Kayaknya sih di mana-mana yang namanya resepsionis sudah menjadi hukum wajib untuk ramah. Tidak terkecuali resepsionis di tempat dokter praktek (itu tuh perawat yang biasa nyatat nm pasien yg mo diperiksa).
Tapi, sudah bukan menjadi rahasia umum juga, jika sebenarnya kebanyakan dari mereka yang meluangkan waktu bekerja sebagai resepsionis ada yang bertampang kecut dan bersuara ketus (semoga saya salah dengan menyebut kebanyakan dari mereka bukan menyebut sebagian kecil).
Seperti yang saya alami pada, Senin (20/9), di sebuah RS Swasta, km 3,5 di Banjarmasin. Saya menemani mbak saya yang mau cek up kehamilan di dokter spesialis kandungan, tidak ada masalah ketika kami daftar dan menunggu giliran. Suasana ruang tunggu masih sepi, hanya ada saya dan mbak saya serta dua pasang suami isteri. Saya yang menjadi autis dengan memfokuskan diri memencet2 tombol ponsel, sesaat terusik ketika mendengar percakapan sepasang suami isteri dengan mbak perawat (gak tau juga dia sudah dididik jadi perawat yang selayaknya melayani org dengan baik, ato hanya dididik untuk menulis data pasien dan melipat tisu).
Sang suami yang mendekati meja resepsionis menanyakan apakah sang dokter sudah datang atau belum. Mbaknya menjawab sudah datang. Sampai di sini saya belum melepas pandangan saya dari ponsel. Hingga kemudian ketika si suami bilang gini, "Maaf mba bisa ga isteri saya masuk duluan soalnya tadi dia pendarahan, badannya masih lemas." Sesaat saya mengalihkan pandangan dengan menoleh ke arah sang isteri yang mengenakan busana warna hijau, ya saya lihat wajahnya pucat.
Tahukah anda apa jawaban si mbak resepsionis, yang maaf kalau dibilang potongan rambut dan wajahnya aja sudah ga enak dilihat. Si mbak itu malah bilang gini, "Kelihatannya masih bisa nunggu, kalau lemas itu nggak bisa duduk sama sekali, trus langsung masuk UGD aja ga usah di sini!," ujarnya dengan nada ketus sambil melipat tisu yang ada di hadapannya, tanpa sedikitpun memandang wajah si suami yang agak cemas dengan kondisi isterinya. "Kalau saya daftar sudah urutan nomor berapa trus kira-kira jam berapa? Ketika si suami tadi melontarkan pertanyaan, si mbak menjawab sekenanya masih dengan nada ketus, "50! Jam 12 malam". "Kalau orangnya belum datang, bisa kan mbak isteri saya didahulukan?" Ujar si suami dengan gigihnya mencari peluang untuk menyegerakan isterinya dapat perawatan.
"Bapak taukan aturannya di sini sesuai dengan nomor antrean. Kalau orangnya belum datang itu lain cerita! jadi aturan di sini belum berubah! kalau masih tahan nunggu ya tunggu aja," sahut si mbak, yang kemudian mengajak ngobrol pasien yang ada di sebelahnya, si bapak ga digubris! Akhirnya dia mengalihkan pandangan ke arah isterinya yang pucat menahan sakit, seolah meminta jawaban apakah sanggup menunggu, isterinya memberi isyarat dengan menganggukan kepala.
Melihat ini saya dibuat geregetan dengan ulah si mbaknya, ga bisa apa jawab dengan ramah. Ternyata ga cm saya, sepasang suami isteri yang duduk berdekatan dengan saya juga terlihat geregetan, saya dengan pasangan ini sama-sama melempar pandangan ga senang ke arah si mbak perawat, meski percuma karena yang bersangkutan cuek dan menyibukkan diri dengan kegiatannya melipat tisu.
Grrhh....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H