(Surat menyurat Ir. Soekarno kepada Tuan A. Hasan, Guru “Persatuan Islam” Bandung 1 Desember 1934 hingga 25 Nopember 1936 , Sumber refrensi : Islam Sontoloyo : Pikiran-Pikiran Sekitar Pembaruan Pemikiran Islam – Ir Soekarno - Sega Arsy 2010) Endeh , 17 Oktober 1936 Assalamu’alaikum, Dua surat terakhir, sudah saya terima. Baru ini hari ada kapal ke Jawa buat membalas kedua surat itu. Itulah sebabnya balasan ini ada terlambat. Tuan tanya , apakah Tuan boleh mencetak saya punya surat-surat kepada Tuan itu? Sudah tentu boleh. Tuan ! Saya tidak ada keberatan apa-apa atas percetakan itu. Dan malahan barangkali ada baiknya orang mengetahui surat-surat itu. Sebab, di dalam surat-surat itu ada adalah saya teteskan bagian dari saya punya jiwa, dari jiwa yang Islamnya hanya raba-raba saja menjadi jiwa yang Islamnya yakin, dari jiwa yang mengetahui menjadi jiwa yang Islamnya yakin, dari jiwa yang mengetahui adanya Tuhan, tetapi belum mengenal Tuhan, menjadi jiwa yang sehari-hari berhadapan dengan Dia, dari jiwa yang banyak falsafah ketuhan tetapi belum mengamalkan ketuhanannya itu menjadi jiwa sehari-hari menyembah kepadaNya. Saya wajib berterimakasih kepada Allah Subhanahu wata’ala, yang mengadakan perbaikan saya punya jiwa yang demikian itu, dan kepada semua orang, antaranya tidak sedikit kepada Tuan, yang membantu kepada perbaikan itu. Sebagai tanda terimakasih kepada Allah dan manusia itulah saya meluluskan permintaan Tuan akan mengumkan surat-surat saya itu. Bebarapa waktu lalu ada orang menulis satu entrefilet di dalam surat kabar “pemandangan”, bahwa saya sekarang gemar Islam banyak orang yang heran membaca khabar itu, begitulah katanya kata salah seorang teman dari jawa yang menulis sepucuk surat selamat kepada saya berhubungan dengan entrefilet itu. En toch, bagi siapa yang mengenal saya betul-betul dan tidak hanya oppervalkking saja, bagi siapa saya yang mengetahui seluk beluknya saya punya jiwa sekarang dari umur deapan belas tahun, bagi siapa yang pernah menyelami samudera saya punya nyawa samapai kebagian-bagian paling dalam, bagi dia bukanlah barang yang “mengherankan” lagi bahwa saya “sekarang gemar Islam”. Bukan satu “alamat” bahwasannya bahwa dulu saya anggota sarekat Islam, dan kemudian juga anggota partai sarekat Islam dan kemudan pula meninggalkan P.S.I itu hanya karena tak mufakat 100% dengan partai itu, dan bukan karena benci kepada Islam ? Bukan suatu “alamat” bahwa saya di dalam kurungan penjara suka miskin yang pertama kali ada membikin banyak studi Islam itu, dan “Java Bode” membikin gambar sindiran lucu yang sampai sekarang saya simpan di saya punya album? Bukankah suatu “alamat”, akhirnya bahwa kebanyakan saya punya ucap-ucapan dulu itu menunjukan satu “dasar mistik”, satu “dasar ke Tuhan-an” yang betul nyata menunjuk kejurusan itu ? Dan bilamana saya dulu kadang-kadang mengeluarkan ucapan-ucapan yang membangn kesan anti Islam diatas sesuatu masalah Islam, maka ittu bukan karena menentang Islam karena anti – Islam “an sich” tetapi hanyalah tidak senang melihat keadaan-keadaan di kalangan umat Islam yang membangunkan amarah dan kejengkelan saya. Dan sekarangpun, Tuan Hassan, sekarangpun , yang saya, Alhamdulilah, berkat pertolongan Allah dan pertolongan Tuan dan pertolongan orang-orang lain, sudah lebih mengenal bulat dan lebih yakin ke – Islam-an saya itu, sekarang hati saya malahan menjadi lebih luka dan gegetun kalau saya melihat keadaan di kalangan umat Islam yang seakan menentang Allah dan menentang Rasul itu. Lebih luka dan lebih gegetun kalau saya melihat kejumudah dan kekunoan guru-guru dan kiai-kiai Islam, lebih luka dan gegetun kalau melihat mereka mengokoh-ngokohkan taqlidisme, lebih luka dan lebih gegetun kalau melihat dilancang-lancangkannya dan dimain-mainkannya poligami, lebih luka dan gegtun kalau melihat degradation Islam menjadi “agama celak” dan “agama sorban”, lebih luka dan gegetun melihat kenistaan umum dan kehinaan umum yang seakan akan menjadi “patent” dunia Islam itu. Ach, Tuan Hassan, sekarang barangkali kaum kolot sudah sedia dengan putusan kehakimannya yang mengatakan saya “anti Islam”, “mau mengadakan agama baru” , “murtad dari Ahlussunah wal jama’ah, “charidiji” dan “qadiani” , dan macam-macam sebutan yang kocak-kocak dan segar-segar………. (bersambung) Buat bung Karno agama harus diamalkan ke dalam prilaku, dan hal itu baru bisa jika sipelaku sudah memiliki keyakinan yang berasalkan dari pengalaman pribadinya. Pengalaman pribadinya itu melahirkan ilmu dan ilmu itu terimplementasikan ke dalam prilaku sehari-hari. Bagi bung Karno tidak cukup mengetahui tentang Tuhan, melainkan harus merasakan kehadiran Tuhan agar dapat senantiasa sujud dan mengabdi kepadaNya. Tuhan harus merasuk ke dalam prilaku sehari-hari. Dan apa yang diperbuat oleh bung Karno semata-mata untuk membangunkan kita semua, terutama umat Islam agar keluar dari kekolotan. Karena kekolotan itu membuat kita seolah-olah beragama Islam namun prilaku kita keluar dari keislaman. Semisal gemar mempertontonkan kekerasan, gemar berpoligami, anti ilmu pengetahuan, anti keberagaman, anti kemanusiaan dan lain sebagainya. Dan para pembaharu seperti bung Karno selalu akan di katakan murtad, kafir, sesat dan sebutan-sebutan caci maki lainnya, namun semua itu tidak menyurutkan langkah bung Karno karena bung Karno meyakini keimanannya, meyakini keTuhan-annya. Di Publikasikan di :
- http://www.surahman.com/
- http://www.oneearthmedia.net/ind
- http://www.facebook.com/su.rahman.full
- http://www.kompasiana.com/surahman
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H