Mohon tunggu...
Surahman Al Malik
Surahman Al Malik Mohon Tunggu... -

Nothing Special, Hanya Ingin Bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pemimpin Itu Bermagnet

19 Maret 2015   18:37 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:25 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada satu hari Jum’at, seusai menunaikan sholat Jum’at berjamaah, sembari istirahat sejenak di pelataran masjid, saya sempatkan membaca sebuah buletin pekanan Jum’at yang diterbitkn rutin oleh sebuah yayasan. Isinya menarik, tentang kepemimpinan dan rekam jejak para pemimpinyang berakhir di penjara. Dewasa kini, antara pemimpin, perilaku buruk mereka, dan penjara (setidaknya urusan pelanggaran hukum) seakan menjadi hal yang punya magnet untuk saling berpasangan, saling terikat satu dengan yang lain. Ibarat perangko dengan amplop surat.

Ambil smartphone Anda, cobalah search pemberitaan tentang isi penjara di berbagai media. Penjara negara kita ini telah diisi banyak narapidana yang tak biasa. Banyak mantan menteri, kepala daerah, penegak hukum, anggota dewan, dan pengusaha yang kini mendekam di balik jeruji besi. Mereka dulunya penuh wibawa, berkharisma, melekat dengan bermacam embel-embel kehormatan menyertai kekuasaan yang dititipkan padanya. Kini? Mereka menghuni penjara dengan segala stempel keburukan yang melekat padanya. Penjara dulu menakutkan, memalukan. Kini? Penjara seakan tidak menyeramkan lagi, karena telah dijejali oleh mereka yang berkedudukan dan berpendidikan formal tinggi. Sungguh sebuah ironi. Bukankah banyak dari mereka itu notebene para pemimpin yang (awalnya) menjadi public figure bagi banyak orang?

Membaca buletin tadi saya mendapat informasi tentang sebuah surat yang pernah dikirimkan oleh seorang sahabat Nabi Muhammad Saw, ‘Abdullah bin Zubair, kepada seorang tabi’in, Wahb bin Kaisan. Isi surat itu diabadikan oleh Abu Nu’aim al-Ashbahani dalam karyanya, Hilyatul Awliya’: “Sesungguhnya, pemimpin itu ibarat pasar. Apa saja yang laris di sana pasti akan didatangkan ke dalamnya. Jika kebenaran laris di sisinya, maka kebenaran akan didatangkan kepadanya dan para pembelanya pun akan berdatangan. Jika kebatilan yang laris di sisinya, maka para pembela kebatilan pun akan berdatangan kepadanya dan laris di sekitarnya.”

Iya benar. Saya sendiri belum menemukan alasan untuk tidak membenarkan isi surat di atas. Pemimpin itu ibarat pasar yang punya magnet, punya daya tarik yang kuat. Daya tarik di sini bukan seperti daya tarik magnet sebagaimana yang kita ketahui yang menarik kutub berlawanan dan menolak kutub yang sama. Tetapi daya tarik pemimpin di sini dalam arti memiliki suatu hal yang membuat semua hal yang ada di sekitarnya tertarik untuk mendekat. Apa daya tarik itu? Dia adalah power, kekuasaan. Menjadi pengetahuan umum, bahwa pada diri pemimpin melekat kekuasaan yang memberikannya ruang untuk bisa melakukan banyak hal. Baik itu hal yang baik ataupun hal yang buruk. Sehingga para pelaku keburukan dan pelaku kebaikan tertarik mendekat kepadanya. Mereka berlomba mendapatkan tempat di lingkaran kekuasaan pemimpin tersebut. Untuk apa? Tidak lain tidak bukan untuk mewujudkan target mereka masing-masing.

Seorang bijak, Abul Hasan al-Mawardi, pernah memberikan nasehat kepada para penguasa di zamannya kala membahas bagaimana cara meluruskan rakyat. Beliau menasehati para penguasa untuk terlebih dahulu meluruskan dirinya sendiri. Sebab, tidaklah mungkin meluruskan bayangan jika benda aslinya ternyata bengkok. Sedangkan rakyat ibarat bayangan dari para penguasanya. Beliau berkata, “Penguasa adalah orang yang jauh lebih utama untuk mewaspadai dan berhati-hati dari semua hal buruk. Sebab, ada sangat banyak orang yang menginginkan dirinya, sebagaimana pasar yang didatangkan padanya semua hal yang laris di dalamnya. Semua orang yang menemuinya pasti ingin dekat dengannya, entah melalui ucapan maupun tindakan. Entah ingin mengejar kedudukan atau memanfaatkan peluang. Jika saja akal sehat tidak menghalangi mereka dan agama pun tidak menahan mereka, mereka pasti akan merajalela dalam kemunafikannya, lalu berkhianat dan melakukan praktek-praktek kotor di lingkaran kekuasaan.”

Bagi para pemimpin, kaidah ini patut menjadi perhatian. Jika Anda kebingungan menyaksikan kondisi orang-orang di sekitar Anda, segeralah berkaca. Sadarilah, bahwa Anda tidak ubahnya pasar yang bermagnet. Komoditas apa pun yang laku dan mudah didapatkan di sekitar Anda, pasti akan semakin ramai berdatangan. Jika yang banyak laku di lingkaran Anda adalah kejujuran dan integritas, maka para penipu akan kehilangan pasar dan dagangan tipuannya tidak akan punya tempat. Sebaliknya, jika yang merajelala di sekitar Anda adalah penipuan dan manipulasi, maka orang-orang jujur dan berintegritas yang akan kehilangan pasar dan segera tersingkir.

Pemimpin Memang Bermagnet, tapi Rakyat Ikut Menciptakan Magnet Itu

Bagi rakyat biasa, kaidah ini bisa menjadi metode bagi kita untuk menggali calon-calon pemimpin dan meneropong para pemimpin yang tengah menjabat. Indonesia sedang menyongsong pesta pergantian pucuk pimpinan di berbagai daerah. Mari jeli untuk membaca track record para calon pemimpin yang mulai gencar menawarkan diri di berbagai tempat. Kota dimana Anda tinggal bisa jadi sudah dirundung beragam masalah yang belum kunjung tertangani dengan baik. Jangan diperbanyak lagi masalah yang sudah ada ini dengan salah memilih figur pemimpin selanjutnya.

Perhatikanlah lingkaran para penguasa saat ini. Sebagaimana pasar illegal yang dipenuhi oleh pedagang dan pembeli illegal, maka – tak menutup kemungkinan – pemimpin yang bermasalah juga akan dikelilingi oleh para pembantu yang bermasalah dan tak mampu menyelesaikan masalah. Bukankah secara psikologis manusia cenderung berteman (berkumpul) dengan orang yang serasa, sealiran, atau sepemikiran? Jika para pelaku kejahatan telah berkumpul, mereka akan bekerjasama, bahu-membahu, saling sokong, tolong-menolong, menutup semua bolong, untuk memuluskan agenda kejahatan mereka menjadi sangat rapi dan sulit untuk dibongkar. Di dekat lingkaran pemimpin semacam ini, hanya sedikit kita temukan orang yang jujur dan berintegritas. Mereka menjadi kelompok minoritas. Biasanya, para minoritas ini akan menghadapi berbagai macam tekanan dan isolasi yang sungguh menyengsarakan psikis dan fisik. Yang pada akhirnya membuat mereka tersingkir atau menyingkir secara perlahan.

Dalam konteks lain, kaidah ini bisa menjadi bahan renungan untuk kita. Pada hakikatnya, para pemimpin adalah bagian dari masyarakat itu sendiri. Para bijak terdahulu berpandangan bahwa tampilnya pemimpin yang baik bagi suatu kaum adalah karunia dari Tuhan atas kebaikan-kebaikan yang ada pada kaum tersebut. Sebaliknya, tampilnya seorang pemimpin yang buruk adalah hukuman Tuhan atas dosa dan kesalahan yang banyak pada kaum tersebut. ‘Abdullah bin Bakr as-Sahmi berkata, “Semoga Allah memperbaiki kita dan para pemimpin kita, karena sesungguhnya kerusakan mereka  adalah akibat dari dosa-dosa kesalahan kita sendiri.”

Jika para pemimpin yang muncul adalah mereka yang suka disuap, bisa jadi karena kita warganya mudah disuap saat proses pemilihan umum berlangsung. Jika pemimpin yang muncul tidak memperhatikan kebersihan kota, bisa jadi karena kita warga yang memilihnya lebih suka membuang sampah sembarangan. Jika pemimpin yang ada (nampak) acuh tak acuh menangani tambang yang bermasalah, bisa jadi karena kita sendiri adalah warga yang lebih memilih untuk kompromi dengan tambang, lebih acuh dengan kehadirannya, dan lebih memilih untuk terbiasa dengan temuan jenazah bocah di bekas lubang tambang. Atau jika pemimpin kita tidak becus untuk menyelesaikan persoalan yang ada, mungkinkah kita sendiri yang membiarkan dan lebih memilih pasrah menanti “keajaiban”?

@SurahmanJie

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun