Tadi pagi di radio Elsinta, salah seorang wakil ketua DPR RI mengklarifikasi tentang insiden di ruang sidang saat ada Rapat Dengar Pendapat antara Menteri ESDM dengan Komisi VII, bahwa itu bukan adu jotos, tapi seorang anggota DPR dari PD, Mulyadi dipukul oleh salah satu anggota DPR dari PPP, Mustofa Assegaf. Sedangkan Mulyadi tidak membalas sama sekali, jadi bukan adu jotos, kata wakil rakyat tsb.
Saya dalam hati sedih melihat prilaku wakil rakyat seperti ini, baik itu hanya seorang yang memukul, atau saling pukul, sesuatu hal yang sangat memalukan.
Bila kita tarik kembali rekam jajak anggota2 DPR selama reformasi, memang banyak kejadian-kejadian yang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh seorang anggota parlemen. Coba kita ingat-ingat, mulai dari tidur diruang sidang, nonton film porno di laptop waktu sidang, berfoto mesum, adu jotos, dijotos sampai Korupsi. Betul-betul membuat bulu kuduk saya merinding. Kenapa begini parah prilaku para wakil rakyat bangsa ini. Walaupun kemudian di klarifikasi, bahwa tidak semua wakil rakyat seperti itu. Saya sepakat dengan klarifikasi tersebut. Tapi saya bertanya, pernahkah kita tahu jumlah maling yang ada? Selagi tidak kentara, tentu belum bisa disebut maling, walaupun dia sudah melakukan perbuatan mencuri.
Saya hanya ingin menyalakan lampu merah, bahwa kita perlu berhenti sejenak, kemudian segera melakukan perbaikan. Bangsa ini perlu melakukan tindakan yang revolusioner, artinya tindakan perubahan yang cepat, saat ini, tepat dan menyeluruh. Jangan menunggu badai meluluh lantakan semua sendi kehidupan. Mungpung hanya hujan, kadang-kadang angin, banjir, tapi masih ada celah untuk menari.
Rakyat seperti saya hanya bisa memperbaiki diri sendiri dan meminta para wakil rakyat atau siapapun yang punya wewenang, akses dan bisa melakukan perbaikan tersebut. Mari lakukan perbaikan secara revolusioner.
Mulai dari jumlah partai, harus segera dilakukan pengurangan. Cukup tiga, atau maksimal empat. Karena jumlah partai yang banyak menyebabkan rekrutmen anggota dan pengurus sudah tidak selektif lagi. Banyak partai-partai merekrut orang asal comot, asal mau dan asal dapat. Coba dibayangkan, manusia yang asal-asalan ini menjadi wakil rakyat di DPR. Lagi pula untuk apa membikin partai? Kalau memang ingin mengabdi untuk bangsa. Masuklah partai yang tersedia, dan berkarya nyata disana. Jangan masuk karena ingin jadi ketua atau jadi anggota DPR, apalagi membikin partai hanya karena punya niat jadi Presiden.
Kurangi jumlah anggota DPR. Tidak perlu sejumlah yang ada saat ini, karena kita butuh manusia yang punya kwalitas yang baik, dan tidak butuh kuantitas. Fungsi legislatif, berbeda dengan fungsi eksekutif. Jangan terlalu banyak intervensi tugas eksekutif. Lakukan fungsi kontrol, legislasi dan fungsi lainya dengan efektif, bila efektifitas bisa dilakukan, maka jumlah anggota DPR bisa dikurangi secara signifikan, bisa dikurangi sampai separonya.
Rekrutmen anggota partai harus diperketat. Seperti halnya rekrutmen pegawai negeri atau karyawan swasta. Partai harus menonjolkan diri, mau berbicara dan membangun dibidang apa? Rekrutlah anggota yang punya kemampuan dan keahlian dibidang itu.
Anngota partai sebelum dijadikan caleg, harus menjalani psikotest yang ketat, kemudian test kemampuan dan keahlian. Dia mau diproyeksikan ke komisi apa, harus mampu dan ahli dibidang tersebut. Bagaimana akan melakukan kontrol terhadap eksekutif, kalau expertise tidak ada dibidang tsb.
Fraksi-fraksi partai harus dihapuskan di legislatif. Karena fraksi partai akan mengokohkan siwakil ini menjadi wakil partai, bukan wakil rakyat. Bila kader suatu partai sudah menjadi anggota DPR, maka partai harus rela melepasnya di DPR, tidak menggandulinya lagi. Penyelewengan, atau ketidak mampuan anggota DPR, cukup ditangani oleh Badan di DPR dan bisa melibatkan MA ataupun MK. Bila ada pergantian antar waktu karena kwalitas anggota DPR atau permintaannya sendiri, maka penggantinya diambil dari no urut perolehan suara berikutnya.
Anggota DPR dibebaskan dari pungutan partai-partainya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dan stigma nya harus berubah, duduk di legislatif bukanlah untuk mencari penghidupan, tapi untuk mengabdi, bekerja untuk rakyat, bangsa dan Negara. Sehingga niat jadi anggota dewan, bukan lagi untuk mencari kekayaan, atau melunasi biaya kampanye, sehingga korupsi bisa ditekan.
Dengan merealisir dasar-dasar pemikiran ini, saya yakin kwalitas parlemen kita bisa ditingkatkan. Tidak ada lagi yang korupsi, yang tidur disaat sidang, yang adu jotos, atau yang melakukan perbuatan tercela lainnya. Semoga ketidak percayaan saya kepada anggota dewan yang sudah mencapai 100%, bisa tereduksi dengan sendirinya bila sudah ada perubahan yang nyata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H