Mohon tunggu...
Surahmat An-Nashih
Surahmat An-Nashih Mohon Tunggu... -

Idealisme sederhana dan realita luar biasa menempa diri dan membimbing ke jalan pulang yang indah kepada Sang Maha Cinta

Selanjutnya

Tutup

Politik

Selamat Kepada Hajjah Megawati Soekarnoputri

24 Juli 2014   23:45 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:19 846
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_349544" align="alignleft" width="300" caption="Doc. surahmatannashih"][/caption]

Saya mengucapkan SELAMAT kepada Hajjah MEGAWATI SOEKARNOPUTRI atas kemenangan pasangan Jokowi-JK sebagai presiden dan wakil presiden terpilih 2014 – 2019.

SELAMAT kepada pasangan Jokowi-JK sebagai presiden dan wakil presiden terpilih 2014 – 2019, demikian pula SELAMAT kepada para partai pendukung, timses, seluruh yang telah memilih pasangan Jokowi-JK dan bangsa Indonesia seluruhnya.

Dengan tulus saya urutkan ucapan selamat kepada Hajjah Megawati Soekarnoputri pada prioritas pertama. Sebab boleh jadi, pemilu dan pilpres 2014 tidak menjadi indah dalam sejarah tanpa  perjuangan yang beliau rangkai. Jujur saja, tidaklah mudah menjadi Srikandi sekaligus negarawati seperti itu, dan niscaya banyak yang harus belajar. Lagipula belajar itu tak mensyaratkan kesamaan idealisme. Syaratnya hanya siap mengambil pelajaran.

Adapun saat ini saya sedang mengambil pelajaran itu

Yogya, Jelang akhir Ramadhan 1435 Hijriyah / Juli 2014 Miladiyah

Surahmat An-Nashih

DEMIKIAN itulah kalimat-kalimat yang saya tuangkan dalam ucapan selamat berkenaan atas kemenangan pasangan Jokowi-JK. Poin intinya memang rasa hormat kepada Hajjah Megawati Soekarnoputri, lebih tegasnya  karena boleh jadi, pemilu dan pilpres 2014 tidak menjadi indah dalam sejarah tanpa  perjuangan yang beliau rangkai. Tentu saja tanpa menafikan seluruh tokoh, aktifis dan segenap masyarakat dan rakyat Indonesia dalam dinamikan pesta demokrasi tersebut, bukan pula bermaksud mengkultuskan seseorang. Semua sudah berjuang dan bekerja menuangkan warna demi warna keindahan bagi sejarah perjuangan bangsa ini. Hanya saja dalam konteks rasa hormat itu dapat ditilik dari dua sisi.

Pertama, kemenangan PDIP pada pemilu legislatif
Kemenangan yang tidak menimbulkan pro kontra berat soal quick count dan real count ini teramat sulit d ilepaskan dari faktor Hajjah Megawati Soekarnoputri, yang akrab disapa Bu Mega. Mungkin orang boleh sepakat dan tidak sepakat dengan faktor Jokowi effect, namun orang akan sulit mengelak dari faktor beliau. Logika sederhananya, PDIP dan Bu Mega ibarat dua sisi dari sekeping  mata uang. Setidaknya semasa kepemimpinan beliau.

Kita masih belum lupa, semasa awal Jokowi memimpin DKI dua tahunan silam, suara-suara arus bawah dan menengah yang mendesisikan pencalonan Jokowi sebagai presiden sudah sering terdengar, kian hari kian mengemuka hingga mendekati masa pemilu legislatif 2014. Bahkan suara itu mulai menyeruak di kalangan pakar dan elit. Lalu seperti yang pernah kita lihat, Jokowi lebih sering tak menanggapi secara serius dan terkadang menepis.

Boleh jadi di benak mantan Walikota Solo itu sedang terfikir ke-tidak layak-an dirinya sebagai kader alias yunior dari Bu Mega, seniornya. Tentu kita masih belum lupa bahwa Ketua Umum PDIP itu pernah menjadi capres dua kali di tahun 2004 dan 2009, sedangkan kemenangannya selalu di fihak SBY. Sangat wajar kalau pasca masa SBY - tak ada lagi lawan seberat SBY - dimanfaatkan oleh Bu Mega. Tapi entahlah, itu hanya analisis. Yang jelas, justru akhirnya Bu Mega menuliskan mandat dengan tulisan tangannya agar Jokowi menjadi calon presiden. Lalu, sebagai kader partai sikap Jokowi - yang dibombong Bu Mega sebagai Si Kerempeng Bertenaga Banteng itu - pun hanya mentaati. Sejalan bergulirnya hari, kampanye PDIP di ajang pemilu legislatif itu menyatu dengan promosi sosok capres PDIP. Bahkan umumnya yang melintasi jalan-jalan kota Yogya ataupun pelosok pedusunannya sudah teramat hafal dengan pesan kampanye : Coblos PDIP, Jokowi Presiden. Demikianlah, antara PDIP dan capresnya saling mempopulerkan dan endingnya partai berlambang moncong putih memenangi pemilu.

Rasanya sangat sulit untuk tidak melihat kemenangan itu dari sisi Bu Mega. Bagaikan Srikandi, beliau tak mengenal kalah dalam berjuang. Sejak di masa Orde Baru, lalu partainya terbelah (atau dibelah?) di tahun-tahun menjelang runtuhnya Orde Baru dan beliau tetap eksis dengan belahan yang sejatinya, akhirnya bernama PDI Perjuangan. Partai itupun semakin kokoh dan mampu mendominasi kemenangan pemilu pertama era reformasi. Ketika sempat dikalahkan oleh partai pimpinan SBY toh itu tak sempat mengkocar-kacirkan barisan kekuatan partai. Sebagai gambaran, partai lain yang boleh disebut seangkatan dengan partainya Bu Mega telah mengalami banyak kali "perpecahan" dengan munculnya partai-partai baru. Nah, pada poin ini sosok Hajjah Megawati Soekarnoputri sebagai seorang Srikandi menjadi sangat jelas; pendekar perempuan yang tak mengenal kalah.

Lalu dari sisi mana kita menyebut beliau sebagai seorang negarawati? Setidaknya ketika beliau tak memanfaatkan peluang "tiadanya SBY" di pilpres tahun ini. Meskipun orang bisa berdebat akan beda hasilnya jika pasangan Megawati berhadapan dengan pasangan Prabowo, misalnya; namun orang tetap perlu menaruh rasa hormat atas sikap Bu Mega yang tak mengambil "jatah" itu dan justru memilih kader atau yuniornya sendiri. Agaknya, beliau lebih mementingkan terpenuhinya kebutuhan rakyat dan bangsa ini akan pemimpin yang cocok di mata rakyat sekaligus mampu memimpin mereka. Intinya, beliau lebih melihat pada kepentingan rakyat dst. Tapi entahlah, itu hanya analisis. Yang jelas, sikap seorang negarawati itu telah ditunjukkannya.

Kedua, kemenangan pasangan Jokowi-JK pada pemilu presiden-wakil presiden
Sebagaimana diuraikan tentang sikap ke-negarawati-an Bu Mega - saat mencalonkan Jokowi dengan membombongnya sebagai Si Kerempeng Bertenaga Banteng itu - merupakan bimbingan dan motivasi kuat bagi para kader PDIP dan pedukung pasangan Jokowi-JK untuk memenangkan kompetisi. Tapi entahlah, itu hanya analisis. Yang jelas, orang yang dicalonkan Hajjah Megawati Soekarnoputri itu telah menjadi presiden terpilih pasca ketuk palu Ketua KPU Pusat.

Niscaya tidak berlebihan jika kita mengakui bahwa tidaklah mudah menjadi Srikandi sekaligus negarawati seperti itu, dan niscaya banyak yang harus belajar. Tentu saja yang namanya belajar harus dimaknai sebagai mengambil hal-hal positif obyektif dari siapapun dan oleh siapapun. Apakah di sana terjadi kesamaan idealisme ataukah justru berseberangan. Namun sesuatu yang obyektif positif tentu tak terpengaruh oleh persamaan dan perbedaan. Lagipula belajar itu tak mensyaratkan kesamaan idealisme. Syaratnya hanya siap mengambil pelajaran. Artinya, butuh kejujuran dan keadilan dalam memandang siapun.

1406195058446861215
1406195058446861215

(Surahmat An-Nashih)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun