Mohon tunggu...
Hary Tri Suroyo
Hary Tri Suroyo Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Aku bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Surat buat Ibunda

18 Juni 2014   18:30 Diperbarui: 20 Juni 2015   03:15 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Langkahnya tertatih menyusuri sudut-sudut rumah berdinding papan usang, rintik hujan di luar menemani kesendirian seorang wanita paruh baya itu. Sesekali gelegar guntur menjadi teman diskusi dikala menyambut sepi. Matanya menatap tajam di balik tirai kebisuan. Kesepian dan kesendirian, tak bisa dihindarkan. Bibirnya pucat pasi menyebut-nyebut sebuah nama. Matanya berlinang seolah-olah sejalan dengan rintiknya air hujan.

Tinggal di Desa kecil bernama Kubung Talang, Jambi. Maryani, wanita berusia 52 tahun duduk termenung di balik jendela menunggu sebuah kepastian. Ia sangat merindukan seorang anaknya yang telah lama pergi merantau. Kini wanita tua itu tengah dilanda kegalauan, sudah enam bulan terkahir semenjak kepergiaan buah hatinya itu, ia tak pernah mendapatkan kabar dari anaknya tersebut. Maryani sangat merindukan Dewi, putri semata wayangnya. Bak sebuah pena tanpa tinta.  Kini Maryani merasa kehilangan separuh jiwanya. Kegelisahan dan kegundahan menjadi teman yang semakin lama semakin menggerogoti hatinya.

Semenjak suaminya meninggal dua tahun silam, bukan perkara mudah bagi Maryani menjalani kehidupan sehari-harinya. Ia berusaha membanting tulang demi menyekolahkan Dewi putri semata wayangnya yang sebentar lagi akan lulus dibangku SMK. Semua pekerjaan ia lakukan, mulai dari pembantu rumah tangga, tukang sapu jalanan sampai menjadi pemulung rela ia lakukan demi masa depan sang anak. Akan tetapi, ketika telah tamat SMK Maryani dikejutkan dengan keputusan Dewi yang hendak mengadu nasib di luar kota. Dewi merasa menjadi beban jika tetap tinggal bersama Maryani yang tidak lain adalah Ibunya. Dewi berjanji suatu saat ia akan membahagiakan Ibunya ketika telah sukses nanti. Sebagai seorang Ibu, Maryani tidak bisa berkata apa-apa. Dewi telah mengambil keputusan walaupun sangat berat bagi Maryani untuk melepaskan Putri kesayangannya tersebut.

Bagi Maryani Dewi adalah mutiara yang sangat berharga, ia menganggap Dewi menjadi penghias hatinya, penyejuk hatinya dan sebagai belahan jiwa. Hingga suatu hari menjelang senja sepucuk surat dan sebuah kotak dibungkus rapi diantarkan oleh Pak Pos ke rumah Maryani. Awalnya Maryani heran siapa yang mengirimkan surat dan sebuah bingkisan yang Maryani sendiri tak tau apa isinya. Lalu, seketika wajahnya sumringah, tersenyum lebar karena, tidak lain surat dan sebuah bingkisan itu berasal dari anaknya yang selama ini ia rindukan. Perlahan Maryani membuka surat tersebut lalu dengan seksama ia membacanya.

“Buat Ibunda Tercinta...
Bu, maafkan Dewi yang selama enam bulan ini tidak mengabarimu. Baru sekarang Dewi bisa mengabari Ibu. Dewi di sini baik-baik saja. Semoga ibu juga saat ini baik-baik saja dan selau diberikan perlindungan oleh Allah SWT. Semenjak kepergianku dari kampung  halaman, banyak cobaan dan rintangan yang aku hadapi. Dewi sangat minta maaf jika selama kepergian Dewi membuat ibu merasa sedih dan kecewa. Dan Dewi juga minta maaf jika selama enam bulan ini tidak bisa memberikan apa-apa kepada Ibu. Saat ini Dewi sudah bekerja di salah satu perusahaan swasta di Bandung. Dewi sangat senang sekali bisa mendapatkan pekerjaan ini. Semoga nantinya Dewi bisa membahagiakan Ibu. Dan untuk menghilangkan sedikit rasa kecewa ibu selama ini. Bingkisan kecil yang datang bersama surat ini mudah-mudahan bisa membantu kehidupan Ibu selama beberapa bulan ke depan. Dan tak lupa pula Dewi lampirkan sebuah foto sebagai pengobat jikalau Ibu rindu kepada Dewi. Insya Allah dalam beberapa hari ke depan Dewi akan mengambil cuti dan pulang untuk menuangkan kerinduan ini. Dewi harap Ibu dapat memaklumi.
Salam Kasih Dewi......”

Membaca surat itu, hati dan jiwa Maryani ibarat sebuah tanah gersang yang dituruni hujan lebat. Seketika kegundahan dan kegelisahan yang selama ini menjadi beban dalam hidupnya hilang bak asap ditiup angin semilir. Tak lupa Maryani membuka bingkisan kotak yang datang bersaman dengan surat Dewi. Bingkisan itu berisi sejumlah uang dan sebuah album foto Dewi dari berbagai pengalaman saat ia bekerja di Bandung. Setidaknya itu semua bisa mengobati rasa rindu yang mendalam yang selama ini Maryani rasakan.

Malam pun tiba, sehabis sholat Isya Maryani duduk di sebuah kursi sambil memegang erat surat dari Dewi. Di dalam kesendiriannya matanya memencar melihat keadaan ruangan. Seketika ingatannya kembali saat suaminya masih hidup. canda tawa, kegembiraan, kesedihan mereka rasakan bersama hidup dalam kesederhanaan membuat mereka sangat bahagia. Tapi kini, ia tinggal sendiri beruntunglah surat dari Dewi tadi sedikit menghilangkan kesedihannya. Tapi entah mengapa Maryani masih merasakan sesuatu yang mengganjal di pikirannya. Ia merasa, sebagai seorang Ibu ia tak mampu membahagiakan buah hatinya, ia merasa malu pada dirinya sendiri. Malam kian larut, hanya keheningan malam yang menemani Maryani setiap menjelang tidurnya.

Di sisi lain, Dewi yang saat ini telah bekerja dengan enak juga merasakan kegelisaan yang amat dalam. Ia sangat merindukan Ibunya. Namun, pekerjaanlah yang menutut ia harus tetap tinggal. Di Malam yang sama waktu tengah menunjukan pukul 11.00 malam. Dewi baru pulang kerja. Saat itu entah mengapa ia sangat merindukan Ibunya ia ingin bertemu dengan Ibunya, memeluknya, mengucapkan terimakasih atas pengorbanannya selama ini. Namun, waktulah  yang belum mempertemukan kita, Dewi berguman dalam hatinya.

Malam telah sampai penghujungnya, matahari telah menampakan tanda-tanda sinarnya. Kicauan burung dan kokokakan ayam jantan saling bersahutan menandakan aktivitas manusia telah dimulai. Akan tetapi, tidak dengan Maryani, ia merasa ada yang tidak beres dengan tubuhnya. Sekujur tubuhnya mulai bergetar suhu tubuhnya panas seperti terbakar, ia hanya bisa terbaring lemah tak berdaya di atas kasur tak ada seorang pun yang bisa membantunya bahkan untuk mengambil air putih sekalipun. Beruntunglah pagi itu Anton berkunjung ke rumahnya. Anton merupakan tetangganya dan merupakan teman baik Dewi semasa di bangku sekolah dulu.

Awalnya Anton berkunjung ke rumah Maryani untuk menyampaikan pesan dari Pamannya yang diperuntukan untuk Maryani. Akan tetapi, ketika Anton sampai di rumah Maryani, ia dikejutkan dengan suara minta tolong, suaranya terdengar parau, saat itu juga Anton langsung memaksa masuk ke rumah Maryani. Dan benar, lagi-lagi Anton dikejutkan dengan keadaan Maryani yang telah tergeletak di bawah kasur tubuhnya panas bagaikan api. Saat itu juga Anton berusaha mencari pertolongan dan membawa Maryani ke Rumah Sakit terdekat.

Selama perjalanan ke Rumah Sakit Melihat keadaan Maryani yang sekarang. Anton sangat prihatin, hidup sendirian tanpa ada seorang keluarga yang menemani adalah tantangan yang sangat berat. Ditambah lagi beban ekonomi yang harus dihadapinya seorang diri. Sempat terbesit di dalam pikiran Anton kemana perginya Dewi yang tak ada kabar sama sekali. Dirinya sempat marah kepada Dewi yang tak mempedulikan lagi Ibunya di Kampung. “Tapi sudahlah yang terpenting Ibu Maryani saat ini harus sehat dan bisa kembali seperti sedia kala.” Pikir Anton.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun