Pagi itu matahari mulai bersinar dan menghangatkan suasana di Pasar Legi, Kotagede, Yogyakarta. Lalu-lalang becak, sepeda, delman serta beberapa kendaraan motor menambah nuansa tradisional. Hiruk-pikuk para pedagang dan pembeli juga menambah ramai suasana sekitar pasar. Terlihat pagi itu para pedagang juga sibuk menjajakan dagangannya kepada pembeli di Pasar Legi.Â
Konon, Pasar Legi Kotagede sudah ada sejak zaman kerajaan Mataram pada abad ke-16 dan termasuk pasar tertua di Yogyakarta dan pernah menjadi pusat perdagangan terbesar saat itu.
Di Pasar Legi Kotagede banyak pedagang yang menjual kebutuhan pokok hingga kebutuhan lain seperti hewan peliharaan, kerajinan, bahkan beberapa furniture. Di pasar ini juga akan ditemui banyak makanan dan minuman tradisional khas Yogyakarta. Pagi ini (11/01), penulis mencoba menelusuri ke dalam keramaian Pasar Legi dan menikmati suasana pasar yang masih tradisional.Â
 "Pak... Bu... mriki mampir ngunjuk jamu rumiyen," ujar Mbok jamu yang duduk di kursi lipatnya sambil menawarkan jamunya. Karena penasaran, kemudian penulis mencoba berhenti dan mendekati Mbok jamu tersebut.
Bu Ngatinah, salah satu Mbok jamu yang saya hampiri merupakan satu dari tiga penjual jamu tradisonal di Pasar Legi. Ibu dengan tiga anak ini telah berusia 58 tahun dan telah berjualan jamu selama dua puluh tahun di Pasar Legi. Uniknya, dia menjual jamu dengan cara yang sangat tradisonal. Dia memeras olahan jamunya dengan tangannya dan menyajikan jamu tersebut dengan menggunakan tempurung/batok kelapa. Hal inilah yang memperkuat nuansa lebih tradisional. Jamu yang dia racik secara manual tersebut dengan menggunakan perasan tangannya telah dia lakukan selama dua puluh tahun selama berjualan jamu di Pasar Legi Kotagede. Cara seperti ini dia adopsi dari zaman nenek dan ibunya yang dulu juga berjualan jamu di Pasar Legi.
Pembeli yang datang ke lapak Ngatinah dapat berkonsultasi terkait dengan keluhannya, misal sedang merasa pegal-pegal atau sedang ingin mengembalikan stamina atau kebugaran. Dengan piawainya, Ngatinah akan langsung meracik jamu yang tepat untuk para pembelinya, setelah jamu dia racik dengan tangannya, jamu itu dituangkan dalam gelas batok yang akan disajikan untuk pembeli. Konon, cara unik ini hanya akan Anda temui di Pasar Legi Kotagede, Yogyakarta. Dan di sana, hanya ada tiga orang penjual jamu batok. Wah, semakin langka dan perlu dijaga tradisi dan warisan leluhur kita.
Ngatinah sosok perempuan setengah  baya yang ramah dan aktif berkomunikasi. Dia menjelaskan banyak manfaat jamu kepada para pembeli. Dia juga aktif mempromosikan jamunya kepada setiap orang yang melewati lapak dagangannya.Â
Saat itu pembeli jamu Ngatinah cukup ramai, harga satu botol jamu hanya lima ribu rupiah saja, cukup murah bukan? Penghasilan yang didapat Ngatinah pun cukup untuk menghidupi keluarganya. Sehari, Ngatinah dapat membawa sekitar 200 ribu sampai 300 ribu. "Mugi laris terus njeh Bu, jamune....," ungkap beberapa pembeli.
Bagi Anda yang pernah nonton film Ada Apa Dengan Cinta 2 (AADC 2), ternyata ada scene dimana Cinta dan teman-temannya sedang minum jamu batok di Yogyakarta, lho. Jamu ini memang sudah cukup terkenal dikalangan pelancong yang pernah menyambangi kota Yogyakarta. Yuk, mampir minum jamu batok ketika Anda sedang berkunjung di kota gudeg ini.