Merenungi kengototan investor mereklamasi teluk benoa, timbul pertanyaan didalam diri saya, yang saya yakin tidak akan dijawab jujur oleh pihak investor. “Kenapa harus melakukan reklamasi di teluk benoa?”
Untuk itu, saya coba melihat, apa sebenarnya yang diinginkan pihak investor
Pulau Bali yang kecil ini, yang hidup dari pariwisata, tidak punya sumber daya alam, begitu pula tidak ada industri yang besar disana. Tapi semua menyadari bahwa Bali sangat terkenal dimanca Negara dengan wisata Budayanya.
Kehidupan masyarakat yang unik, yaitu kehidupan religius dengan didukung oleh adat yang sangat kuat.
Agama di Bali bukanlah suatu yang menakutkan, begitupula agama tidak mendekotomi masyarakat agamis dan non agamis. Semua berjalan beriringan sesuai dengan swadarma masing masing.
Hubungan sesama masyarakat, hubungan dengan Yang Maha Kuasa dengan segala manifestasinya dan hubungan dengan alam, binatang dan mahluk lainnya selalu dilandasi dengan keseimbangan dan keselarasan, yang artinya tidak ada prilaku yang mengutamakan memuja Tuhan, tapi merusak lingkungan ataupun menyakiti manusia serta mahluk lainnya.
Dengan keyakinan hukum karmaphala yang kuat dan dilandasi oleh adanya atman yang menghidupi semua mahluk hidup, yang bersumber dari sumber yang sama, menjadikan masyarakat sangat menjaga untuk tidak menyakiti siapapun.
Masyarakat menyadari keterikatan satu dengan yang lain, ada pola hubungan dalam kehidupan terdahulu, kini dan yang akan datang. Dimana dalam hubungan ini ada bantuan dan pengorbanan yang tulus ikhlas. Sehingga semua itu menjadikan “Yadnya” sebagai hal yang harus. Balipun dibangun oleh para leluhur masyarakat Bali dengan “YADNYA”.
Apakah reklamasi teluk benoa ini adalah karena kecintaan investor kepada lingkungan hidup? Apakah reklamasi ini menjadikan masyarakat Bali lebih sejahtera? dimana masyarakat Bali tidak akan terpinggirkan karena kalah oleh keserakahan pemilik modal. Apakah juga reklamasi ini menjamin masyarakat menjadi lebih khusuk memuja Tuhan dengan segala manifestasinya?
Membaca tulisan Wayan Gendo Suardana di media sosial, tentang rapat dengar pendapat dengan DPR RI Komisi II, ketika investor mempresentasikan konsep pembangunan diatas tanah reklamasi ini, tidak satupun dari ketiga hal yaitu manusia, Tuhan dan lingkungan hidup yang bakal disentuh untuk dinaikkan. Artinya konsep “Yadnya” sebagai dasar pembangunan untuk tetap menjadikan hubungan harmonis antara manusia, Tuhan dan alam yang dikenal dengan Tri Hita Karana tidak akan dijalankan oleh investor reklamasi tsb.
Kajian yang dilakukan investor dengan team ahlinya, Prof Dietrich Bengen dari IPB mempresentasikan masalah terjadinya sidimentasi di Teluk Benoa sehingga terjadi pendangkalan yang luas. Tapi yang ditunjukkan adalah daratan yang terjadi akibat pasang surut, yang disebut “Muntig”. Ini sudah terjadi jauh sebelum Prof tersebut lahir, bahkan sebelum kelahiran dalam kehidupannya saat ini. Saya masih ingat ketika nyebrang ke Pura Sakenan tahun 70 an melalui “Muntig2” spt ini. Sangat indah, dan terasa kemaha kuasaan Ida Betara-Betari yang ada disana ketika kita menyebrangi air laut yang surut, yang tidak kita temui saat ini, semua itu juga karena ulah manusia yang diliputi “Tamas”.
Kalaupun kajian itu benar, kenapa terjadinya pendangkalan malahan solusinya di urug? Ini hal yang sangat lucu dan juga suatu pemikiran intelektual yang keblinger. Anak kecil juga tahu, bila terjadi pendangkalan, harus dilakukan pengerukan dan jangka panjang tentunya daerah hulu sungai yang membawa lumpur harus dibenahi, di hijaukan.
Kebohongan investorpun dibongkar ketika rapat dengar pendapat tersebut. Seorang wakil rakyat dari Bali, mempertanyakan tentang izin reklamasi apa revitalisasi, ternyata Dirjen KKP menjawab bahwa itu izin reklamsi, sedangkan kegiatan revitalisasi adalah hanya berupa CSR ( Corporate Social Responsibility). Yang artinya niat dan tujuan utama dari investor adalah bukan memperbaiki suatu yang diperkiran akan rusak, tapi merusak hal yang sudah ada ini. Jadi kata-kata revitalisasi yang selama ini dipasang dalam baliho yang besar-besar di kota Denpasar dan sekitarnya adalah tulisan kebohongan. Suatu tulisan yang sengaja untuk membodohi masyarakat Bali.
Sebagai masyarakat yang beragama, orang Bali bersandar kepada Itihasa, dan didalam Mahabarata, Shri Krisna berkata bahwa “kebenaran terletak didalam niat dan tujuan manusia”. Artinya walaupun manusia itu berkata baik dan benar, tapi bila niat dan tujuannya bukan untuk kebenaran, maka dia itu tidak berjalan dijalan Dharma. Begitu pula dengan istilah revitalisasi yang dipakai pihak pendungkung reklamasi, dan juga kata-kata yang sering didengunkan bahwa reklamasi ini dilakukan karena kecintaannya kepada lingkungan hidup. Semua itu adalah ketidak benaran, dan juga tidak dijalan Dharma.
Mari masyarakat Bali untuk betul-betul menyaring keinginan keinginan investor, malahan saya sejak dari dulu selalu yakin bahwa Bali tidak butuh investor. Bali bisa dibangun dan dikembangkan sesuai dengan adat budaya masyarakat Bali oleh orang Bali sendiri. Karena investor tidak lebih dari “candu”. Mendatangkan kesenangan sesaat, kemudian merusak dan menyebabkan ketagihan.
Apakah masyarakat Bali menyadari, bahwa kedatangan investor setelah Bali terkenal, bukan investor yang menjadikan Bali terkenal. Mereka datang hanya untuk mengeruk keuntungan, membiarkan tradisi adiluhung pulau kecil ini hancur, membiarkan masyarakatnya miskin, menjauhkan orang bali dari kebaliannya, yaitu masyarakat berbudaya yang selalu senyum dan selalu mendermakan hidupnya dengan konsep “Ngayah”.
Sadarkah para pejabat Bali yang meloloskan izin Reklamasi ini, begitu pula PHDI yang terus bungkam sampai saat ini, pemangku-pemangku yang ikut demo yang ada di sosial media tersebut, dan para wakil rakyat yang berbicara seenak udelnya, seperti statement saudara Koster di Balipost baru2 ini, serta masyarakat lainnya yang masih merasa bahwa reklamasi bukan urusannya, yang masih acuh tak acuh terhadap bahaya kehancuran budaya yang diakibatkan oleh bisnis yang dilakukan diatas tanah reklamsi tersebut.
Ibarat letusan gunung yang dasyat, awan panas dan laharnya akan menyebar keseluruh Bali, begitupula kegiatan usaha yang akan dijalankan diatas tanah reklmasi ini, akan merusak sedikit demi sedikit tatanan Hidup masyarakat yang unik ini, sampai nanti di anak cucu kita, tidak akan dijumpai masyarakat religius yang berbudaya ini.
Apakah kita rela menghancurkan Budaya yang dibangun oleh Rsi Markandeya, Mpu Kuturan, Raja Udayana, Dang Hyang Nirarta, Shri Aji Dalem Waturenggong, Dang Hyang Astapaka, para Sulinggih dan leluhur kita lainnya?
Mari bangkit, lakukan perjuangan menolak reklamasi melalui swadharma masing masing. Penhancuran Bali adalah penghancuran NKRI.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H