Konsumsi masyarakat adalah motor utama penggerak ekonomi Indonesia, menyumbang lebih dari 50% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Namun, pada tahun 2024, daya beli masyarakat berada dalam kondisi yang lesu (Muslim, 2011). Inflasi yang terus menghantui sehingga adanya potensi deflasi musiman, stagnasi pendapatan yang belum pulih sepenuhnya pasca-pandemi COVID-19, serta tekanan ekonomi global yang tidak menentu menjadi tantangan besar bagi ekonomi rumah tangga.Â
Selain inflasi, stagnasi pendapatan juga menjadi faktor utama yang memperlemah konsumsi masyarakat. Beberapa sektor ekonomi, terutama yang sangat terdampak oleh pandemi COVID-19, masih berjuang untuk pulih. Sektor pariwisata, ritel, dan manufaktur, misalnya, menghadapi tantangan besar dalam mengembalikan pendapatan pekerjanya ke tingkat sebelum pandemi.
Dalam situasi ini, pola konsumsi masyarakat cenderung berubah secara drastis. Konsumsi barang-barang non-esensial menurun, sementara fokus masyarakat tertuju pada kebutuhan pokok. Fenomena ini menimbulkan kekhawatiran serius karena melemahnya konsumsi domestik tidak hanya memengaruhi stabilitas ekonomi nasional, tetapi juga memengaruhi kualitas hidup masyarakat.
Laporan Bank Indonesia menunjukkan bahwa inflasi pada bulan September 2024 hanya tercatat 1,84%, jauh lebih rendah dibandingkan dibandingkan Agustus 2024 (Badan Pusat Statistik, 2024). Ini menandakan adanya potensi deflasi musiman yang dapat memperburuk situasi perekonomian. Dalam situasi deflasi, konsumen cenderung menunda pembelian barang dan jasa karena mereka berharap harga akan terus turun, yang pada gilirannya menurunkan permintaan pasar secara keseluruhan. Penurunan harga barang dan jasa terutama terlihat di sektor-sektor yang lebih sensitif terhadap daya beli masyarakat, seperti barang elektronik dan produk rumah tangga.
Data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada kuartal III 2024, pertumbuhan konsumsi rumah tangga Indonesia tercatat hanya 4,93% yang ditandai dengan deflasi. Pertumbuhan ini melambat jika dibandingkan dengan rata-rata pertumbuhan konsumsi dalam lima tahun terakhir yang berada di kisaran 5-6%. Â Penurunan konsumsi ini tidak lepas dari situasi ekonomi yang tidak menentu, dengan inflasi yang tetap tinggi, serta pendapatan masyarakat yang stagnan. Dengan kondisi ini, banyak orang yang cenderung menahan pengeluaran mereka, bahkan untuk barang-barang kebutuhan sehari-hari. Kondisi ini menciptakan siklus di mana rendahnya konsumsi akan semakin menekan permintaan terhadap barang dan jasa, yang pada akhirnya akan mengurangi pendapatan sektor usaha, mendorong pemutusan hubungan kerja (PHK), dan memperburuk daya beli.
Tekanan inflasi ini diperburuk oleh mandeknya pendapatan masyarakat, terutama di sektor informal dan pekerja dengan upah minimum. Di berbagai wilayah, banyak pekerja yang masih menghadapi stagnasi gaji, bahkan setelah pemerintah menetapkan kenaikan upah minimum regional (UMR) sebesar rata-rata 8%. Sayangnya, kenaikan ini tidak mampu mengejar kenaikan harga barang, terutama kebutuhan pokok seperti beras, minyak goreng, dan bahan bakar.Â
Meskipun konsumsi memberikan kontribusi signifikan terhadap perekonomian, pola konsumsi yang tidak seimbang dapat menimbulkan tantangan besar. Salah satu tantangan utama adalah meningkatnya budaya konsumtif di kalangan masyarakat. Dalam era digital dan globalisasi, masyarakat cenderung terpengaruh oleh gaya hidup konsumtif yang didorong oleh iklan dan media sosial. Banyak individu membeli barang-barang yang sebenarnya tidak diperlukan, yang pada akhirnya dapat memicu peningkatan utang rumah tangga.
Data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan bahwa pada tahun 2024, tingkat utang konsumsi di Indonesia meningkat secara signifikan. Misalnya, pinjaman konsumtif seperti kredit kendaraan bermotor dan kredit tanpa agunan terus mengalami peningkatan. Tingginya tingkat utang konsumtif ini dapat menjadi ancaman bagi stabilitas keuangan individu dan makroekonomi, terutama jika tidak diimbangi dengan kenaikan pendapatan yang memadai.
Dampak Inflasi terhadap Daya Beli
Inflasi menjadi salah satu faktor utama yang menggerus daya beli masyarakat. Kenaikan harga bahan pangan global, seperti gandum dan beras, ditambah dengan fluktuasi harga minyak mentah dunia, menyebabkan lonjakan harga di pasar domestik. Sebagai contoh, harga beras mengalami kenaikan lebih dari 15% sepanjang tahun, menjadikannya salah satu komoditas paling mahal dalam satu dekade terakhir.Â
Inflasi pangan ini menjadi pukulan berat bagi masyarakat berpenghasilan rendah, yang sebagian besar pengeluarannya digunakan untuk makanan. Ketika harga pangan melonjak, mereka harus mengurangi konsumsi barang lain, seperti pakaian, pendidikan, atau bahkan kesehatan. Akibatnya, kualitas hidup menurun, dan risiko sosial meningkat, seperti meningkatnya angka putus sekolah dan kasus malnutrisi. Â Melemahnya daya beli itu tidak hanya berdampak pada aspek ekonomi, tetapi juga memengaruhi kesejahteraan sosial. Ketika masyarakat kesulitan memenuhi kebutuhan dasar, risiko kemiskinan, malnutrisi, dan konflik sosial meningkat.
Sementara itu, kelompok masyarakat menengah ke atas relatif lebih tahan terhadap inflasi. Mereka mampu mengalihkan pengeluaran ke barang substitusi atau memilih produk dengan kualitas lebih rendah tanpa harus mengurangi jumlah konsumsi secara signifikan. Fenomena ini menciptakan kesenjangan konsumsi yang semakin tajam antara kelompok ekonomi atas dan bawah. Â Ketimpangan konsumsi antara kelompok ekonomi atas dan bawah semakin memperlebar kesenjangan sosial. Jika tidak diatasi, hal ini dapat memicu ketidakpuasan publik dan menghambat upaya pembangunan yang inklusif
Stagnasi Pendapatan Ketidakmampuan Mengejar Inflasi
Di tengah tekanan inflasi, stagnasi pendapatan menjadi masalah lain yang memperlemah konsumsi masyarakat. Banyak pekerja yang masih berjuang untuk memulihkan pendapatan mereka pasca-pandemi. Di sektor informal, seperti pedagang kecil, buruh lepas, atau pengemudi ojek online, pendapatan harian sering kali tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum. Sedangkan menurut teori John Maynard Keynes memberikan pendapat mengenai teori konsumsi. Ia mengatakan jumlah konsumsi saat ini berhubungan langsung dengan pendapatan (Keynes, 1930). Fungsi atau rumusan tentang teori John Maynard Keynes untuk menggambarkan tingkat konsumsi pada berbagai pendapatan. Tingkat konsumsi tersebut harus dipenuhi walaupun tingkat pendapatan sama dengan nol, itulah yang dikenal dengan konsumsi otonomous (Nurhuda et al., 2013).
Sementara itu, sektor formal menghadapi tantangan serupa. Beberapa perusahaan besar di sektor manufaktur dan ritel masih melakukan efisiensi akibat lemahnya permintaan pasar. Kebijakan efisiensi ini biasanya berbentuk pembatasan jam kerja, pengurangan bonus, atau bahkan pemutusan hubungan kerja (PHK).Â
Stagnasi pendapatan ini memaksa masyarakat untuk lebih selektif dalam membelanjakan uang. Sebagian besar rumah tangga kini memprioritaskan pembayaran utang, tabungan darurat, atau kebutuhan primer, seperti makanan dan tempat tinggal. Akibatnya, permintaan terhadap barang-barang non-esensial, seperti produk elektronik, pakaian, atau jasa hiburan, mengalami penurunan signifikan.Â
Salah satu contoh konkret yang menggambarkan kondisi ini adalah kenaikan harga beras pada tahun 2024. Pada awal tahun, harga beras premium mencapai Rp14.000 per kilogram, dan pada kuartal ketiga, angka ini melonjak menjadi Rp16.500 per kilogram. Kenaikan ini disebabkan oleh sejumlah faktor, termasuk anomali cuaca yang mengurangi produksi padi domestik, ketergantungan pada impor, dan gangguan logistik.Â
Bagi keluarga berpenghasilan rendah, yang sebagian besar pengeluarannya diarahkan untuk makanan, kenaikan harga beras ini menjadi pukulan berat. Mereka harus mengurangi konsumsi makanan lain, seperti protein hewani atau sayuran, demi mempertahankan pembelian beras. Pola makan yang tidak seimbang ini tidak hanya berdampak pada kesehatan, tetapi juga menurunkan produktivitas kerja.Â
Dampak kenaikan harga beras ini juga dirasakan oleh pedagang kecil. Karena daya beli masyarakat menurun, mereka kesulitan menjual produk lain, seperti lauk-pauk atau jajanan, yang biasanya menjadi pelengkap makanan pokok. Akibatnya, banyak pedagang yang mengalami penurunan pendapatan harian.Â
Mengapa Situasi Ini Harus Ditangani dengan Serius?Â
Sebagai penulis, saya berpendapat bahwa kondisi rapuh konsumsi masyarakat pada tahun 2024 adalah masalah serius yang memerlukan perhatian mendalam dari pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya. Ada alasan utama mengapa isu ini harus menjadi prioritas nasional. Â Karena konsumsi adalah Penopang Utama Ekonomi Indonesia. Dengan kontribusi lebih dari 50% terhadap PDB, melemahnya konsumsi masyarakat dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Tanpa konsumsi domestik yang kuat, sektor-sektor lain, seperti manufaktur dan perdagangan, akan kesulitan berkembang. Ketika konsumsi domestik melemah, ekonomi Indonesia menjadi lebih rentan terhadap goncangan eksternal, seperti fluktuasi harga komoditas internasional atau perlambatan ekonomi global. Â Â
Kondisi konsumsi masyarakat yang rapuh pada tahun 2024 mencerminkan tantangan besar yang dihadapi oleh perekonomian Indonesia. Inflasi yang tinggi, stagnasi pendapatan, dan ketimpangan konsumsi menimbulkan dampak yang luas, baik dari sisi ekonomi maupun sosial. Sebagai negara yang sangat bergantung pada konsumsi domestik, Indonesia harus mengambil langkah-langkah konkret untuk melindungi daya beli masyarakat, menciptakan lapangan kerja, dan memastikan bahwa kebijakan ekonomi berpihak pada kelompok masyarakat yang paling rentan. Dengan demikian, perekonomian Indonesia dapat kembali tumbuh secara inklusif dan berkelanjutan, meskipun di tengah tantangan global yang semakin kompleks.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H