Sambungan dari Stepbrother (part 2), Stepbrother (part 1)
Hari ini aku merasa bangun kepagian. Entah kenapa ada yang aneh. Biasanya aku tidak pernah bangun sepagi ini. Aku melakukan segalanya dengan santai mengingat waktuku masih banyak. Hingga aku turun dari kamar, dan melirik jam dinding yang terletak di ruang tengah yang besar yang sudah menunjukkan pukul 8 pagi. Aku terlonjak kaget. Mataku terbelalak dan mengucek-ngucek mataku untuk memastikan kalau aku tidak salah lihat.
Dan tentu saja aku memang tidak salah lihat karena mataku masih normal. Tadi jam di dinding kamarku baru menunjukkan pukul 7 pagi. Dan aku baru menyadari kenapa aku merasa bangun kepagian padahal sama sekali tidak kepagian. Aku bahkan sudah telat. Ada yang memutar lambat jam dinding di kamarku dan tentu saja dia itu Akira. Siapa lagi kalau bukan dia! Aku tidak tahu bagaimana ia melakukannya. Padahal seingatku aku selalu mengunci kamarku saat aku tidur.
Aku melangkah geram ke garasi mobil. Aku melirik ban mobilku hati-hati. Aku baru saja meminta montir untuk menggantinya kemarin. Tidak ada yang kempes. Aku melirik seluruh bagian mobil kalau-kalau ada yang kurang. Ternyata tidak ada kurang satu apapun. Aku bernafas lega sesaat. Hari ini mobilku aman. Walaupun aku masih was-was dengan kejutan apa lagi yang ia berikan.
Aku menyalakan mesin mobil dengan cepat, menancap gas dan mengemudi dengan kecepatan sedang. Aku bisa saja ngebut, tapi kurasa itu tidak perlu. Aku juga sudah tidak mempunyai semangat untuk pergi ke kantor karena suasana kantor sudah tidak nyaman lagi semenjak kehadiran Akira.
Aku tiba di kantor tepat pukul 08.30. Aku telat 2 hari berturut-turut. Kebetulan aku berpapasan dengan mama saat aku hendak masuk ke ruang kerjaku. Mama menceramahi seperti kemarin. Aku lemas. Tidak melawan. Hanya mendengarnya sekilas lalu menuju ke meja kerjaku dengan malas. Mama mengerutkan keningnya melihat sikapku yang berbeda. Tapi dia tidak bertanya dan memilih kembali ke ruang kerjanya.
Akira juga tentunya sudah duduk manis di meja kerjanya. Matanya tertuju pada layar monitornya. Tidak menggubris kehadiranku dan seolah tidak terjadi apa-apa. Mungkin sekarang dia sedang menertawaiku dalam hatinya.
“Sey, ada telepon.” Kata Zawa yang daritadi sibuk mengangkat telepon sehingga membuyarkan lamunanku.
“Dari siapa?” balasku datar.
“Percetakan.” Serunya dari meja kerjanya.
“Terima kasih. Aku angkat dari sini.” Aku lalu menekan tombol untuk menjawab panggilan. “Selamat pagi,” sapaku ramah.
“Pagi, Seyra.” Jawab suara yang sudah tidak asing algi. Dia itu pak Yozi yang sudah bekerja 10 tahun di perusahaan kami. “Bagaimana? Design sudah selesai?”
“Oh, sudah pak. Saya email sekarang.”
“Ok. Terima kasih.” Katanya sebelum mengakhiri panggilan.
Aku mengeluarkan labtopku dari tas. Meletakkannya dengan hati-hati di meja kerjaku yang berantakan dengan berbagai tumpukan map dan kertas. Aku menekan tombol On untuk menyalakannya. Tapi.. Hmm.. Ada yang aneh. Labtopku tidak bisa menyala. Ini benar-benar aneh. Bagaimana ini? Aku harus memberikan design-ku pada pak Yozi. Kalau tidak menyala itu artinya aku celaka. Mama pasti akan mencaci makiku lagi. Pikiran negatifku langsung menyerang otakku. Pasti Akira. Yah. Semua kesialanku ini pasti bukan tanpa sebab. Ini pasti ulah Akira. Semenjak dia ada dalam hidupku semuanya jadi berantakan. Aku tidak bisa menahan diri lagi untuk meminta penjelasan darinya. Aku beranjak dari kursiku dan memutar ke depan meja kerja Akira.
“Maumu apa sih?” Aku berdiri tegak dengan muka yang tidak bisa kulukiskan. Aku berkata dengan keras hingga Zawa dan Meico, rekan kerjaku menoleh serentak kepada kami. Aku tidak memperdulikan mereka.
Akira menatapku tanpa ekspresi. Dia bersikap tenang. Tidak ada ekspresi kemarahan yang biasanya ia perlihatkan. Dia benar-benar bisa berpura-pura. Dia ingin memperlihatkan kepada semua orang di kantor ini kalau dia itu orang yang baik. Aku benar-benar muak.
“Saya tidak mengerti maksud Anda.” Katanya datar. Masih tanpa ekspresi.
“Tidak perlu pura-pura tidak tahu Akira,” aku menarik napas berat sebelum melanjutkan, “Kau tahu? labtopku itu isinya data kerja semua. Kalau kau main-main dengan labtopku, berarti kau main-main dengan perusahaan. Apa kau masih tidak mengerti?” Kali ini suaraku semakin meninggi. Mungkin mama bisa mendengar suaraku dari ruang kerjanya.
Aku menahan diriku ke meja kerja Zawa, aku hampir kehilangan keseimbangan karena terlalu emosi. Aku melirik Zawa sekilas, ekspresinya seperti orang yang ketakutan.
Akira pun ikut berdiri dan menatapku lekat-lekat. “Jangan sembarangan bicara. Aku tidak pernah menyentuh labtopmu.” Kini mukanya terlihat serius. Tapi aku masih yakin kalau dia yang membuat labtopku mati.
Tidak lama berselang, beberapa staff di ruang kerja sebelah berdatangan ke ruang kerja kami. Semua mata tertuju padaku dan Akira. Menatap kami bergantian dengan ekspresi bingung. Beberapa detik kemudian, mama muncul dari balik kerumunan staff kantor di ambang pintu.
“Apa yang kalian lakukan?” Tanya mama yang berusaha tetap tenang. Kini mama hanya berdiri 1 meter di antara kami. Tidak ada dari kami yang mau menjawab pertanyaan mama. Mama yang menyadari sikap kami langsung bertindak. “Kalian berdua aku tunggu di ruanganku.” Katanya mantap tanpa menunggu persetujuan kami.
***
“Aku tidak peduli dengan masalah kalian. Tapi aku hanya minta satu hal. Jangan membuat keributan di kantor. Apa kalian mengerti?” Kata mama serius.
“Sudahlah. Aku capek. Aku akan melanjutkan tugasku di rumah. Terserah mama mau marah. Aku tidak peduli. Aku tidak bisa bekerja seruangan dengan orang ini. Aku pergi dulu. Permisi.”
***
Sesampainya di rumah aku menghempaskan tubuhku ke kasur yang empuk. Aku tidak bisa menghentikan diriku memikirkan semua yang telah terjadi sejak kedatangan Akira di rumah ini. Dia mengambil kamarku. Mengempeskan ban mobilku. Mengganti waktu di jam dinding kamarku. Dan sekarang merusak labtopku. Ini benar-benar sudah keterlaluan. Bukan labtop yang menjadi permasalahan, tapi design yang sudah ku buat dan sudah berjanji dengan pak Yozi terpaksa harus ku buat ulang.
Aku menggeleng-geleng cepat dan berusaha mengingatkan diriku kalau aku harus kembali berkutat dengan komputer di meja belajarku. Aku harus segera menyelesaikan design cover Yuka untuk di kirim ke pak Yozi.
2 jam berlalu. Akhirnya dengan susah payah melawan gelombang emosi yang ada, aku berhasil menyelesaikannya walaupun hasilnya tidak sebagus dengan yang kemarin sudah kubuat. Tentu saja. Saat ini aku sedang tidak mood. Tanpa pikir panjang lagi aku langsung mengirim hasil design-ku ini pada pak Yozi lewat email.
Setelah menyelesaikannya, aku duduk sambil melamun di depan komputer. 15 menit berlalu. Ada 1 pesan masuk di email-ku. Aku segera membacanya.
From : Yozi Haruka
To : Seyra Izhikawa
Dear Seyra,
Terima kasih atas kiriman design-nya. Tapi, mohon maaf karena Yuka memilih untuk menggunakan design dari Akira.
Terima kasih.
Regards,
Yozi
Aku melongo membaca pesan dari pak Yozi. Kepalaku mulai berdenyut sakit. Aku tidak bisa memikirkan apa-apa lagi. Akira sudah berhasil merebut segala-galanya dariku. Sekarang bahkan penulis pun lebih memilih design-nya Akira. Padahal sebelumnya, design-ku yang paling disukai oleh penulis. Okay. Aku hampir menangis dengan kemalanganku.
Treeettttt...
Ponselku bergetar. Aku meraihnya dari tempat tidurku dan segera memencet tombol reply.
“Halo.” Jawabku malas.
“Kau di mana?” Tanya suara yang tidak asing lagi.
“Di rumah. Kenapa mi?”
“Aku dengar tadi kau dan Akira bertengkar di kantor. Apa kau baik-baik saja?” Tanya Mami khawatir.
“Aku baik-baik saja kok. Udah ya. Aku lagi malas membicarakan dia. Nanti kalau ketemu akan kuceritakan. Dahhh.”
***
Bersambung...
*mohon saran dan kritik yang jujur dari kakak-kakak kompasianer, karena sangat penting bagi saya yang hanya seorang penulis pemula. Tq.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H