Rumah, memiliki rumah adalah cita-cita semua orang, apalagi bagi yang sudah berumah tangga. Sekarang ini, permintaan masyarakat terhadap rumah, tiap tahun semakin meningkat. Meskipun tidak semuanya beruntung bisa memenuhi kebutuhan papan tersebut. Terlebih, di saat melemahnya perekonomian global yang mempengaruhi kondisi ekonomi dalam negeri. Persaingan mendapatkan kerja semakin ketat serta semakin tidak seimbangnya antara pendapatan dan biaya hidup. Diperkirakan, lebih dari 75% masyarakat Indonesia tidak mampu untuk membeli rumah.
Berdasarkan catatan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), pada 2014 kekurangan rumah (backlog) sebanyak 7,6 juta unit rumah per tahun. Sementara jumlah rumah tangga yang belum memiliki rumah sendiri pada 2014 sebanyak 14,2 juta keluarga. Oleh karena itu, Kementerian PUPR mendorong pemerintah daerah untuk mendukung apa yang sudah dicanangkan oleh pemerintah pusat, yaitu Program Sejuta Rumah untuk Rakyat dalam setahun. Pemerintah daerah diharapkan menyediakan lahan buat pembangunan rumah murah bagi warganya. Dengan program ini, membuat harga rumah bisa lebih murah dan mudah diakses masyarakat.
Pada 29 April 2015, Presiden Joko Widodo (Jokowi) melakukan peletakan batu pertama (groundbreaking) Program Sejuta Rumah untuk Rakyat yang dipusatkan di Ungaran, Semarang, Jawa Tengah. Saat itu, Presiden Jokowi melakukan peletakan batu pertama untuk pembangunan rumah sebanyak 103.135 unit rumah yang tersebar di delapan provinsi.
[caption id="attachment_416983" align="aligncenter" width="550" caption="Peletakan batu pertama Program Sejuta Rumah untuk Rakyat oleh Presiden Jokowi, di Ungaran, Jateng, Rabu (29/4/2015)."][/caption]
Peletakan batu pertama tersebut merupakan bagian dari 331.693 unit rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang akan dibangun pada tahap pertama. Tahap kedua dibangun sebanyak 98.020 unit dan tahap ketiga sebanyak 173.803 unit. Sementara itu, 396.484 unit rumah non-MBR akan dibangun juga tahun 2015 ini yang disesuaikan dengan mekanisme pasar. Dengan pembangunan sejuta rumah tiap tahun ini, diharapkan kekurangan rumah buat masyarakat pada 2016 tinggal 6,8 juta unit per tahun.
Rumah Tahan Gempa
Perlu diketahui, Indonesia merupakan negara rentan terdampak gempa bumi. Berdasarkan data Badan Atmosfer dan Kelautan Nasional Amerika Serikat (National Oceanic and Atmospheric Administration/NOAA), sepanjang 1800-2014, Indonesia dilanda 262 gempa bumi berkekuatan M 5 hingga M 9 atau rata-rata 1,22 kejadian per tahun. Jumlah tersebut bahkan lebih banyak dibandingkan dengan Jepang yang dengan kurun waktu yang sama dilanda 225 gempa bumi dengan skala M 5 hingga M 9 atau 1,05 kejadian setiap tahun.
Jadi, Indonesia memang sangat rentan terjadi gempa bumi. Bukan hanya karena kondisi tektoniknya, melainkan juga karena banyaknya penduduk yang berdiam di zona bahaya. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) 2010, terdapat 30,2 juta unit rumah berada di kota dan 30,8 juta unit rumah di perdesaan. Dari jumlah tersebut, menurut penelitian ahli konstruksi bangunan rumah rakyat, Teddy Boen, sebanyak 81% rumah di perkotaan berada di zona gempa kuat. Sedangkan di perdesaan, rumah yang berada di zona gempa kuat sebesar 85%.
[caption id="attachment_416984" align="aligncenter" width="550" caption="Konstruksi Rumah Tahan Gempa"]
Dengan demikian, bila pembangunan Program Sejuta Rumah untuk Rakyat tidak mempertimbangkan dan belum dipersiapkan menghadapi gempa, maka kejadian gempa di Yogyakarta dan Jawa Tengah pada 27 Mei 2006 dan gempa di Sumatera Barat pada 6 Maret 2007 serta Gempa Nepal (Minggu 10 Mei 2015), cukup menjadi peringatan. Musibah gempa yang menelan banyak jiwa itu sebagian besar karena tertimbun bangunan (tidak tahan gempa) yang ambruk.
Oleh karena itu, infrastruktur bangunan yang tahan gempa harus dipersiapkan dan harus menjadi kebijakan yang harus dilaksanakan. Ahli gempa dari Research Center and Disaster Mitigation, Institut Teknologi Bandung, Irwan Meilano, menegaskan, dengan kondisi tektonik yang kompleks, Indonesia sangat berpotensi dilanda gempa besar.
Penerapan Teknologi Permukiman
Pada Kamis 7 Mei 2015, bertempat di Grha Wiksa Praniti, Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman (Puskim), Balai Penelitian dan Pengembangan (Balitbang), Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), bersama Kompasiana mengadakan acara Nangkring dengan tujuan memperkenalkan kemanfaatan teknologi yang dihasilkan oleh Puskim. Dengan kata lain, kupas tuntas penerapan teknologi bidang permukiman.
Sebenarnya, Kementerian PUPR telah melakukan berbagai inovasi teknologi yang melahirkan teknologi terapan atau produk unggulan untuk menjawab permasalahan permukiman yang selama ini dihadapi Indonesia. Antara lain, Tenda Huntara (hunian sementara), Risha (Rumah Instan Sederhana Sehat), Rika (Rumah Kayu Instan), dan lainnya.
Inovasi dan peluncuran produk teknologi tersebut merupakan sebagian cara Kementerian PUPR guna menjawab berbagai masalah permukiman dalam rangka meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Produk teknologi tersebut juga menjadi solusi untuk menjawab tantangan pemerintah yang telah menjadi isu strategis nasional, seperti persoalan permukiman kumuh di perkotaan dan meningkatnya backlog perumahan khususnya bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Juga, masalah-masalah yang menyertai dalam pemenuhan kebutuhan rumah, yaitu akses masyarakat terhadap air minum, sampah, dan sanitasi.
Kementerian PUPR menambahkan, bahwa produk teknologi litbang yang diterangkan di atas, sudah diperkenalkan sejak 2014 lalu, sebagai bagian dari akselerasi Program Permukiman 100-0-100. Program apa itu? Kementerian PUPR melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 memiliki target 100% Akses Air Minum, 0% Kawasan Kumuh, dan 100% Akses Sanitasi (100-0-100).
Sebelumnya, pada 27 November 2014, Kementerian PUPR juga telah menyosialisasikan program tersebut kepada Kompasiana Jakarta dalam kegiatan Kompasiana Nangkring bertajuk “Dukungan Inovasi Teknologi Bidang Permukiman 100-0-100”. Jadi acara hari ini, Kamis (7/5/2015), merupakan kelanjutan dan dalam rangka terus menyebarluaskan teknologi hasil litbang guna meningkatkan kemanfaatannya dalam akselerasi Program Perumahan 100-0-100.
[caption id="attachment_416986" align="aligncenter" width="550" caption="Para pembicara (kiri-kanan, Sarbidi, Iwan Suprijanto, dan Budiono Sundaru) didampingi moderator Wardah Fazri, menyampaikan materi di acara Kolokium Hasil Litbang Permukiman 2015, di Bandung, Kamis (7/5/2015)."]
Sebagai rangakaian acara, hari ini, Pusat Litbang Permukiman menyelenggarakan Kolokium Hasil Litbang Bidang Permukiman tahun 2015 dengan tema “Dukungan Inovasi Teknologi dalam Mewujudkan Permukiman Layak Huni dan Berkelanjutan”. Rangkaian acara tersebut berlangsung sejak tanggal 4 hingga 8 Mei 2015 di Bandung, tepatnya di Grha Wiksa Praniti, Jalan Turangga No. 5-7.
Penerapan Risha dan Teknologi Subreservoir
Pukul 09.30, Acara Kompasiana Nangkring bersama Kementerian PUPR pun dimulai. Dengan menempati tenda besar yang disediakan untuk lebih dari 50 Kompasianer, terletak di selesar sebelah timur Gedung Grha Wiksa Praniti. Gedung yang berada di kompleks Pusat Litbang Permukiman, Jalan Turangga Bandung ini dirancang dengan konsep green building yang menerapkan teknologi hasil litbang yang ramah lingkungan dan sesuai dengan kondisi iklim setempat.
Menurut keterangan pembicara yang pertama, Iwan Suprijanto, ST, MT, Kepala Bidang Program dan Kerjasama, Kompleks Pusat Litbang Permukiman (Puskim) ini didesain menangkap semua air hujan hingga 100% (zero run off) dan dapat mereduksi genangan (banjir)/konservasi air tanah. Kemudian air yang ditampung tersebut dijadikan air baku (untuk kebutuhan sehari-hari) serta sebagai pasokan air terutama pada musim kemarau.
“Kompleks Puskim ini jadi role model pembangunan kawasan yang ramah lingkungan,” kata Iwan Suprijanto. Dia menambahkan, semua aspek yang diterapkan dalam membangun kompleks Puskim ini benar-benar aplikasi hasil litbang yang selama ini menjadi garapan para peneliti atau perekayasa di Kementerian PUPR. Sehingga, dari mulai material bangunan fisik yang ramah lingkungan, sistem pencahayaan, sirkulasi udara, energy photovoltaic, green fasade, sistem pemanfaatan air hujan, serta pemanfaatan ruang terbuka, semuanya mengaplikasikan green concept (ramah lingkungan).
Selanjutnya, para Kompasianer mendapatkan materi yang disampaikan oleh pembicara kedua, Ir Budiono Sundaru, Perekayasa/Peneliti Puskim Kementerian PUPR, yang mengupas tentang Rumah Instan Sederhana Sehat (Risha). “Risha ini telah diuji sejak 2000, kemudian diaplikasikan pada 2004 saat bencana tsunami di Aceh dan juga digunakan untuk rumah deret yang diprogramkan oleh Gubernur Jakarta saat itu Joko Widodo,” terang Budiono.
Apa itu Risha? Budiono menjelaskan bahwa produk teknologi ini sengaja di-branding memiliki nama yang unik agar dikenal dan gampang diingat masyarakat. Risha singkatan dari “Rumah Instan Sederhana Sehat” yang merupakan penemuan teknologi sistem konstruksi untuk bangunan gedung dan perumahan yang telah dipatenkan. Sebagai sebuah karya hasil perenungan terhadap fenomena alam, yang hadir dalam jiwa para peneliti Puslitbang Permukiman sekaligus sebagai dukungan terhadap Keputusan Menteri (Kepmen) Permukiman dan Prasarana Wilayah (Kimpraswil) No. 403/KPTS/M/2002 tentang Pedoman Teknis Rumah Sederhana Sehat (RSH).
[caption id="attachment_416987" align="aligncenter" width="550" caption="Contoh rumah sederhana sehat sistem Risha yang dibangun dua lantai."]
Risha dapat digunakan dalam penyediaan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah, rumah swadaya, serta bisa diterapkan dalam menangani perumahan pengungsian, rumah darurat, bahkan dapat digunakan sebagai rangka bangunan/rumah tradisional. Desain Risha ini merupakan rancangan teknologi konstruksi bangunan rumah tinggal dengan sistem bongkar pasang (knock down) dengan komponen-komponen yang dibuat secara pabrikasi, yang mengacu pada ukuran modular (terdiri dari panel-panel). “Moto penggunaan Risha sendiri adalah ‘pesan pagi, sore huni’. Di samping didesain menjadi rumah tahan gempa mendirikan Risha pun bisa sehari jadi,” kata Budiono menerangkan keunggulan teknologi ini di depan Kompasianer Bandung. “Satu lagi menjadi keberhasilan Risha dalam penerapannya di masyarakat adalah BMW. B: biaya murah, M: mutu bagus, dan W: waktu cepat,” tambah Budiono menyampaikan keunggulan RSH sistem Risha ini.
Di samping itu, tak kalah menarik dengan pemateri pertama dan kedua, adalah materi ketiga yang disampaikan oleh Sarbidi, ST, MT, Peneliti Bidang Air Minum dan Penyehatan Lingkungan atau AMPLP. “Di kompleks ini tidak pernah terjadi genangan saat hujan lebat dan di musim kemarau tak pernah kekurangan air,” cerita Sarbidi mengenai manfaat penggunaan drainase ramah lingkungan dengan Teknologi Subreservoir yang diterapkan di Kompleks Puskim ini.
Teknologi Subreservoir ini benar-benar menjadi solusi permasalahan yang biasa terjadi di permukiman masyarakat, terjadinya genangan (banjir cileuncang) saat hujan deras dan kesulitan air baku saat kemarau datang. Bila selama ini masyarakat sudah mulai menyadari pentingnya sumur resapan dengan membuat sumur biopori di lingkungannya untuk mengurangi permasalahan di atas. Bedanya dengan penggunaan Teknologi Subreservoir ini, air yang diserap ditampung dalam subreservoir kemudian diolah menjadi air baku yang bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari.
Jadi, Teknologi Subreservoir ini merupakan konsep pengembangan zero run off. Air hujan dari atap rumah/bangunan dapat tertahan hingga mencapai 100% dan dapat banjir cileuncang hingga mencapai 48% (cepat surut). Banyak manfaat yang bisa diambil dengan menggunakan teknologi ini, pertama sebagai penampung air hujan untuk air baku dan resapan air; kedua, membantu penyediaan pasokan air, terutama pada musim kemarau; ketiga, mereduksi banjir cileuncang di permukiman; dan keempat, mendukung pelestarian air tanah (konservasi air tanah) dan manajemen air hujan (stormwater management) di lingkungan permukiman.
[caption id="attachment_416988" align="aligncenter" width="550" caption="Banjir cileuncang banyak terjadi di sekeliling kita, permasalahan yang bisa diatasi dengan pemanfaatan Teknologi Subreservoir."]
Acara Nangkring yang dimoderatori Kompasianer Jakarta Wardah Fazri ini tak terasa sudah memasuki sesi tanya-jawab. Wardah harus mengatur kesempatan para Kompasianer Bandung yang antusias sekali ingin menanyakan pada pembicara. Ternyata, materi yang disampaikan para pembicara merupakan jawaban dari permasalahan permukiman yang selama ini menjadi persoalan yang dihadapi masyarakat maupun pemerintah. Ingin rumah sederhana yang sehat dan tahan gempa serta murah bisa menggunakan Risha. Sedangkan permasalahan banjir cileuncang yang sering melanda kota-kota besar atau permukiman sebenarnya bisa diatasi dengan menggunakan Teknologi Subreservoir yang disampaikan oleh Sarbidi, Peneliti Bidang Air Minum dan Penyehatan Lingkungan.
Usai Nangkring, Kompasianer Bandung berkesempatan mendapatkan penjelasan langsung dan melihat contoh Risha serta instalasi Teknologi Subreservoir yang digunakan di Kompleks Puskim. Setelah itu, sekitar pukul 11.30, para Kompasianer yang masih antusias dan semangat mengikuti acara diajak meninjau penerapan Teknologi Subreservoir, Workshop Risha, dan MCK Terpadu yang terletak di Desa Sindang Pakuon, Kecamatan Cimanggung, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, dengan menggunakan kendaraan yang disediakan Kementerian PUPR.
[caption id="attachment_416989" align="aligncenter" width="550" caption="Para Kompasianer Bandung berkunjung ke Workshop Risha yang terdapat di Desa Sindang Pakuon, Kecamatan Cimanggung, Kabupaten Sumedang, Jabar, Kamis (7/5/2015)."]
Setelah mendapatkan ilmu pengetahuan, bingkisan, dan diajak jalan-jalan oleh Kementerian PUPR, saatnya Kompasianer menyampaikan pengetahuan minimal bisa diterapkan bagi diri sendiri, syukur-syukur bila bisa menggugah dan menumbuhkan kepada para pembaca, pentingnya teknologi yang ramah lingkungan. Selamat membaca semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H