Hasrat Berkuasa dan Politik Kotor, Politisi Kehilangan Moral ?
Moral politik akan berpengaruh terhadap situasi fundamen sebuah bangsa. Politik bukan sekedar mencapai kekuasaan, tetapi memiliki tujuan dan cara yang baik. Di negara kita, cara berpolitik kelompok oposisi yang paling buruk ditunjukkan dalan kontestasi politik Pilpres 2019 yang oleh sejumlah media massa disebut disebut sebagai Pilpres terpanas sepanjang sejarah. Para elit Parpol dan politisi tampak oleh publik menggunakan berbagai cara. Salah satu hal yang paling menonjol adalah playing victim yang dilakukan oleh sejumlah politisi karbitan.
Fenomena politik buruk di Indonesia memberikan pelajaran sekaligus ancaman serius berupa penurunan kualitas cara berpikir elite politik bangsa. Dengan jelas terlihat  bagaimana api sentimen kebohongan langsung disebarkan tanpa ada konfirmasi terhadap fakta yang sebenarnya terjadi. Elite politik hari ini, terutama yang dilakukan oleh kelompok oposisi, merupakan pola pikir barbar yang sama sekali tak peduli bagaimana menyehatkan partisipasi politik masyarakat.
Menajamnya dua kutub politik ini menghasilkan kejadian-kejadian politik yang menjerumuskan kesadaran politik dan membunuh moral politik di ranah publik.Â
Kebohongan-kebohongan yang diproduksi dan disebarkan secara massif telah mampu menggoyang sendi yang paling fundamental dari bangsa yakni persatuan.Â
Para elit politik, para politisi tampaknya tidak memiliki tanggung jawab membangun bangsa yang besar, selain syahwat berkuasa yang  menggebu-gebu.  Apa yang terjadi di Indonesia, mirip seperti apa yang dimainkan Paman Sakuni lima ribu tahun lalu dalam sejarah Mahbhrata. Sebagai kelompok yang haus dengan kekuasaan, menganggap segala bentuk kecurangan adalah sah demi meraih tujuan kekuasaan.Â
Bahkan keadilan menurutnya adalah apa yang menguntungkan dan sebaliknya apapun yang merugikan kelompoknya, tidak peduli sebenar apapun, tetap dianggap tidak adil. Demikian pula kerusuhan yang terjadi di Ibu Kota Jakarta, pasca pengumuman hasil Pilres dan Pileg 2019, mencerminkan betapa tidak bermartabatnya cara-cara yang digunakan.Â
Kerusuhan 22 Mei 2019 tersebut tidak dapat dipandang sebagai sebuah kejahatan semata, tetapi rusaknya konsep berbangsa dan rusaknya moral politik para politisi.  Sangat diperlukan sebuah moral politik yang dapat digunakan untuk menghasilkan fungsi politik yang baik. Hakikat  politik yang baik itu tentu dapat diimplementasikan dalam proses perjuangan politik. Hadirnya moral politik oposisi yang baik tentu akan mendorong hadirnya gerbong penyeimbang yang baik dalam proses mengawal pemerintahan.
Namun, politik yang hanya mengejar kekuasaan dengan membangun sentiment politik identitas rasial serta menyebar ketakutan sudah tidak sesuai dengan kultur kuno Nusantara sebagaimana diajarkan dalam Lontar Sevaka Dharma, pustaka yang menjadi landasan politik kuno.
Pun apa yang diajarkan ratusan tahun lalu oleh Cakya sebagai Teachers of Political Morals.
Bagaimanapun, pertarungan politik tidak boleh mengabaikan kemanusiaan apalagi berpotensi meruntuhkan sendi fundamen bangsa yakni semangat persatuan. Apa yang diajarkan oleh Cakya dan Machiavelli lebih banyak pelajaran untuk menghadapi musuh dari luar yang bersifat kejam dan ingin menguasai sehingga seorang pemimpin harus bangkit dengan segala cara melindungi tanah airnya. Namun Cakya dengan risalahnya yang panjang mengajarkan bagaimana pola-pola menghadapi musuh yang dekat, yakni mereka yang ingin menghancurkan tatanan kehidupan bangsa, namun tidak menimbulkan