SAYA tampak asing. Hanya beberapa yang mengenal. Serupa di pulau tak berpenghuni. Hanya rerimbunan pohon dengan sapuan angin yang sepoi-sepoi. Saya memakluminya.Â
Di sini sudah banyak yang berubah. Fasilitasnya dan orang-orangnya. Ketika memasuki ruang tamu kantor, setelah melihat sekitar saya langsung memutuskan duduk di salah satu kursi kosong di pojokan ruangan. Ya, hari ini, Sabtu 23 Oktober 2021, saya bertandang ke Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 1 Hu'u (SMKN 1 Hu'u).
Sekolah kejuruan di selatan desa ini, tidak asing bagi saya. Auranya masih terasa, walaupun sudah banyak guru baru yang mendidik. Kendati begitu sudut-sudut gedung mengingatkan saya pada masa itu. Masa di mana saya pernah menjadi bagian dari sekolah ini. Di mana saya menjadi pendidik selama dua tahun lamanya.Â
Kenangan itu, masih segar di ingatan. Mendayu-dayu kala menatap sekitar. Seolah ingin mengatakan bahwa saya pernah menyimpan satu ikatan emosional pada gedung, dan ruang-ruang kelas kala menghamparkan materi.
Saat sendiri, seorang guru muda yang mengenal saya, tiba-tiba datang menyapa. Menanyakan maksud. Tujuan. Saya menjawab sekenanya. Ia mengangguk tanda memahaminya. Sebentar dia menemani, kemudian berlalu karena ada kesibukan. Jadilah saya kembali duduk sendiri. Melihat sekitar, sembari sesekali memandang layar handphone.
Memang sudah beberapa bulan saya tidak pernah bertandang ke sekolah ini. Hitung-hitung sekira lima bulan lamanya saat senior saya yang menjadi pimpinannya.Â
Bahkan saat itu saya terikat kontrak kerja sama dengan sekolah ini saat ia menahkodainya. Tapi kini dia di pindah tugaskan ke sekolah lain karena kebijakan. Tapi dia menorehkan tinta emas selama memimpin sekolah ini. Dan kalau pun bertemu, paling sehelo di jalan kala  berpapasan.
Mengingat itu, saya hanya merenung. Memaknai kepingan kisah mereka yang pernah berpijak di sekolah ini. Mereka yang berbuat untuk generasi lewat dedikasinya yang tak lekang waktu.Â
Mereka yang rela sabang hari merawat keyakinan  bahwa menjadi pendidik adalah investasi akhirat, walau tak pernah di sematkan tanda jasa di lengangnya. Saya bersyukur pernah menjadi pendidik, walau tidak lama. Tapi kenangan itu menari-nari menyeruak ke permukaan. Mengenangnya adalah cara terbaik dalam menghibur diri.
Sayup-sayup terdengar suara di belakangan gedung kantor. Saya bergegas. Lalu menuju ke sumber suara. Keluar dari pintu belakang, ternyata puluhan orang  telah berkumpul.Â
Ramai. Ada yang melantai, ada pula yang duduk di pelataran. Kemudian di barisan depan ada beberapa siswa yang duduk berpasangan sembari menunggu instruksi dari salah seorang yang di depan mejanya tertulis moderator. Sementara di bawah pelataran gedung berjejer guru-guru yang di belakangnya dikerumuni puluhan siswa.
Ya, pagi ini sekolah sedang menyelenggarakan debat kandidat pemilihan Osis yang akan memangku jabatan selama satu tahun ke depan. Saya datang untuk meliput. Melihat langsung, memotret, lalu mewawancarai narasumber. Memahami setiap denyut nadi realitas sebelum dinarasikan dalam bentuk aksara.Â