Puluhan anak berkumpul, lalu sejurus kemudian lari sembari berkejaran. Mereka tampak ceria. Tertawa lepas setelah mampu meraih temannya. Terik matahari menyengat kulit seolah bukan penghalang bagi puluhan anak itu. Beberapa guru tampak sedang asyik duduk di depan ruangan. Mereka tampak berbincang, sembari melepas pandang pada puluhan anak yang bermain di tengah lapangan.
Itu saya saksikan di salah sekolah dasar di selatan Kabupaten Bima. Sekitar tiga kilo meter dari sekolah itu, gedung megah milik pemerintah daerah setempat sedang menantang langit. Di situlah penguasa daerah timur Nusa Tenggara Barat merumuskan kebijakan. Di sanalah hingar hingar kepentingan saling berkelindan. Adakah kebijakan yang berpihak pada sekolah tempat dimana saya saksikan saat ini? Entahlah.
Dunia anak adalah dunia pemaaf. Seorang anak tidak pernah memelihara dendam kepada temannya kala perselisihan di antara mereka mencuat di permukaan.Â
Jika sesaat mereka saling menumpahkan amarah, sesaat itu pula mereka saling memberi maaf. Kembali bermain. Berkumpul, lalu tertawa bersama menikmati hari. Merengek kepada orang tuannya, lalu pergi dan berbahagia dengan satu lembar rupiah di tangan.
Namun tidak pada soal kedewasaan. Anak tidak elok di pandang sebagai kumpulan manusia yang belum memahami tentang kehidupan. Pada mereka ada banyak pelajaran yang bisa dijadikan referensi. Ada cinta yang tak pernah pupus. Mereka bermain perang-perangan bukan untuk menghilangkan nyawa satu sama lain, tapi menjadi penghibur kala gunda gulana menyelimuti hari.
Mereka yang diperbudak label kekuasaan, kesombongan serta kerakusan. Antar mereka saling menghunus pedang, lalu menebas leher sesama tanpa pernah bersalah. Darah yang mengalir di tanah dengan tubuh yang merebah serupa onggokan sampah yang tak memberi nilai guna.
Namun lihatlah pada anak-anak ini. Mereka hidup berdampingan sembari saling menebar cinta dan kedamaian. Dunia terlihat begitu damai. Alam menyambut mereka serupa ibu yang memeluk anaknya yang sabang tahun baru bersua kembali. Di tengah tanah lapang, mereka menyulam kisah yang kelak menjadi histori.
Seorang lelaki tua berdiri di pinggir ruangan, lalu dengan suara lantang ia memanggil anak-anak itu untuk masuk ke kelas. Mendengar itu anak-anak berlarian menuju kelasnya masing-masing. Mereka meninggalkan kepingan realitas yang telah memberi arti pada semesta hari ini.