Mohon tunggu...
Suradin
Suradin Mohon Tunggu... Duta Besar - Penulis Dompu Selatan

Terus Menjadi Pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Menunggu Hingga Senja Menyapa

17 September 2021   09:16 Diperbarui: 17 September 2021   09:19 471
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok. Bluzz, pantai situs Nangasia

MENANTI di ujung senja. Ini hal yang sering dan biasa aku lakukan. Menunggu dan menantimu di sini. Di pantai situs Nangasia. Ada cukup alasan untuk menyapa, menyulam kisah, lalu bersemai bersama lajunya waktu. Membelai dengan kasih, tercurah hanya kepada mu. Dirimu adalah alasan kenapa aku harus ada di sini.

Lambaian angin laut, deburan ombak memecah pantai dan birunya laut, menguatkan alasan untuk menantimu hingga senja menyapa. Tak pernah sedikitpun sesal mendera, kala dirimu tak pernah memenuhi janji. Tugas ku hanyalah menanti. Menunggumu yang tak pernah memberi kepastian.

Bukankah kita pernah bersama. Di sini. Ya, di pantai ini. Kala cinta bersemai. Mekar memberi harum semesta. Berdua menunggu senja. Sesaat air laut menyentuh ujung kaki kita yang sedang menikmati hari di ujung pantai. Kisah itu kini masih segar di benak. Tak terbesit sedikit pun untuk melupakannya. Biar pun waktu melaju, kisah itu masih mengharu biru di hamparan kisah lain yang berkelindan.

Dok. Bluzz
Dok. Bluzz
Banyak alasan untuk tetap bertahan di sini. Menjaga asa untuk kembali bersama denganmu yang tak kunjung hadir. Penantian yang tak pasti, tak menyurutkan emosi untuk menghujam nasib. Berharap, hanyalah alasan akhir untuk menunggu kepastian. Paling tidak aku pernah mencoba. Mencoba menunggumu hingga temaram senja memberi jawaban.

Aku tidak lupa janji yang pernah terucap. Memberi keyakinan pada diri yang terlalu menaruh harap. Ternyata manisnya janji, dikubur pahitnya kenyataan. Mungkin hanya aku yang masih merawat ucap yang usang itu. Serasa masih manis di hari kemarin. Kini sapuan air laut memendam ingin yang tak kunjung hadir.

Ijinkan aku mengucap kata syukur karena sempat mengenal mu. Aku tidak menyesal karena engkau tak pernah memenuhi janji. Tapi aku tak pernah mengerti, kenapa engkau  memutuskan singgah dan menjadi bagian dalam perjalanan hidup ini. Mungkinkah menyalahkan takdir. Bukankah semua telah terjadi. Menyesalinya hanya akan memperburuk keadaan. Menerimanya sebagai pelajaran adalah pilihan bijak yang harus diambil.

Masa lalu hanya meninggalkan kenangan. Mungkin aku ditakdirkan untuk merawat kisah ini. Kisah bersama dalam balutan temaram senja di masa itu. Kini senja yang dulu pernah menghiasi hari-hari berdua, nampaknya enggan tersenyum manis. Tapi aku memilih setia untuk menunggu. Jika pun tak bersua, biarlah aku menjadi perawat kisah.

Tapi aku tetap setia menanti. Menunggu hingga gelap malam menyudahi harap ku padamu. Biarlah semua ditelan pekatnya malam, hingga harap di telang mimpi malam yang indah. Bersemai dengan bidadari mungkin menjadi pelipu lara walau hanya dalam mimpi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun