ANIES BASWEDAN DAN PARAMADINA
Pagi ini waktu Frankfurt, saya sedikit-terkejut membaca ‘tag’ postingan di FB berjudul “Menguak Kedok Kelam Anies Baswedan” (http://politik.kompasiana.com/2013/08/29/menguak-kedok-kelam-anies-baswedan-587934.html) yang ditulis oleh ‘anonim’ Cak-Nur-Lover (CNL). Saya katakan ‘cuman’ sedikit-terkejut, karena saya tahu ini isu-lama yang coba diungkit-ungkit kembali. Mungkin dianggap waktu-nya pas yakni dalam minggu-minggu ini ada partisipasi mas Anies dalam konvensi-capres Partai Demokrat & sewindu haul almarhum Cak Nur di akhir Agustus 2013. Selain soal anonimitas-penulisnya, Cak-Nur-Lover juga baru terdaftar sebagai kompasianer sejak 29 Agustus 2013, artinya memang ada tujuan tertentu yang ingin di bidik dari tulisan itu dengan memanfaatkan ‘momen’ yang ada.
Saya melihat dalam tulisan itu ada beberapa plintiran atas apa yang sebenarnya terjadi. Oleh karenanya, saya ingin menuliskan info-info terkait poin-poin yang ada dalam tulisan itu. Tentu saja menurut ‘kaca-mata’ saya sendiri; sebagai dosen-tetap Dept Falsafah & Agama/FA Univ Paramadinas sejak 2005 (sebelum Mas Anies menjadi rektor thn 2007) dan sebagai Ketua Dept FA (2008-2009) sebelum studi S3 saya di Jerman diakhir tahun 2009.
Mas Anies & Pemilihan Rektor
Pemilihan rektor bermula dari habisnya masa jabatan pejabat-sementara (pjs) rektor DR. M. Sohibul Iman (sekarang wakil-ketua DPR/ Franksi PKS) yang sebelumnya mengganti pjs rektor Sudirman Said, S.E, Akt (dulu diangkat sejak Cak Nur rektor-pertama mulai sakit-sakitan) yang mundur karena kesibukan beliau di BRR (Badan Rehabilitas & Rekonstruksi) Aceh.
Mekanismenya (sesuai statuta Yayasan Paramadina), sederhananya, mirip dengan pemilihan rektor di universitas-negeri dan IAIN: senat-universitas mengadakan rapat untuk memilih beberapa kandidat, lalu nantinya Mendiknas/Menag yang memutuskan dan mengesahkan rektor-terpilih. Kadang terjadi (dan memang ada beberapa kasus) rektor-terpilih yang diputuskan dan disahkan Mendiknas/Menag tidak sesuai dengan urutan-kandidat yang dipilih senat-universitas. Tentu saja ini melahirkan kekecewaan pendukung calon-rektor yang memperoleh suara terbanyak dalam pemilihan oleh senat-universitas .
Saat rapat senat-universitas pertama digelar, belum ada nama mas Anies dalam bursa-calon meski saat itu dia sudah menjadi wakil-ketua di Yayasan Paramadina. Dari beberapa nama yang diusulkan, Yudi Latief (kang yudi) mendapat suara tertinggi. Saat itu menurut saya pemetaan dukungan calon-rektor di yayasan ada 4: (a) yang mendukung Mas Iman kembali jadi rektor, (b) yang mendukung kang Yudi, (c) yang tidak mendukung Mas Iman, tapi juga tidak mendukung kang Yudi, dan (d) yang netral.
Setelah pihak yayasan meminta senat-universitas untuk kocok-ulang alias rapat-kedua dan memilih kembali, nama mas Anies juga belum muncul dibursa calon. Kang Yudi lagi-lagi mendapat suara tertinggi dari sejumlah nama yang beredar seperti kang Yudi (wakil Rektor 3), Hendro Martowardoyo (Bendahara yayasan, pengusaha & adik Agus Martowardoyo), Azyumardi Azra (mantan ketua yayasan dan saat itu akan selesai jabatan rektor UIN Jakarta), Komaruddin Hidayat (mantan pengurus yayasan, direktur pasca-sarjana UIN Jakarta dan digadang-gadang akan jadi rektor UIN), Ichlasul Amal (mantan rektor UGM), dan lainnya.
Setelah 3 calon yang memperoleh suara terbanyak diserahkan kepada pihak yayasan, ternyata Hendro Martowardoyo yang memperoleh suara terbanyak-kedua yang diputuskan dan ditetapkan menjadi rektor. Saat itu “bersliweran” ekspresi kekecewaan dari banyak orang yang kurang setuju dengan penetapan Pak Hendro; mulai dari sms-gelap, gossip-gosip diseputar pemilihan rektor dan lainnya.
Ketika saatnya tiba dihari pengangkatan Pak Hendro sebagai rektor, semua dosen Univ Paramadina dan undangan berkumpul di aula. Karangan bunga dan ucapan selamat sudah berjejer dimana-mana dilingkungan kampus. Sebelum di angkat, Pak Hendro memberi-sambutan dan semuanya kaget karena beliau menyatakan mundur dan tidak bersedia menjadi rektor di atas suasana-batin internal Paramadina yang makin memanas akibat konflik pemilihan rektor. Beliau memberi saran, sebaiknya bukan dia yang menjadi rektor tapi figur lain yang mungkin lebih diterima semua pihak dan bisa lebih jernih melihat konflik yang terjadi sehingga konflik bisa segera di atasi dan jaminan masa-depan kampus akan lebih baik.
Setelah mundurnya Pak Hendro, pemilihan rektor seperti dead-lock, mengalami jalan buntu. Yang saya dengar akan dibentuk tim khusus (gabungan senat-universitas, pihak-yayasan dan pihak luar yang tahu Paramadina sehingga bisa menjadi mediator). Butuh waktu beberapa bulan untuk mendapatkan hasil pemilihan-rektor baru yang akhirnya memunculkan nama Mas Anies. Selain soal kapasitas yang menjanjikan, dia juga dianggap tidak terlibat dalam konflik-pemilihan rektor dan menjadi figure yang relative diterima para pendukung calon rektor di internal Paramadina yang sebelumnya berkonflik.
Jadi dengan kronologis seperti itu, menurut saya tidak ada konflik-langsung antara Mas Anies dan Kang Yudi. Selain itu, keduanya juga punya ‘jalur berbeda (Mas Anies alumni UGM dan Amerika sementara Kang Yudi alumni UNPAD dan Australia) dan baru ketemu sebentar di Paramadina. Tentu saja Kang Yudi kecewa dengan proses dan hasil pemilihan rektor (terutama pada keputusan-keputusan yayasan), tapi menurut saya Kang Yudi dengan segala kebijaksanaannya memahami posisi Mas Anies dalam kasus itu. Pada awal Mas Anies menjadi rektor, sisa-sisa konflik itu masih terlihat terutama dari pendukung-pendukung calon rektor yang merasa kecewa, tapi menurut saya lambat laun Mas Anies melalui kinerja dan ‘proses-rekonsiliasinya’ berhasil mencairkan kebekuan akibat ketegangan-konflik di internal Paramadina. Harus diakui juga, konflik bagaimanapun sangat sulit untuk dituntaskan. Riak-riaknya bisa muncul kapan saja, sesuai waktu dan kepentingannya. Saya melihat semangat itu yang muncul dari fenomena tulisan Cak-Nur-Lover.
Mas Anies & Kampus Paramadina
Menjadi rektor yang mewarisi nama-besar almarhum Cak Nur dan ditengah konflik yang sebelumnya terjadi dalam proses pemilihan rektor, tentu tugas Mas Anies tidaklah mudah. Apalagi ekpektasi dari beberapa pihak juga cukup besar. Tapi saya melihat Mas Anies menjalankan kepemimpinan yang efektif (Effective leadership). Untuk menjaga soliditas organisasi, Mas Anies mencoba mencairkan kebekuan yang ada akibat konflik yang sebelumnya terjadi antara beberapa pihak di internal Paramadina. Banyak pertemuan-pertemuan diadakan untuk tujuan tersebut. Selain itu, Mas Anies selalu bilang ‘birokrasi kampus itu penting tapi tidak boleh melupakan substansi’ Kalau ada yang sudah membaca tulisan Prof. Rheinald Kasali berjudul ‘rektor-rektor administratif’, tentu sudah membaca kalau Mas Anies merupakan salah satu pengecualiannya dan saya kira memang demikian adanya. Hasilnya, di bawah kepemimpinan mas Anies, Universitas Paramadina tumbuh maju dan berkembang. Tentu saja masih ada hal-hal yang perlu diperbaiki, tapi secara umum pencapaian Universitas Paramadina sampai sekarang menurut saya sangat bagus, we are on the right track.
Mengimplementasikan ide-dan-gagasan Cak Nur melalui kampus (yang dulu disebut sebagai laboratorium pemikiran Cak Nur) tentu juga tidak semudah yang dibayangkan. Selain konsep keIslaman, kemodernan dan keIndonesiaan yang sudah dikenal banyak orang, Cak Nur juga menyusun konsep pendidikan tinggi yang terinspirasi oleh Nidzomul Mulk di Baghdad yang punya Universitas Nidzomiyah dan salah satu alumninya adalah hujjatul-Islam syaikh Imam Ghazali. Cak Nur selalu menjelaskan bahwa karya-karya al-Ghazali senantiasa dibaca meski universitas tempatnya belajar sudah hancur dan tidak ada bekasnya. Proyek pendidikan tinggi Cak Nur juga mencoba mengangkat tanda-tanda kebesaran sejarah Islam yang hamper terlupakan terutama di semenanjung Iberia Spanyol. Makanya ruangan di kampus Paramadina memakai nama-nama seperti Granada, Cordoba, Alhambra, Sevilla dan lainnya. Logo Univ Paramadina memakai huruf kaf dan ha dari kata kitab dan hikmah yang di inspirasi Al-Qur’an Surat Al-Nisa ayat 113 yang berbunyi: “Alloh menurunkan kepadamu Kitab dan Hikmah dan mengajarkan sesuatu yang kamu belum tahu”.
Ketika awal pendirian universitas, Cak Nur juga tidak memakai konsep-pendidikan-tinggi yang lazim di Indonesia melainkan dengan keunikan tersendiri, yakni berdasarkan kenyataan fakultas yang dimiliki manusia secara universal yaitu ragawi, nafsani dan ruhani. Oleh karena itu, Universitas Paramadina hanya memiliki 3 Fakultas yakni fakultas ilmu dan rekayasa yang mencerminkan fakultas ragawi manusia, fakultas ekonomi dan bisnis yang merefleksikan fakultas nafsani manusia dan fakultas falsafah dan peradaban yang menunjukkan aspek ruhani manusia. Oleh karena itu bila di universitas lain Ilmu Komunikasi, Hubungan Internasional masuk FISIP (Fakultas Ilmu Sosial & Politik), Ilmu Psikologi menjadi fakultas tersendiri, di Univ Paramadinanya ketiganya tergabung dalam Fakultas Falsafah & Peradaban bersama-sama dengan Falsafah & Agama.
Di bawah kepemimpinan Mas Anies, ide dan gagasan Cak Nur seperti di atas di turunkan (dalam konteks kampus) menjadi 3 kompetensi utama yakni; Ethics, Leaderships dan Enterpreneurships. Mas Anies selalu menjelaskan kepada semua elemen kampus bahwa Univ Paramadina menjunjung tinggi nilai-nilai keIslaman, kemodernan dan keIndonesiaan dan mendorong seluruh elemen kampus untuk bersama-sama mendorong para mahasiswa dalam mendalami ilmu pengetahuan dan teknologi guna mewujudkan manusia-manusia baru yakni manusia unggul (insan kamil) yang memiliki 3 kompetensi utama tersebut.
Dalam konteks Departemen Falsafah & Agama selama kepemimpinan Mas Anies tidak pernah ada wacana pembubaran. Yang ada adalah kekhawatiran karena mahasiswa baru di departemen itu (seperti juga jurusan-jurusan Filsafat di universitas lain) mengalami penurunan drastis dari tahun ke tahun. Justru dengan adanya program beasiswa studi selama 4 tahun bagi putra-putri terbaik dari seluruh Indonesia dalam program Paramadina Fellowship (PF) sejak 2008 yang digagas Mas Anies, salah satunya, untuk memastikan bahwa Departemen Falsafah & Agama akan selalu punya mahasiswa. Karena memang dulu Cak Nur menegaskan bahwa departemen ini adalah ruh Universitas Paramadina, jadi harus tetap berdiri bahkan sekalipun hanya memiliki 1 mahasiswa. Oleh karenanya Cak Nur membuat kebijakan subsidi-silang bagi para mahasiswa Falsafah & Agama, dimana mereka hanya membayar lebih sedikit dibanding mahasiswa lainnya.
Dalam tulisan Cak-Nur-Lover juga ada info dosen Dr. Abd Moqsith Ghazali merasa tidak betah. Sejauh pergaulan saya dengan beliau tidak pernah ada wacana itu. Memang sempat ada sedikit-masalah administratif karena status (unik) beliau sebagai Dosen UIN Jakarta DPK (Diperbantukan) di Univ Paramadina. Sebelumnya di Univ Paramadina hanya mengenal dosen tetap dan dosen tamu/tidak-tetap. Tapi semuanya bisa di atasi. Saya terlibat dalam penyelesaian masalah administratifnya saat itu. Dan bahkan beliau (Mas Moqsith) masih aktif mengajar di Univ Paramadina sampai sekarang.
Mas Anies & Wacana KeIslaman
Membandingkan wacana keIslaman mas Anies dan Cak Nur ibarat membandingkan buah apel dan jeruk. Sama-sama enak tapi tentu saja beda rasanya. Meski sama-sama jenis buah-buahan tapi proses menanamnya beda. Cak Nur terdidik dari lingkungan madrasah dan pesantren Gontor, lalu belajar di IAIN Jakarta, menjadi aktivis mahasiswa-Islam dan ketua PB-HMI, lalu mendapat gelar Doktor studi-Islam dari Univ Chicago, Amerika Serikat (AS). Sementara mas Anies sekolah SD, SMP, SMA, lalu belajar Ekonomi di UGM (menjadi aktivis mahasiswa dan ketua senat UGM), belajar Kebijakan-Publik di Univ Maryland dan ilmu-politik di Univ Northern-Illinois. Dari latar belakang pendidikan saja kita sudah bisa mengira-ira bagaimana bentuk dan kedalaman wacana keIslaman keduanya. Ini bukan berarti Cak Nur tidak faham ilmu-ilmu umum karena lebih banyak belajar studi-Islam dan sebaliknya bukan berarti mas Anies tidak faham ilmu agama karena lebih banyak belajar ilmu-ilmu non-Agama.
Seperti dalam tulisan saya ‘Nurcholish After Nurcholish’, setelah wafatnya Cak Nur akan sangat sulit melahirkan dan mengharapkan adanya Nurcholish-Baru’ yang semantab beliau. Yang memungkinkan adalah munculnya Nurcholsih-Baru-Kolektif baik di internal maupun eksternal Paramadina. Di internal Paramadina, kelebihan-kelebihan Cak Nur bisa kita temukan tapi tidak pada satu figure tertentu, melainkan terfragmentasi pada beberapa figur seperti Ihsan-Ali-Fauzi, Anies-Baswedan, Yudi-Latif, Budy-Munawarrahman, Luthfi-Assyaukanie, Wahyuni-Nafis, Abd Moqsith-Ghazali, Ahmad-Gaus, Nanang Tahqiq dan lainnya. Fragmentasi ini justru memungkinkan ide dan gagasan Cak Nur mengalami perluasan dan pendalaman baik di level teoretis maupun praktis. Sementara itu secara eksternal, anak-kandung pemikiran Cak Nur telah lahir dan tumbuh-kembang dimana-mana; baik dikampus-kampus, LSM-LSM dan lain sebagainya yang kiprah serta visi dan misi sejalan dengan semangat dan perjuangan almarhum Cak Nur.
Terakhir, Mas Anies memang bukan Cak Nur dan selamanya akan seperti itu. Tapi secara pribadi saya tidak meragukan komitmen dia dalam melanjutkan dan mengembangkan gagasan dan perjuangan Cak Nur. Memang karena latar-belakang pendidikannya, tentang wacana keIslamannya (dalam konteks studi-Islam) Mas Anies jelas tidak bisa se-fasih Cak Nur dan figur-figur muda internal Paramadina seperti saya sebut di atas. Tapi hal itu bisa di atasi dengan kemunculan Nurcholish-Baru-Kolektif baik di internal maupun di eksternal Paramadina. Semua kini sudah bersinergi dan berjejaring dengan baik. Memang belum menemukan format yang ideal, tapi kerjasama itu ada dan saya kira bisa menjadi modal optimisme kelanjutan dan pengembangan gagasan dan perjuangan Cak Nur baik di internal Paramadina maupun di masyarakat Indonesia pada umumnya, insyaAlloh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H