hampir pecah.
Kamu diam, tak menjawab. Hanya menyisakan suasana nelangsa yang bagiku lebih mirip tanda tanya melihat wajahmu yang tanpa ekpresi, seperti bukan dirimu yang biasa, seorang wanita yang ekpresif.