Mohon tunggu...
Suripto Suripto
Suripto Suripto Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Penulis pemula yang semangat memilih huruf membentuk kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Moratorium PNS dan Efisiensi

9 Oktober 2011   08:03 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:10 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kebijakan moratorium membuat sebagian orang tersenyum dan sebagian lainnya mengerutkan kening bahkan menangis. Pihak yang tersenyum merupakan orang-orang yang berharap adanya perbaikan dalam berbagai aspek tubuh birokrasi pemerintah. Perbaikan tersebut meliputi kelembagaan atau struktur organisasi, tatalaksana dan manajemen sumber daya manusia aparatur. Sedangkan pihak yang bersedih merupakan pihak lainnya yang menjadi formasi calon pegawai negeri sipil (CPNS) sebagai ladang mencari uang. Hal ini telah banyak diungkap dalam berbagai forum diskusi baik dipusat maupun di daerah bahwa formasi CPNS sering di perjual belikan. Untuk masuk formasi golongan III bahkan ada yang menyatakan sampai 300 juta. Tetapi, kitatidak akan mengulas hal tersebut lebih lanjut, mungkin lain kali. Saat ini saya tertarik dengan moratorim dalam rangka penataan SDM dan efisiensi anggaran.

Kebijakan moratorium saat ini telah berlaku sampai dengan 31 Desember 2012. Artinya, sampai dengan waktu tersebut tidak ada lagi penerimaan PNS di seluruh Indonesia. Mestipun masih dimungkinkan untuk kebutuhan tenaga khusus (tertentu). Selama kebijakan moratorium setiap organiasi pemerintah diwajibkan membuat grand desain PNS di tempat masing-masing, sehingga di ketahui kebutuhan riil akan jumlah PNS-nya. Apabila sampai dengan batas akhir moratorium belum terbentuk Grand Desain PNS tersebut maka di berikan sanksi tidak diberikan formasi CPNS. Langkah ini merupakan langkah bijakyang telah ditempuh oleh pemerintah, dimana sebagian PNS dianggap “tidak produktif” atau “makan gaji buta”.

Strategi “mbayar siji ulih loro”, bila diterapkan sebagai kebijakan tentunya sangat relevan dan sejalan dengan semangat moratorium PNS. Dari sisi anggaran, efisiensi / penghematan anggaran sampai sebesar 41.48 %. Dalam RAPBN 2012, biaya Birokrasi diperkirakan mencapai 80.43% yang sebagaian besar adalah untuk biaya belanja aparatur. Artinya hanya kurang dari 20% anggaran yang dialokasikan untuk pelayanan masyarakat. Dengan demikian tidak ada kebijakan yang lebih baik kecuali moratorium dan Strategi “mbayar siji ulih loro”. Selanjutnya dari sisi fungsi tentunya dengan system “doble track “ (menggunakan gaagungan structural dan fungsional), maka seseorang akan menjadi kaya fungsi, alias sangat produktif. Hal tersebut tentunya akan membawa dampak pada organisasi yang semakin berenergi dan berkinerja tinggi. Atau dengan kata lain, biaya optimal hasil maksimal.

Salam

Suripto

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun