Hoaks dan ujaran kebencian sebenarnya bukan barang baru.
Berita bohong, fakta yang diputar balik, penipuan, rekayasa, rasisme, diskriminasi dan sederet sinonim lainnya merupakan fenomena lampau.
Namun, kombinasi antara hoaks, ujaran kebencian, internet dan jejaring media sosial memunculkan sesuatu yang gawat dan merusak seperti yang kita lihat dan rasakan sekarang ini.
Jika bicara soal dampak, hoaks dan ujaran kebencian memang sangat merugikan. Mendengar kabar dari India, kita semua terkesiap sebab hoaks sampai menimbulkan korban jiwa.
Musababnya adalah rumor penculikan anak yang beredar lewat WhatsApp yang kemudian memunculkan keresahan sosial dan aksi main hakim sendiri. Total korban yang diduga dibunuh akibat rumor tersebut sudah mencapai puluhan orang.
Di dunia politik, giliran berita bohong dan manipulasi informasi digunakan untuk mendiskreditkan lawan politik. Hal ini terungkap melalui sebuah penelitian yang dilakukan Universitas Ohio.Â
Hasil penelitian itu menyebutkan, 4% pemilih Barack Obama memutuskan tidak memilih Hillary Clinton pada Pemilu AS 2016 karena meyakini kebenaran hoax yang menyerang Hillary.
Padahal, Hillary merupakan kandidat presiden yang disokong oleh Partai Demokrat yang notabene menjadi kendaraan Obama saat memenangkan pemilu.
Di sektor ekonomi dan bisnis, kabar bohong dan rumor juga bisa menimbulkan imbas negatif. Kita tentu masih ingat akan keresahan yang ditimbulkan video hoaks telur palsu yang sempat viral di media sosial.
Lantaran video itu, masyarakat sempat takut mengonsumsi telur. Akibatnya, omzet peternak turun drastis di beberapa kota di Indonesia.
Hoaks dan ujaran kebencian memang berbahaya. Namun, yang menjadi pertanyaan, dapatkah kita menghentikannya? Meski terdengar muskil, ujaran kebencian dan berita bohong sebenarnya tidak mustahil untuk diberantas. Apalagi bagi bangsa yang punya modal, potensi serta sumber daya luar biasa besar seperti Indonesia.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!