Akhir-akhir ini banyak kalangan yang memperdebatkan rencana pemerintah untuk membuat dan menerapkan kebijakan moratorium hutan. Salah satu yang menarik perhatian adalah tulisan Transtoto Handadhari di harian Kompas (28 Februari 2011) dengan judul cukup provokatif “’ Bunuh Diri” dengan Moratorium Hutan.” Tulisan itu mengemukakan sejumlah persoalan bila kebijakan itu diberlakukan. Sebagai anggota Komite Tetap Industri Hasil Hutan Kamar Dagang dan Industri Indonesia (lihat Kompas, 2 Maret 2011), pandangan Transtoto Handadhari itu kemungkinan mencerminkan kecemasan sebagian pelaku industri kehutanan terhadap kebijakan moratorium. Sehingga tidak mengherankan kemudian berhasil mengundang tanggapan pemerintah.
Sekretaris Jendral Kementerian Kehutanan, Hadi Daryanto, mengatakan bahwa industri kehutanan sebenarnya tidak perlu terlalu khawatir dengan kebijakan moratorium hutan karena masih tetap dapat berusaha di kawasan hutan produksi yang rusak dan terlantar (Kompas, 2 Maret 2011). Selain itu, Hadi Daryanto juga menekankan agar kalangan organisasi non-pemerintah tidak mempertentangkan draft moratorium hutan versi Kementerian Koordinator Perekonomian dengan draft yang dirancang Satuan Tugas REDD+
Agar dapat memahami duduk perkaranya maka kita perlu mengkaji apa sebenarnya makna dari gagasan moratorium hutan yang saat ini sedang mendapat soroton publik. Bagi Transtoto Handadhari, arti moratorium hutan kelihatannya lebih pada pelarangan penebangan dan pemanfaatan kawasan hutan untuk kegiatan industri yang berkerangka waktu lama. Indikasi bahwa beliau memahaminya dalam konteks itu dapat dilihat dari contoh pengalaman moratorium di Aceh dan Vietnam yang dikemukakannya. Kebijakan moratorium di dua tempat itu menekankan pada pelarangan menebang kayu di semua kawasan untuk jangka waktu lama hingga seluruh prasyarat moratorium dapat dipenuhi. Baik di Vietnam atau di Aceh, kebutuhan kayu setelah moratorium kemudian mengandalkan pasokan dari luar propinsi (pada kasus Aceh) dan negara tetangga (pada kasus Vietnam). Pengertian moratorium seperti ini memang tidak salah, tetapi pertanyaannya apakah tujuan moratorium dalam dua kasus itu sama dengan konteks moratorium yang saat ini sedang diperdebatkan. Apa yang berbeda dari ke dua model moratorium itu akan saya jelaskan di bawah ini.
Ada dua elemen kunci yang merupakan prinsip dasar dari moratorium. Pertama, latar belakang yang mendasari tujuan pembelakuan moratorium, dan kedua, kriteria pembenahan tata kelola dan pengurusan yang akan diperbaiki selama pemberlakuan jeda atau moratorium.
Di lihat dari tujuan yang melatarbelakanginya, ada yang dibuat dengan tujuan untuk melarang seluruh kegiatan penebangan kayu, namun ada pula yang dibuat untuk tujuan penataan. Dengan demikian meski menggunakan kata-katanya sama, tapi di antara mereka yang mendorong kebijakan moratorium hutan sebenarnya belum tentu memiliki kesamaan arti dan tujuan yang ingin dicapai dari sebuah kebijakan moratorium.
Dengan demikian salah satu perbedaan mendasar antara kebijakan moratorium hutan di Aceh dengan moratorium hutan yang saat ini sedang dirancang menurut hemat saya di tujuan yang ingin dicapai . Kalau yang di Aceh fokusnya lebih pada penghentian penebangan kayu setelah belajar dari rangkaian bencana alam dengan biang keladi penebangan hutan yang tidak terkendali. Sementara moratorium hutan yang saat ini tengah disusun pada dasarnya bertujuan mendorong adanya perbaikan tata kelola dan pengurusan hutan untuk memangkas emisi karbon yang menyertai deforestasi, degradasi hutan dan perubahan tata-guna lahan. Selain itu, dari jangka waktunya, moratorium yang diterapkan di Aceh jangka waktu penerapannya lama, sementara moratorium hutan yang sedang di gagas saat ini masa jeda penerapannya dibatasi. Kalau menilik pernyataan Sekertaris Jendral Kementerian Kehutanan bahwa ada dua draft tentang moratorium hutan, maka pertanyaan kita sebagai publik awam adalah apakah dua draft moratorium yang disebut-sebut memiliki tujuan sama yaitu perbaikan tata kelola dan pengurusan hutan untuk pemangkasan emisi karbon. Munculnya dua draft tentu menandakan adanya perbedaan di antara keduanya. Pertanyaannya lalu apakah perbedaan isi dari dua draft itu mendasar dan berpengaruh pada upaya untuk perbaikan tata kelola?
Karena dua draft itu tidak secara resmi dibuka ke publik, maka tidak dapat kita kritisi isinya. Tujuan saya lewat tulisan ini, oleh karena itu, lebih untuk memberikan gambaran tentang mengapa untuk perbaikan tata kelola dan pengurusan hutan diperlukan moratorium.
Cukup sedehana sebenarnya untuk memahaminya. Kalau kita pakai ilustrasi orang yang sedang beres-beres rumah untuk menata kembali isinya, moratorium itu ibarat jeda untuk tidak terima tamu di saat kita beres-beres rumah. Dalam konteks perbaikan tata kelola hutan itu artinya menahan dulu izin-izin baru sebelum ada kejelasan tentang apa yang kita semua, sebagai bangsa, bersepakat untuk di tata, menetapkan ukuran yang digunakan untuk menata itu, apa langkah-langkah untuk melakukan penataan, dan seterusnya.
Sebelum dapat memahami tentang apa yang mesti di tata, maka terlebih dahulu kita perlu mengetahui apa yang dimaksud dengan kawasan hutan dan non-kawasan hutan itu dan persoalan yang terkait dengan tata kelola dan pengurusannya. Sesuai dengan apa yang tertera di Undang-Undang Kehutanan No 41 Tahun 1999 yang menjadi dasar pijakan Kementerian Kehutanan, kawasan hutan adalah kawasan yang ditunjuk oleh pemerintah. Dalam hal ini adalah kawasan yang ditetapkan oleh Kementerian Kehutanan sebagai kawasan hutan. Realitanya kalau kita ke lapangan, kawasan hutan yang ditetapkan ini dapat berupa kawasan yang masih berhutan (masih dijumpai tegakan pohon) ataupun yang tidak berhutan. Jadi jangan heran kalau di atas kertas statusnya adalah kawasan hutan tetapi fakta di lapangan tidak terdapat satupun tegakan pohon. Bahkan di beberapa tempat, kadang dijumpai kawasan hutan yang fakta fisiknya di lapangan adalah kebun kelapa sawit, jalan raya, gedung pemerintah, pemukiman penduduk, pemukiman transmigrasi, ladang pertanian rakyat, dan sebagainya. Hal ini penting dikemukakan di sini karena apa yang di atas peta berbeda dengan fakta di lapangan. Kalau perbedaan antara apa yang tertera di peta dan apa yang terjadi di lapangan sangat masif dan meluas, tentu ada persoalan mendasar dari pengelolaan hutan kita. Apa akar masalahnya akan saya jelaskan di bawah ini.
Luas kawasan hutan yang diklaim oleh Kementerian kehutanan berdasarkan data terakhir adalah 130 juta hektar atau sekitar sekitar 68 persen dari total luas daratan di seluruh kepulauan Indonesia. Di beberapa daerah luas kawasan hutan ini ada yang hampir seluas provinsi (kasus Provinsi Kalimantan Tengah) atau kabupaten. Bahkan ada beberapa kabupaten pemekaran yang seluruh wilayah kabupatennya adalah kawasan hutan. Padahal, di dalam kawasan hutan tidak boleh ada kegiatan yang tidak sesuai dengan klasifikasi fungsi lahannya yaitu produksi, konservasi, lindung, dan konversi. Jadi dari sisi aspek legal, fasilitas yang dibangun oleh pemerintah, aktivitas rakyat, dan kegiatan swasta yang belum mendapatkan ijin tertulis dari Kementerian Kehutanan pada dasarnya dapat dianggap “illegal.” Di provinsi dan kabupaten yang saat ini hampir seluruhnya masih berstatus kawasan hutan itu artinya hampir seluruh kegiatan pembangunan dan kehidupan masyarakat di wilayah itu pada dasarnya “illegal” dari perspektif Undang-Undang Kehutanan yang menjadi dasar pijakan Kementrian Kehutanan.
Ada fakta yang sesungguhnya tidak banyak diketahui publik luas dan sebenarnya sangat memprihatinkan. Dari luasan kawasan hutan yang diklaim Kementrian Kehutanan baru sedikit yang telah selesai di tata batas dan ditetapkan, sesuai Undang-undang Kehutanan. Di lingkungan Kementerian Kehutanan inilah yang disebut sebagai proses pengukuhan hutan. Mengacu pada keputusan Kementerian Kehutanan sendiri, terdapat empat langkah terkait dengan pengukuhan hutan. Langkah pertama adalah menyiapkan peta dan usulan tentang batas-batas kawasan. Langkah ke dua adalah melakukan proses deliniasi tata batas. Di tahap ini biasanya muncul perbedaan pendapat terutama dengan masyarakat sekitar trayek tata batas tentang dimana letak batas antara hutan dan kawasan hak mereka. Oleh Karena itu perlu dilakukan negosiasi untuk mencari titik temu dengan pihak-pihak yang tidak sepaham ini. Setelah ada kesepakatan tentang batas-batas ini di lapangan, kemudian dilanjutkan dengan langkah ke tiga yaitu pengesahaan batas-batas kawasan termasuk dengan penetapan patok dan pal-pal batas di lapangan. Langkah terakhir adalah semua pihak menandatangi berita acara pengesahan tata batas. Informasi tentang tata batas ini kemudian dimasukan ke dalam Lembaran Negara sehingga dapat diketahui oleh publik luas. Proses pengukuhan ini adalah bagian dari kerja Panita Tata Batas yang dibentuk dan disahkan oleh Bupati/Walikota setempat. Adapun anggota dari panitia adalah unsur-unsur pemerintah terkait dan wakil-wakil masyarakat setempat.