[caption id="" align="aligncenter" width="624" caption="ilustrasi/kompasiana (Shutterstock)"][/caption]
Perceraian pastilah tak pernah direncanakan bagi setiap pasangan ketika memasuki pernikahan, saat memasuki gerbang bahagia yang disebut ijab qabul. Namun kenyataannya tak sedikit mereka yang harus berhadapan dengan perceraian. Paling kurang itulah yang sering saya hadapi dari mereka yang menghadap di meja tugas saya, BP-4. Meskipun saya sudah sangat ketat menerapkan prinsip memudahkan pernikahan dan mempersulit perceraian, namun toh tak mudah mencegah pasangan yang ingin bercerai.
Ingin? Kok istilahnya ingin? Apakah ada di dunia ini yang menginginkan perceraian?
Benar, tidak ada yang menginginkan itu. Bahkan Allah Subhanahu Wa Ta'ala sendiri membencinya, betapapun itu perbuatan yang halal. Artinya, kalaupun terjadi perceraian pastilah karena sebuah insiden yang tak diinginkan. Namun toh seorang klien akan menjawab pertanyaan saya, tentu setelah ia mengutarakan semua problem kegalauannya : "Lalu apa yang Anda inginkan?" dan ia menjawab : "Saya ingin cerai."
Ya, cerai itu akhirnya sesuatu yang terpaksa diingini.
Saya, dengan prinsip mempersulit perceraian, selalu mencari cara agar setidaknya yang bersangkutan berfikir ulang, selanjutnya memberinya waktu sepekan untuk mempertimbangkan kembali sembari memanggil (maksudnya mengundang) pasangannya untuk mengklarifikasi gugatan tersebut dari versi yang berbeda. Biasanya akan ada kesesuaian, meskipun prosentasenya terkadang tak banyak. Maklum, masing-masing mengungkapkan menurut versinya sendiri-sendiri. Bagi saya tidak masalah, karena semua versi tersebut menjadi bahan untuk mempelajari akar permasalahan.
Solusi yang saya berikan biasanya setelah melakukan panggilan terhadap pasangan klien dan sepekan kemudian memanggil keduanya untuk men-tabayyun semua versi pernyataan. Hanya saja saya tak pernah serta-merta memberikan solusinya, saya lebih suka keduanya memilih sendiri cara yang paling baik dan paling arif untuk kebahagiaan mereka. Kalau akhirnya terpaksa cerai tidaklah ada yang terzalimi dan tidak mempunyai masa depan yang jelas, dsb. Yang pasti, masa sampai sekitar satu bulan sejak pertama klien menghadap ke meja saya itu adalah masa yang cukup untuk mengambil keputusan. Keputusan yang emosinya lebih realistis.
Kunci yang saya berikan biasanya dengan mengajak berfikir jernih, bahwa perceraian mereka itu tidak logis. Sebab perceraian biasanya tidak disulut oleh persoalan besar. Ibarat perang besar, justru penyebabnya sangat sepele. Ibarat seorang pemilik kebun yang pekarangannya dirusak oleh seekor onta dari kampung sebelah, lalu ia memukul onta itu. Ternyata pemilik onta tak terima. Pemilik onta itu memukul pemilik kebun. Peristiwa itu memancing kemarahan keluarga pemilik kebun hingga mereka menghakimi pemilik onta. Ternyata keluarga pemilik onta tak terima, ia mengerahkan warga sedesanya untuk menyerang keluarga itu. Melihat warganya diserang maka warga sekampung pemilik kebun menyerang balik. Akibatnya terjadilah perang antar kampung yang semakin besar. Bahkan sejumlah kampung terlibat dengan mendukung fihaknya masing-masing. Hadeuh...! Karena ulah seekor unta saja perang besarpun terjadi.
Keputusan klien dan pasangannya terkadang tak terduga ketika saya katakan : "Ibarat perang besar itu, perceraian yang Anda inginkan ini cobalah Anda cari sebabnya. Percekcokan demi percekcokan yang berkembang itu mungkin sebab paling awalnya hanya sebatas lupa membalas SMS misalnya."
Alhamdulillah, tak jarang akhirnya klien membatalkan keinginan untuk lanjut ke pengadilan agama, kecuali kalau memang penyebab intinya tak dapat ditolerir oleh klien. Misalnya : soal nafkah, perselingkuhan dsb.
Inti, mari kita nikmati saja percekcokan dengan pasangan sebagai bumbu keharmonisan. Namun jika bumbu itu sudah kebanyakan cobalah lebih bijak mencairkannya. Jangan berfikir untuk cerai.