“Duaaarrr…. Duarr….”, suara petir menyambar, geledek menggelegar, langit menangis bak melimpahkan air matanya ke bumi. Udara dingin mulai menusuk relung jiwa, angin sepoi serasa berbisik di telinga, pohon melambai, bangunan rumah kumuh di daerah Kwitang Blok 1H, Jakarta Pusat terlihat bisu terdiam menikmati guyuran air hujan sore itu.
Sekumpulan bocah bak terlihat asik berlari di lorong gang kecil. Suara gaduh, teriakan, tertawa sambil bersendau gurau terdengar menggaung di ruang tanpa batas. Alip (10), seorang bocah kelas 5 SD tampak terlihat bahagia bermain bersama teman-temannya. Kaos oblong kusam, celana pendek polkadot berwana biru tua dia kenakan. Kulit hitam kecoklatan, rambut hitam bergelombang, dan tulang dadanya yang sedikit terlihat jelas, serta bentuk wajah oval itu terlihat basah oleh deraian air hujan.
Alip berasal dari keluarga yang sedikit kurang beruntung. Alip merupakan anak dari Bapak Tarjo (42), dan Ibu Ita (38). Alip punya dua adik yang masih kecil bernama Anjani (6), dan Doni (2). Bapaknya tidak dapat bekerja lagi karena kakinya mengalami patah tulang saat dulu sebagai kuli bangunan. Dan saat ini hanya Ibunya yang harus membanting tulang sebagai buruh cuci dan asisten rumah tangga untuk kebutuhan keluarganya.
Obor Semangat dan Harapan
Berasal dari keluarga yang sedikit kurang beruntung tidak membuat redup semangat Alip untuk belajar dan sekolah. Alip merupakan siswa kelas 5 di SD Kenari Kwitang yang selalu mendapat peringkat sepuluh besar di kelasnya. Berkat semangat juang yang tinggi dia berhasil mencapai impiannya untuk terus menorehkan prestasi dan membuat Bapak Ibunya bangga terhadap dia.
Semangat Juang Sang Juara
“Teettt… teett… teet…”, bunyi bel tanda masuk berbunyi tepat jam 7 pagi. Sang surya mulai menyembul dan menyapa dengan kehangatan. Anak-anak mulai berbaris rapi dan mulai masuk ke kelas. Saat itu Alip yang memimpin barisan anak-anak itu. ‘’Siappp…. Grak…”, terdengar suara lantang dari mulut Alip. Alip duduk di barisan ketiga di bagian tengah bersama temannya, Ijal. Di sekolah, Alip terkenal sebagai siswa yang rajin dan pandai, walaupun terkadang sering membuat gaduh ruangan dengan banyolan yang dia lontarkan, begitulah tutur Ibu Wati selaku wali kelasnya.
Selepas pulang sekolah, Alip selalu mencoba untuk mengerjakan tugas atau pekerjaan rumah yang diberikan oleh gurunya saat di sekolah. Setelah itu dia istirahat sambil menunggu Ibunya membuat gorengan di dapur kecilnya. Alip membatu Ibunya dengan berjualan gorengan keliling komplek. Setiap sore dia menawarkan gorengannya di komplek-komplek sekitar Kwitang. “Tempe… tahu… gorengaan…’’, begitu suara dia menjajakan dagangannya. Kaos putih sedikit kusam, sendal jepit berwarna biru, serta baskom ukuran sedang selalu dia bawa. Saat itu sinar surya sedikit redup, angin sepoi-sepoi terasa sangat bersahabat, kerumunan Ibu-ibu terlihat mulai ramai di setiap gang komplek. Itu saat yang tepat untuk Alip menjajakan gorengannya. Terlihat banyak yang membeli gorengan Alip.
Waktu kian berlalu, gorengan pun habis terjual di kerumunan Ibu-Ibu gang dan komplek perumahan. Saat itu, senyum sumringah terlihat di wajah Alip. Dia sudah tidak sabar untuk memberikan uang hasil dagangannya kepada Ibunya. Sebelum pulang, dia duduk di bawah pohon jambu sambil menghitung uang yang dia dapat. “Seribu, empat ribu, enam ribu….. 48 ribu’’, ucap dia lirih. Sambil berjalan cepat dia pulang ke rumah. ‘’Ibu… Ibu… hari ini aku dapat 48 ribu’’, teriak dia di dalam rumah. Ibunya terlihat sangat lelah setelah seharian bekerja sebagai buruh cuci dan asisten rumah tangga di salah satu rumah di komplek perumahan Kwitang. Dari wajah kusam dan sedikit keriput terlihat Ibunya tersenyum lebar layaknya bangga melihat anak sulungnya dapat membantu meringankan beban keluarganya.
Begitulah setiap hari yang Alip lakukan untuk membantu meringankan beban keluarganya. Sebongkah tanggung jawab yang telah dia bawa tetap dia pegang teguh dalam lubuk hatinya. Tak mudah menjadi berbeda dari anak-anak seumurannya yang memiliki waktu yang banyak untuk dihabiskan bermain bersama teman-teman. Tapi itulah kenyataan yang harus dihadapi oleh Alip.