Tut Wuri Handayani adalah sebuah semboyan yang tak asing lagi buat kita apalagi di dunia pendidikan. Setiap orang yang pernah mengenyam pendidikan Sekolah Dasar pasti pernah mendengar filsafah ini. Sebuah konsep pembangunan negeri yang dibagi menjadi tiga elemen.
Berikut adalah filsafah lengkapnya :
Ing Ngarso Sung Tulodho,
Ing Madya Mangun Karsa,
Tut Wuri Handayani.
“Ing Ngarso sung Tulodho” elegi pembuka dari filsafat ini. Sebuah semboyan yang berarti seorang [pemimpin] yang berada di depan haruslah selalu memberi contoh. Sebuah contoh untuk dapat diikuti dan diamalkan terutama oleh dirinya dan orang-orang yang dipimpinnya.
Bagian kedua filsafat ini adalah “Ing Madya Mangun Karsa” atau di tengah [sebagai pengikut atau pengemban] seharusnya membangun karsa atau kehendak. Para warga negara rakyat atau penngemban yang berada di tengah tidak hanya diharapkan selalu mencontoh sang pemimpin tapi diharapkan juga mampu membangun lingkungan atau suasana yang kondusif. Dengan hadirnya contoh dan lingkungan yang kondusif diharapkan sebuah negara atau lingkungan dapat hidup dan berkembang.
Tut Wuri Handayani, sebagai fungsi ketiga, berarti agar para generasi penerus atau generasi muda dapat selalu mengikuti contoh dan suasana kondusif yang telah ada. Sehingga diharapkan pada saatnya nanti tiba, yakni saat mereka memainkan peran entah itu di depan (Ing Ngarso) atau pun di tengah (Ing Madya) mereka dapat menjalankan fungsinya dengan baik yakni untuk memberi teladan ataupun menciptakan suasana yang kondusif.
Yang akan saya bahas pada postingan kali ini bukanlah mengenai filosofi dari semboyan ini tetapi lebih ditekankan pada penerapannya pada kehidupan nyata. Khususnya dunia pendidikan dewasa ini.
Sedikit akan saya kritisi di sini. Dulu mungkin saat Indonesia masih muda semboyan ini masih mungkin diterapkan karena apa? Karena kedua elemen yang berada di atas tut wuri handayani ada. Saat itu masih banyak pemimpin yang layak diteladani. Mampu memberikan contoh yang baik. Dan bukan hanya itu perjuangannya memperjuangkan Indonesia layak diacungi jempol. Mereka mau keluar masuk penjara, diasingkan, jauh dari keluarga, ditekan dari berbagai penjuru hanya untuk memperjuangkan satu kata “kemerdekaan”. Bahkan banyak dari mereka yang gugur hanya untuk menjaga kehadiran negara tercinta kita.
Pada saat itu pula para warga negara dan rakyat yang rela sepenuh hati membantu perjuangan para pemimpinnya dengan harta, jiwa dan raga hanya untuk menghadirkan karsa atau lingkungan yang kondusif. Mereka berjuang dengan tulus meskipun tidak pernah diekspose oleh berita. Walhasil dengan teladan dari pemimpin dan dukungan dari warga negara maka kemerdekaan bisa diraih dan dipertahankan sekian lama.
Pada saat-saat itu wajar jika semboyan tut wuri handayani diterapkan. Karena dua elemen di atasnya ada dan menjalankan fungsinya dengan benar. Output dari semboyan ini adalah muncul pejuang-pejuang baru yang siap menggantikan pemimpin ataupun laskar pejuangnya. Sehingga kesinambungan perjuangan akan tetap terjaga.
Yang menjadi pertanyaan adalah implementasi tut wuri handayani saat ini khususnya di dunia pendidikan. Apakah masih tepat dan relevan. Apalagi mengingat dua elemen di atasnya sudah tidak lagi menjalankan fungsinya sebagaimana mestinya.
Sejak negara ini diperintah oleh pemimpin yang isunya sejak muda sudah menggelapkan kayu ke luar negeri dan memperoleh tahtanya dari hasil merampas kekuasaan dari pemimpin yang sah, negeri ini jadi kehilangan sosok pemimpin yang bisa “sung tulodho”. Tentunya teladan ke arah kebaikan.
Setiap pemimpin pasti memberikan teladan. Tapi teladan ke arah mana itulah yang menjadi pertanyaan? Selama memerintah, teladan ke arah mana yang telah beliau tunjukkan sudah terlihat jelas. KKN merajalela hampir di semua sendi. Semua departemen, lembaga dan organisasi yang ada sudah terkena imbas dari penyakit “keteladanan” ini. Secara logis tak mungkin mereka muncul dan memiliki penyakit ini dari dalam diri mereka sendiri jika tanpa ada teladan dan semacam “legalitas” dari pemimpin-pemimpin mereka.
Bentuk penyebaran penyakit ini ke dalam berbagai macam lembaga, organisasi, dan departemen ini adalah wujud implementasi dari semboyan kedua. Ing madya mangun karsa. Tentunya para warga negara dan pengemban amanah akan dengan senang hati menciptakan lingkungan yang kondusif. Kondusif untuk penyakit ini. Penyakit KKN dan segala kroninya.
Lalu jika kedua elemen di atasnya memberikan contoh ke arah KKN dan berbagai macam penyakit yang menggerogoti bangsa ini apakah masih pantas dunia pendidikan untuk menerapkan semboyan tut wuri handayani. Mengikuti teladan dari dua elemen di atasnya. Mengajarkan kepada para generasi muda untuk melestarikan penyakit ini. Kemudian tak urung pula melestarikan budaya ini ke dalam batang tubuh dunia pendidikan.
Kalau memang benar demikian, wajar saja jika di dunia pendidikan saat ini sudah dilegalisir dengan adanya berbagai pungutan liar, sogokan-sogokan resmi hanya demi insan-insan yang tidak mampu secara intelektualitas tapi mampu secara materi untuk berada di tempat yang tidak semestinya. Wajar karena ini adalah dampak dari mengikuti semboyan tut wuri handayani. Karena dua elemen di atasnya mengiyakan maka wajar jika di dunia pendidikan berkembang menjadi seperti ini.
Mari katakan TIDAK!!! Cukup sudah kita mengikuti dua elemen di atas yang sudah memberikan contoh tidak baik. Jika memang dikatakan ini menentang semboyan dunia pendidikan yang selalu “Tut Wuri Handayani” maka TENTANGLAH!!! semboyan itu. Jangan lagi terapkan tut wuri handayani jika memang para pemimpin yang diteladani telah menyimpang dari kebaikan. Buat apa kita ikuti? Apakah kita rela generasi muda penopang masa depan kita hancur hanya gara-gara kita membela untuk menerapkan semboyan lama yang sudah tidak berada di fungsinya? Gunakan semboyan baru. Jika memang sudah tidak ada lagi teladan yang pantas, maka buat teladan itu. Buat dari sekarang, buat dari yang kecil dan buat dari diri sendiri. Tidak ada yang pernah melarang dunia pendidikan untuk menjadi contoh bagi yang lain. Meskipun dunia pendidikan diletakkan sebagai elemen belakang maka : Jadikanlah ia contoh. Contoh bagi anak-anak kita mengenai bagaimana harus bersikap dan bagaimana harus membangun bangsa ini. Maka saya katakan semboyan baru untuk dunia pendidikan adalah Ing Ngarso Sung Tulodho.
Berikan contoh kepada anak-anak kita tentang yang baik. Tentang kedisiplinan, kejujuran tentang keikhlasan dan perjuangan. Dan biarkan anak-anak kita kelak menjadi contoh bagi dua elemen di atasnya. Dan jika saatnya nanti tiba biarkan mereka menjadi pemimpin kita yang akan memberikan kita contoh bagaimana harus berbuat yang baik. Karena kita tak akan hidup selamanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H