Sudah banyak pihak yang mengangkat masalah distribusi dokter ini , dan sudah banyak usulan yang diajukan. Namun sampai sekarang fakta menunjukkan bahwa masih banyak daerah terpencil yang kekurangan dokter, baik umum apalagi spesialis. Dalam konteks menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Neonatus dan Bayi, sebagai salah satu target MDGs yang gagal dicapai oleh Indonesia di 2015, maka ketersediaan dokter (baik umum maupun spesialis terutama kebidanan, anak, anestesi) menjadi amat relevan untuk dibicarakan.
Kemauan (will) seorang dokter untuk bertugas di daerah terpencil merupakan suatu perilaku yang didasari berbagai macam pertimbangan, baik dari aspek ekonomi, psikologis, sosial dan rasa aman. Semuanya merupakan hal-hal yang wajar ditimbang oleh manusia sebelum mengambil keputusan.
Menurut teori motivasi kebutuhan oleh Maslow, urutan kebutuhan manusia sbb ( mulai dari paling dasar): fisik, rasa aman, penerimaan sosial, penghargaan internal dan eksternal, dan terakhir aktualisasi diri. Sejarah peran profesi dokter di Indonesia telah mengalami pergeseran signifikan sejak kemerdekaan. Dari masa orde lama (1945-1966) dokter diposisikan sebagai penolong, mulia, penuh nuansa kemanusiaan dan patriotisme. Hal itu masih terasa di masa orba (1966-1998), tapi mulai bergeser. Penulis mengalami sendiri transisi dari penugasan wajib ( disebut dokter inpres) untuk semua lulusan dokter baru harus bertugas di daerah mana saja di seluruh Indonesia , terutama yang terpencil. Kemudian berubah menjadi program dokter pegawai tidak tetap (PTT), mulai dilaksanakan 1992 (penulis termasuk angkatan ke-2 tahun 1993) bertugas di Prov. Timor timur hingga 1996. Sebagai refleksi pribadi penulis dapat merasakan apa yang disebut kepuasaan aktualisasi diri (walaupun dengan gaji yang pas-pas an), hingga waktu tertentu di mana tiba saatnya memikirkan masa depan yang masih panjang, pengembangan karir, dan tentunya kebutuhan ekonomi yang makin besar setelah berkeluarga.
Namun masa sekarang ini tampaknya profesi dokter sudah dipandang sebagai komoditi bisnis belaka, hanya satu bagian dari sekian rantai produksi pelayanan kesehatan (walaupun mungkin masih yang terpenting). Sudut pandang pasien adalah dokter (dan rumah sakit) menjual jasa (produk), mereka membeli. Aturan yang berlaku pada transaksi jual beli jasa secara umum, berlaku juga bagi hubungan dokter-pasien. Oleh karena itu tuntutan pada kualitas pelayanan dokter menjadi amat tinggi, sekaligus meningkatnya tuntutan hukum bila tidak puas. Secara manusiawi dokter dan rumah sakit akan merespons dengan bekerja lebih baik, hati-hati, dan tentu saja berlaku prinsip ada uang ada barang (berkualitas). Perubahan ini berpengaruh pula pada perilaku dokter dalam memutuskan pergi ke daerah terpencil atau tidak.
Setelah menjadi spesialis, tentunya masalah yang harus ditimbang lain lagi. Hal – hal seperti pendidikan anak, besarnya gaji yang diberikan setidaknya sama dengan penghasilan yang didapat bila bekerja di kota besar, masa penyesuaian untuk kembali berpraktik di kota sekembalinya dari daerah, biaya ekstra yang harus dikeluarkan karena berjauhan dengan pasangan dan anak, dll. Sebelum memberikan usulan solusi masalah, penulis ingin meninjau masalah distribusi dokter ini dari sudut pandang makro kebijakan nasional.
Jumlah dokter dan distribusinya merupakan dua hal yang berbeda
Hukum supply-demand berlaku juga untuk ketersediaan dokter. Terlalu banyak berarti inefisiensi ( yang berujung pada rendahnya value profesi dokter), terlalu sedikit berarti sulitnya akses ke yankes sesuatu yang amat tidak diinginan oleh pemerintah karena ini menjadi tanggungjawabnya ( amanat UUD Pasal 28). Menurut data kemenkes 2013 dari segi jumlah ketersediaan dokter umum adalah 41.841 dan belum mencapai rasio yang diinginkan yaitu 1 dokter untuk 4000 penduduk , masih dibutuhkan sekitar 20 ribuan dokter umum lagi.Untuk dokter spesialis terdapat 36.756 orang, sudah jauh di atas standar rasio 6 untuk 100.000 penduduk. Namun data 2004 menunjukkan bahwa hanya 11.6% kabupaten yang memenuhi rasio 6 dokter untuk 100.000 penduduk. (Sumber: Profil Daerah Kabupaten dan Kota Jilid1-4, Kompas, 2004, dikutip dari Ilyas Y (2006).
Bagaimana membuat dokter dari daerah yang sudahkelebihan supply mau pindah ke daerah yang masih undersupply?
Bagaimana membuat perencanaan pendidikan dokter (umum dan spesialis) untuk memenuhi kebutuhan daerah yang masih undersupply, sekaligus menjaga kesinambungan supply untuk semua daerah ( turnover dokter) tanpa mengakibatkan kelebihan supply.
Tulisan ini hanya akan fokus menjawab pertanyaan pertama.
Nilai seorang dokter
Sebelum menjawab pertanyaan ini, maka yang harus diketahui lebih dahulu adalah berapa sih nilai seorang dokter (umum, spesialis atau konsultan)? How much is a doctor worth? Tidak ada cara mudah untuk menjawab pertanyaan ini karena ada banyak pendapat bagaimana cara menghitungnya. Apakah akan dibandingkan dengan negara tetangga? Atau dengan dokter di kota besar di Indonesia? Juga amat tergantung kepada dokter spesialis apa ? Antara dokter cutting (bedah) dan non cutting (non bedah) akan amat berbeda, bahkan di antara jenis dokter cutting juga amat berbeda. Misal : antara dokter psikiatri dengan penyakit anak , antara obgin dengan orthopaedi dst. Namun secara umum penghasilan di dalam satu jenis spesialisasi dapat diperbandingkan apple to apple dengan melihat di mana ia bekerja, apakah kota besar, atau kota kecil atau terpencil. Dan menurut penulis cara yang paling mudah mencari tahu berapa rata-rata penghasilan dokter adalah bertanya pada kantor pajak.
Di atas semuanya itu di era saya masuk sekolah kedokteran, motivasi kami pada umumnya bukanlah terutama finansial. Lebih karena profesi dokter masih dianggap mulia, banyak dibutuhkan dan we can make a difference dalam hidup banyak orang. Saya ingat perkataan bapak saya waktu akan masuk kuliah kedokteran, “ kalau mau kaya ya jadi pedagang, kalau mau jadi orang baik ya jadi dokter!” (tidak bermaksud menyinggung pedagang). Saya tidak tahu apa yang menjadi motivasi utama generasi sekarang menjadi dokter. Tapi apakah mungkin dokter bekerja dengan layanan berkualitas bila secara finansial tidak aman? Atau lebih jauh, apakah peran dokter cukup penting sehingga perlu dihargai wajar, dijamin kesejahteraannya oleh masyarakat dan negara? Hanya waktu yang akan menjawab.
Jika demikian dapatlah disimpulkan, nilai seorang dokter ( dari aspek finansial) adalah rata-rata penghasilan dokter sejenis, taruhlah kota besar dijadikan patokan ( perlu diingat tidak semua dokter “desa” penghasilannya lebih kecil). Hal lain yang penting adalah dalam melakukan pekerjaannya dokter itu seperti pilot, dalam arti ia harus dijaga supaya selalu fit untuk bekerja karena penuh risiko (mungkin tidak semua jenis dokter penuh risiko). Pilot mempunyai batas jam terbang maksimal (30 jam dalam seminggu dan harus off 24 jam) dimana ia harus istirahat dulu baru bisa terbang lagi.Jadi sudah tidak pada tempatnya lagi dokter pontang-panting praktik di banyak tempat ( bahkan menurut penulis 3 tempat pun sudah terlalu banyak walaupun banyak sejawat saya pasti tak setuju), sehabis jaga oncall paginya harus praktik poliklinik, menangani pasien setengah mengantuk , ini berisiko terhadap pasien. Ini kesalahan sistem. Bagaimana dokter bekerja tidak ditentukan oleh dia sendiri tetapi regulasi di tempatnya bekerja. Risiko yang bisa timbul akibat pengaturan jam kerja dan beban kerja menjadi tanggung jawab manajemen RS dan sistem yang lebih besar. Siapa sistem itu? Yaitu RS, regulator (kemenkes), termasuk JKN dengan BPJS nya. Bukan dokter semata.
Bagaimana dokter dibayar di era JKN?
Sistem remunerasi bagi dokter diatur olehmasing-masing tempat dokter bekerja, spt: puskesmas, klinik, RS. Sedangkan BPJS sebagai pembayar klaim membayar ke fasyankes primer dengan sistem kapitasi, dan ke RS dengan sistem prospektif memakai INA-CBG. Untuk tiap kelas RS A sampai D, berbeda-beda besarannya untuk jenis/grup layanan yang sama. Cara ini memposisikan kepentingan dokter dibawah RS. Artinya penghasilan dokter merupakan hasil “negosiasi” manajemen dengan para dokter. Tapi satu hal yang pasti buat manajemen adalah RS tetap harus untung (in the expense of doctor’s income). Ini sebuah masalah yangdalam waktu dekat harus diatasi juga.
Kembali ke masalah semula
Bila di kota besar saja para dokter sudah mulai struggle dengan kesejahteraannya bagaimana ada yang sukarela pergi ke daerah terpencil. Jawabannya bisa saja! Asal sistem menjamin kesejahteraan mereka dengan wajar dan adil. Salah satu kendala adalah peran pemerintah daerah (pemda) yang bisa saja tidak kondusif dengan tidak memprioritaskan ketersediaan dokter di segala penjuru daerahnya. Karena menurut UU Pemerintahan Daerah No 32/2004 ketersediaan sarana dan tenaga kesehatan menjadi tanggungjawab pemda setempat. Karena keterbatasan dana anggaran seringkali penempatan tenaga kesehatan ke daerah terpencil tidak menjadi prioritas. Ilyas (2006) dalam tulisannya menunjukan bahwa determinan terpenting yang berhubungan dengan distribusi dokter spesialis di kota/kabupaten adalah kepadatan penduduknya dan PDRB (Product Domestic Regional Bruto).(Ilyas, 2006)
Ini menunjukkan bahwa memang aspek insentif atau kompensasi finansial merupakan pertimbangan terpenting sebagai motivasi dokter ke daerah. Untuk mengatasi kendala dana dalam membiayai para dokter di daerah, pemerintah pusat dapat memikirkan suatu cara pemberian insentif yang langsung ke para dokter tanpa melalui pemda , misalnya melalui BPJS. Insentif ini bukan merupakan atau terpisah dari pembayaran klaim BPJS. Hal ini untuk mengatasi masalah kecilnya penghasilan dokter di daerah karena jumlah penduduk yang sedikit dan daya beli yang rendah. Mengenai besarannya sebaiknya disetarakan dengan penghasilan rata-rata dokter sejenis di ibu kota provinsi setempat.
Gambar 1. Skema hubungan variabel-variabel yang mempengaruhi ketersediaan dokter di daerah terpencil atau miskin.
Hal-hal lain yang menjadi pertimbangan penting bagi dokter untuk mau ke daerah terpencil adalah adanya sarana prasarana kerja yang memenuhi standar profesi medik, kemungkinan pengembangan karir dan dasar hukum yang jelas tentang tanggungjawab dan wewenang mereka.
Namun penulisjuga menyadari tidak mungkin hanya ada satu solusi untuk masalah ini, karena masing-masing daerah memiliki karakteristik yang amat berbeda. Sebagai contoh tingginya AKI dan AKB di Jawa Barat tentu bukan karena daerah yang amat terpencil atau kekurangan dokter, tapi karena distribusinya yang berkumpul di kota besar kabupaten. Untuk penempatan jangka panjang mungkin tidak menarik karena sebenarnya jaraknya cukup dekat. Sebagai solusi mungkin diperlukan suatu sistem penugasan bergilir jangka pendek saja seperti 1 minggu sehingga tidak mengganggu praktik dokter yang ditinggalkan. Tentu saja dengan kompensasi yang wajar. Adanya penugasan dokter-dokter residen (calon spesialis) juga bisa menjadi bagian solusi. Pembatasan masuknya dokter baru ke kota-kota besar yang sudah kelebihan dokter juga dapat dipertimbangkan asalkan diberi jalan keluar yang masuk akal, seperti yang telah disebutkan di atas. Sehingga tidak melanggar hak asasi dokter untuk bekerja di mana saja di Indonesia ini.
Kesimpulan
Masalah maldistribusi dokter umum, dokter spesialis di daerah terpencil dan/ miskin disebabkan oleh banyak faktor, salah satunya yang paling penting adalah insentif yang layak, paling tidak setara dengan penghasilan rata-rata dokter di kota besar. Cara pembayarannya pun harus dipikirkan agar tidak terkendala kebijakan dan peraturan perundangan daerah setempat, sehingga sistem pembayaran langsung dari pusat ke dokter lebih menjamin kepastiannya.
Bahan bacaan:
Ilyas, Y., 2006. Determinan Distribusi Dokter Spesialis di Kota/Kabupaten Indonesia. Jurnal Pelayanan Kesehatan Indonesia, 09(03 September), pp. 146-155.
Info nakes , http://bppsdmk.depkes.go.id/ diakses 31 Mei 2015
Ditjen Dikti Kedikbud, 2010. Potret Ketersediaan dan Kebutuhan Tenaga Dokter.
(penulis adalah seorang dokter spesialis obgin yang sekarang sedang menjadi mahasiswa S2 KARS FKM-UI)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H