Teluk Cempi, sebuah teluk yang berhadapan langsung dengan Samudra Hindia di pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat ini merupakan ruang dimana masyarakat pesisir menggantung hidup. Di pesisir teluk, beberapa desa berdiri. Sebagian besar masyarakatnya sabang hari beraktivitas di laut. Laut terhampar luas dengan segala potensinya.Â
Masyarakat memanfaatkan sumber daya laut untuk segala kepentingan. Baik secara langsung dengan berlayar di ruang samudra, maupun secara tidak langsung dengan cara menjual segala kebutuhan nelayan.
Sebelum musim panca roba datang menyapa, nelayan masih terlihat sibuk. Ada yang memperbaiki jaring, mengecek perahu, sibuk menghitung hari, lalu menentukan kapan kembali menghidupkan mesin lalu dengan gagah perahu yang ditunggangi melewati hempasan ombak.Â
Ada pula yang meninggalkannya sejak pagi hari dan mengangkatnya sebelum malam menyapa. Tak ada kekhawatiran diambil atau terbawa arus, karena ada semacam solidaritas yang tak terbahasakan di antara para nelayan.
Selain itu, ada juga nelayan yang masuk sore, melepas jaring, lalu datang keesokan harinya. Mengangkat jaring, kepiting terperangkap, melerainya, lalu di masukan di ember kemudian dijual ke pengepul. Harganya bisa bervariasi tergantung besar kecil kepiting yang di dapat. Tapi perhari ini, November 2021, harga perkilonya berkisar 70-an ribu.
Bos ini kadang yang memiliki perahu, jaring dan segala kebutuhan selama nelayan berada di laut. Namun demikian, hasil tangkapan tidak bisa dijual kepada orang lain. Harus kepada bos yang telah memberi modal melaut.
Kepiting ini dijual hingga ke luar pulau Sumbawa. Pengepul yang membeli kepiting, umumnya adalah masyarakat setempat. Kemudian dijual kembali dengan dimasukan terlebih dahulu dengan menggunakan boks yang dicampur es batu.Â
Tapi biasanya, setelah dari laut, kepiting langsung dikirim ke luar daerah. Pasalnya jika di simpan terlalu lama, maka harganya bisa turun karena kualitas kepiting yang sudah tidak terlihat segar pagi.