Mengritik premanisme di negara miskin seperti Indonesia sama saja mengomentari kemiskinan itu sendiri. Secara terminologi, preman berasal kata Free Man (Inggris). Artinya kurang lebih pengangguran. Di Indonesia. preman identik dengan kekerasan dan menyerempet kejahatan.
Jika istilah ini benar, maka preman adalah buah ketidakbecusan negara mengurus warganya. Dalam hal ini adalah minimnya lapangan pekerjaan yang sesuai dengan mereka.
Pekerjaan yang hanya mengandalkan otot akhirnya menjadi pilihan ketika sektor formal tak banyak memberi kesempatan.
Jangan salahkan polisi yang tak menangkapi preman. Apalagi mengusulkan dihidupkan lagi petrus atau penembak misterius untuk menembaki mereka. Jangan sampai tato dan penampilan seram mereka menjadi alasan pembenar untuk menyarangkan butir peluru ke kepala mereka.
Polisi sesuai dengan kewenangannya hanya menindak jika melakukan pelanggaran hukum. Salahkan mereka jika tak mampu menangkap penjahat atau mengungkap sebuah kasus kejahatan.
Masalah preman adalah masalah pengangguran. Kalau bicara lapangan pekerjaan tentu tak bisa dilepaskan dengan urusan perut dan asap dapur. Jika urusannya sudah ke kebutuhan paling mendasar ini, manusia tentu rela melakukan apa saja. Termasuk bertindak kriminal.
Hemat saya, pencegahan mereka bertindak kriminal tentu lebih baik dari pada tindakan tegas ketika mereka sudah berbuat kejahatan.
Jika John Kei ditangkap dan ditembak, bukan karena statusnya sebagai preman. Tapi seseorang yang diduga membunuh.
Bukan bermaksud membelanya, tapi John juga adalah seorang dewa bagi pengikutnya di mana mereka menggantungkan hidup melalui pekerjaan yang diberikan John. Sesuatu yang negara tak bisa berikan kepada mereka.
Banyak media massa menyebutnya bos preman yang berkonotasi negatif. Tapi sah-sah saja mungkin jika ada yang menyebutnya tokoh pemuda.
Terlalu normatif mungkin, tapi kekerasan tak selalu harus dibenturkan dengan kekerasan.