Sudah beberapa bulan ini aku bertetangga dengan seorang wanita tua yang tinggal di rumah seberang. Sebuah rumah besar dengan teras depan yang luasnya cukup untuk memarkir dua buah mobil keluarga yang berhiaskan pagar putih yang berkarat dan cat yang sudah mulai mengelupas di temboknya. Plafon yang berwarna belang dan usang karena bocoran air hujan menjadi pemandangan pertama yang terlihat di sana selain sebuah kursi usang yang biasa dipakai wanita itu setiap pagi dan sore ketika suara Adzan mulai berkumandang.
Wanita itu kurus. Umurnya berkisar sekitar 60 an dengan tubuh kecil yang bungkuk. Wajahnya tenang, dingin, dengan guratan senyum yang hampir tak pernah kelihatan. Ia tinggal bersama kakaknya di dalam rumahnya, seorang kakak yang tak pernah kelihatan batang hidungnya. Kata orang, anaknya ada dua. Satu laki laki dan satu perempuan. Dua duanya mempunyai kesamaaan, yaitu menikah dalam diam dan tenang. Iya, katanya tak ada yang tahu kapan mereka berdua menikah, tahu tahu mereka menghilang dari lingkungan dan lapor ke ketua RT bahwa mereka akan pindah tempat tinggal.
Kata orang, suaminya adalah seorang pengusaha besar. Seorang yang ramah serta gampang tersenyum dan menyapa siapa saja. Hanya saja sikap suaminya tak menular kepada istrinya. Sejak suaminya ada pun sikapnya memang selalu sama, entah sombong atau memang ia lupa bagaimana berekspresi dengan wajah. Lucu memang kalau di pikir ulang, dua orang yang sangat bertolak belakang justru di satukan dalam sebuah ikatan suci pernikahan, dengan tetap membawa sikap masing masing tanpa berubah satu sama lain. Pembuktian nyata mungkin bahwa dalam hubungan tak perlu mencari banyak kesamaan, toh kadang perbedaanlah yang membuat semuanya menjadi lebih kaya, toh pasangan ada untuk saling melengkapi kan. Apa yang mau di lengkapi jika semuanya sama. Bayangkan jika seorang yang keras kepala bertemu dengan si keras kepala lainnya, maka mungkin akan cepat tamatlah sebuah cerita.
Hanya saja, nasib sial menimpa wanita itu dan suaminya. Kata orang, persaingan bisnis dalam bidang yang digeluti suaminya menjadi bencana awal bagi dia. Suami dari wanita itu di fitnah orang sebagai pemberontak negara di tahun 1965, sehingga suaminya di jemput tengah malam oleh orang orang yang berbadan besar. Pergi, dan tak kembali hingga sekarang. Entah mati, menghilang, tak mau pulang, punya simpanan, atau mungkin suaminya lupa jalan pulang. Yang pasti tak ada kabar apapun yang terdengar dari suaminya hingga sekarang. Hal yang kata orang semakin membuat wanita itu berwajah muram dan suram, semakin diam dan bungkam. Dan kata orang, sejak saat itulah ia mulai duduk duduk di teras rumahnya setiap pagi dan sore, kala Adzan mulai berkumandang, hingga malam datang dan mengganti matahari dengan bulan. Seperti menunggu sebuah kepulangan, atau paling tidak sebuah kabar kemana suaminya menghilang.
Kata orang, sejak saat itu kakaknya mulai tinggal bersamanya, pengangguran yang katanya hanya suka bermabuk mabukan. Kehidupan mereka di tanggung oleh adik dari suaminya yang notabene seorang pengusaha juga. Dulu, kata orang setiap awal dan tengah bulan laki laki itu datang dengan mobil dan supir, menanyakan keadaan hingga memberika segepok uang di teras rumahnya, sambik duduk di atas kursi usang. Bukan untuk pamer, tapi dulu memang kata orang wanita itu tak pernah mau beranjak dari kursi usang di teras rumahnya hingga pukul setengah sepuluh malam. Di temani hanya dengan segelas kopi dan 3 tangkap roti. Bahkan anaknya yang kala itu masih kecil pun terkadang harus membuat PR di luar. Malas untuk keluar masuk teras dan ruang tamu untuk bertanya kepada ibunya ketika ia merasa kesulitan.
Waktu pun mulai berjalan, anak anak wanita itu pun mulai beranjak dewasa dan besar. Mereka pun mulai sadar kebiasaan ibunya duduk duduk di teras depan selama berjam jam bukanlah hal yang normal.
“Ma, kita keluar makan yuk.. “
“Ma, jalan jalan yuk.. “
“Ma, masuk ma. Makan bareng yuk..”
“Ma, cobain.. Es krim baru dr tempat makan di depan..”
Begitu kata orang, bagaimana kedua anak dari wanita itu mencoba mengalihkan perhatian ibunya dari secangkir kopi dan 3 tangkap roti ketika wanita itu mulai duduk duduk di atas kursi usang. Hal yang kata orang kadang cukup untuk membuat wanita menghilang lebih awal dari teras depan, hingga akhirnya kedua anaknya juga turut menghilang dari rumah dan katanya menikah, entah itu dengan siapa. Dan, wanita itu pun katanya kembali melanjutkan kebiasaannya untuk duduk duduk di teras depan. Di temani oleh waktu yang mulai menyembuhkan batinnya secara perlahan. Kata orang, jika biasanya ia menunggu sampai pukul setengah sepuluh malam, secara perlahan waktu mulai mengajarkannya untuk masuk ke dalam rumahnya lebih awal. Dari jam sembilan malam, setengah sembilan, setengah delapan, jam delapan, hingga saat ini ia hanya duduk sekitar setengah jam setiap pagi dan sorenya. Tiga tangkap roti yang di katakan orang orang itu pun seolah tak pernah ada, yang ada hanya secangkir kopi hangat dengan uap yang masih mengepul di atasnya yang sesekali masih tersisa dan kadang ia buang.