BEBERAPA lelaki duduk di gubuk yang beratapkan seng dengan topangan beberapa kayu seukuran tangan orang dewasa. Ukurannya tidak seberapa besar. Tingginya pun tampak dua kaki orang dewasa. Menghadap laut dengan dinding spanduk salah satu pasangan calon legislatif. Mereka terlihat duduk  santai sembari mengisap rokok kretek. Asapnya mengepul lalu diterbangkan angin laut ke segala penjuru arah.
Mereka nelayan yang sabang hari bergumul dengan laut. Garis-garis ketuaan merayapi wajahnya. Tapi tidak dengan semangatnya yang tak pernah surut mengarungi lautan luas. Sembari berbincang, tatapannya tertuju pada laut dan perahu yang ditambatkan di sepanjang pesisir. Air laut cukup terlihat bersahabat di akhir bulan November ini.
Terlihat anak-anak bermain riang. Berkejaran sembari melompat dalam gulungan ombak yang tak seberapa kencang. Mereka melepas tawa pada langit biru dalam larung-Nya air laut yang menghempas. Mereka anak-anak pesisir yang kelak diorbitkan sebagai pengganti generasi yang mulai menua. Hamparan pasir putih, perahu yang beriring, air laut yang menyapa adalah ruang bermain bagi anak-anak pesisir itu.
Gawai, sebagai simbol modernisasi bisa saja datang merayu. Ada yang tergiur, lalu menghabiskan waktu berjam-jam untuk bermain game. Kadang makan bukan lagi prioritas, sehingga bunda merayu pelan agar sesuap nasi bisa mengisi kekosongan perut. Tapi, anak-anak nelayan itu seolah menepis pengaruh yang menerpa. Mereka masih bersemai kasih pada lautan yang memberinya kehidupan.
Para nelayan di Desa Jala adalah satu potret kehidupan masyarakat yang mendiami wilayah pesisir pantai. Tidak sedikit di antaranya adalah pendatang lalu menaruh harapan pada penghasilan laut yang kadang tak menentu. Menjadi nelayan bukanlah pilihan yang mudah. Tapi menjadi keharusan kala ekonomi keluarga mendorong agar perahu berlayar bersama harapan yang menyeruak.
Gubuk itu serupa terminal yang menjadi tempat bersantai bahkan menjadi ruang kala nelayan mendiskusikan banyak topik. Mulai dari hasil tangkapan, harga ikan, lokasi melepas jaring, cuaca, perahu yang melaju kencang hingga menaruh harap pada nasib yang tak kunjung membaik. Tapi mereka tabah, seperti ikhlas kala musim yang kadang tiba-tiba berubah, lalu harus menunggu lama hingga semesta memberi jawaban.
Kehidupan masyarakat nelayan memiliki dinamikanya sendiri. Jika benar-benar ingin lebih mendalami serta memahami seluk beluknya, penting untuk menjadi bagian dalam kehidupan mereka. Karena tidak sedikit, baik pengamat dan kelompok tertentu berkomentar hanya berdasarkan asumsi dan kulit luarnya saja. Masyarakat nelayan dilingkupi tradisi serta keadaan sosial yang menyertainya. Maka jika ingin melerai persoalan di dalamnya, maka diperlukan kajian serta penelitian yang komprehensif.
Tentu saja itu semua demi terciptanya masyarakat nelayan yang sejahtera serta mampu mandiri terlebih dalam sektor ekonomi. Dengan demikian pemerintah harus memiliki kesanggupan untuk membantu membukakan peta jalan agar hasil tangkapan nelayan mampu dihargai dengan cara proposional. Sepakat?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H