Seorang lelaki tua menyadarkan sepeda onthel tuanya di pinggiran halte bus sambil membawa beras raskin yang dia dapatkan dari kantor lurah di daerahnya, sembari menunggu redanya hujan yang begitu deras. Lelaki tua itu Saiman, begitulah akrabnya dipanggil. setelah beberapa lama ia menunggu akhirnya hujanpun reda dan mentari menampakan dirinya lagi yang sebelumnya tertutup awan mendung. Saiman pun langsung bergegas dan beranjak dari tempat duduknya, dengan penuh semangat dia pun melanjutkan perjalanan pulangnya yang tadi sempat terhambat.
Semenjak istrinya meninggal dunia, bukan perkara mudah bagi Saiman untuk menafkahi anak-anaknya yang masih sekolah, yakni Sardi yang masih duduk di kelas 2 bangku Sekolah Menengah Pertama serta Parman yang tidak lama lagi akan melaksanakan Ujian Nasional tingkat Sekolah Menengah Atas. sesampainya di rumah Saiman disambut oleh kedua anaknya yang tampaknya dalam keadaan murung. Saiman pun heran dan bertanya “ada masalah apa kalian berdua nak”. dengan penuh senyum Parman pun menjawab, sebentar lagi Parman akan mengikuti Ujian Nasional namun biaya SPP Parman sampai saat ini belum terlunasi. Ditambah lagi Sardi yang saat ini tidak memiliki sepatu yang layak untuk digunakan kesekolah, sehingga dia sering diejeki oleh teman-temannya.
Mendengar hal itu Saiman tidak bisa berkata apa-apa, dalam hatinya berguman apa yang harus ia lakukan ia takut mengecewakan kedua anaknya, jika ia berjanji akan suatu hal ia takut nantinya tidak dapat menepati janjinya tersebut. namun, semua itu terpaksa dia lakukan untuk menyenangkan hati kedua anaknya akhirnya dia berjanji dan mengatakan pada kedua anaknya untuk segera melunasi biaya tunggakan SPP Parman serta membelikan sepatu baru untuk Sardi. Mendengar hal itu Parman dan Sardi pun merasa senang dan lega, memang kedua anak Saiman tersebut memiliki prestasi yang baik di sekolahnya sehingga Saiman tidak mau mengecewakan kedua anaknya tersebut.
Malam pun tiba, sehabis sholat maghrib. Saiman pun duduk di depan rumah yang terbuat dari anyaman bambu dan ditemani dengan silirnya angin yang munusuk tulang. Sambil dia merenung bagaimana dia harus menepati janjinya yang diucapkan tadi. Teringat dalam fikiranya ketika dia berteduh dari hujan tadi, ada seseorang yang bertanya tentang sepeda Onthelnya dan berniat untuk membelinya. Saiman pun menolak karena dia sangat menyayangi Onthel tuanya itu. Saiman menganggap bahwa onthel tuanya itu seperti saudaranya walaupun sebenarnya sepeda itu benda mati.
Bagaimana tidak, Onthel yang Saiman gunakan saat ini adalah sebuah pemberian dari ayahnya serta menjadi saksi bisu dalam perjalanan hidupnya berkat sepeda tuanya dia bertemu sang istri tercinta, sepeda tersebut telah mengatarkan Saiman bekerja setiap hari sebagai kuli panggul, mengantarkan dagangan-dagangan serta sejuta kenangan yang ada dalam benaknya, itulah sebabnya dia menolak untuk menjualnya.
Sambil mengintip dari jendela Saiman melihat kedua anaknya sedang belajar, dia pun mengeluarkan sebuah kertas dari pecinya yang tidak lain adalah sebuah kartu nama orang yang menawar sepedanya tadi. Sempat terbesit dalam benaknya dia akan menjual onthel tua kesayanganya itu. Namun, dia masih berfikir ulang untuk menjualnya. tapi disatu sisi dia sudah bingung bagaimana dia harus menepati janji kepada kedua anaknya dan dia tidak mau mengecewakan kepercayaan anaknya yang sangat dia cintai.
Keesokan harinya dia berangkat pagi-pagi dan berpamitan kepada kedua anaknya yang saat itu sedang bersiap-siap juga untuk berangkat kesekolah. Saiman berkata dia akan berusaha untuk mendapatkan uang untuk biaya sekolah kalian. dengan penuh semangat dan tekad yang bulat Saiman pun berangkat untuk pergi ke alamat orang yang memberikan kartu namanya dan berniat untuk menjual sepeda onthelnya. Sesampainya di rumah orang tersebut dia pun dipersilakan masuk oleh pembantunya. Setelah masuk rumahnya, Saiman sedikit terkejut dimana di dalam rumah orang tersebut yang begitu mewah terdapat koleksi benda-benda tua yang unik serta antik.
Tak lama waktu berselang pemilik rumah pun datang dan menemui Saiman. Agus Prasetyo dialah pemilik rumah serta orang yang memberikan kartu nama kepada Saiman yang pada waktu itu berniat untuk membeli sepeda onthel tuanya. Agus pun serasa mengenal orang yang ingin bertemu dengan dia.
Agus pun bertanya “ada perlu apa ya pak mencari saya“. Sentak Saiman menjawab saya ingin menjual Onthel tua saya yang bapak tawar waktu itu. Agus pun barulah ingat bahwa orang yang berada dihadapanya adalah pemilik Onthel yang pada saat itu menolak untuk menjualnya. Lalu Agus pun bertanya kembali “kenapa bapak ingin menjualnya, apakah bapak berubah fikiran, bukanya bapak kemarin menolaknya” pada saat itulah Saiman langsung menceritakan yang sebenarnya tentang keadaan yang memaksakan dia harus melakukan itu semua.
Mendengar hal itu Agus pun terkejut dan tersentuh hatinya dia berfikir dalam benaknya masih ada orang yang kurang beruntung darinya. Sentak pada saat itu juga dia bangun dari tempat duduknya lalu berkata “pak saya tidak jadi membeli sepeda onthel bapak”. Saiman pun terkejut mendengar hal itu dia teringat jika dia tidak mendapatkan uang dari penjualan sepedanya dia tidak akan bisa menepati janji terhadap kedua anaknya.
Namun, Agus pun meneruskan pembicaraanya dan dia berkata “ saya tidak jadi membeli sepeda bapak bukan berarti saya tidak mau menolong bapak, saya tau bapak sangat sayang sekali terhadap sepeda onthel bapak, justru saya disini ingin membantu kesulitan yang bapak alami saat ini”.