Mohon tunggu...
Suradin
Suradin Mohon Tunggu... Duta Besar - Penulis Dompu Selatan

Terus Menjadi Pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sembuh Merupakan Harapan Kala Sakit Mendera

26 Juli 2021   12:36 Diperbarui: 26 Juli 2021   13:05 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

SELAMA sakit, 17 Juli - 25 Juli 2021, saya lebih banyak menghabiskan waktu di tempat pembaringan. Hanya sesekali ke luar kamar, itu pun hanya ingin merasakan udara segar di pagi hari. Ingin ke puskemas khawatir disebut Corona. Jadilah sakitnya hanya di rumah saja. Sakit kali ini memang berbeda dari biasannya. Karena kalau badan panas, sakit kepala, sakit persendian, dan lemas badan biasannya tidak lama langsung sembuh. Hanya dibutuhkan waktu sekitar dua atau tiga hari saja untuk masa pemulihan. Itu pengalaman sakit ketika berada di tempat perantauan. 

Tapi beruntung saya tidak sedang berada di tempat perantauan. Biasannya sakit seperti ini saya sering alami kala berpijak di kampung orang. Tapi bisa saya lawan walaupun tidak harus ke rumah sakit. Paling minum obat apotik beberapa biji di tambah lagi dengan olah raga ringan setiap paginya, biasanya cepat kembali pulih dan dapat kembali beraktifitas seperti sedia kala. 

Itu pula pikiran saya ketika awal sakit kali ini. Namun dugaan saya keliru. Meleset. Malah panas badan saya dari malam ke malam semakin tinggi volumenya. Seluruh obat yang diminum tak satu pun memberi efek. Semua apes. Jadilah panas merajai tubuh ini. Bahkan tiga hari berturut-turut tidak bisa tidur nyenyak. Kadang saking panasnya, saya melampiaskan dengan bicara sendiri, ceramah kematian sendiri. Sesuatu yang konyol dan tidak ada relevansinya dengan apa yang saya rasakan. Tapi begitulah yang saya lakukan. 

Tapi semenjak sakit, saya beruntung memiliki ibu yang selalu menumpahkan kasih sayangnya. Ketika saya mengeluh karena sakit merajai tubuh, ibu selalu ada di samping. Ibu selalu menyediakan segala kebutuhan berupa obat-obat tradisional, makanan, minuman bahkan apa yang saya inginkan, ibu selalu mampu menghadirkannya di hadapan saya. Bahkan jika tidak sempat saya larang, ibu ingin selalu tidur di samping dipan tempat saya berbaring. Ibu ingin selalu update setiap yang saya alami. Tapi karena tidak ada kelambu dan sering diganggu nyamuk, saya sarankan ibu tidur di kamar sebelah saja. 

Demikian, saya kadang berdebat kecil dengan ibu hanya karena saya tidak ingin meminum obat tertentu yang disarankannya. Kadang saya dihantui perasaan bersalah. Ibu ingin, sejak saya saya sakit agar segera dipasangkan jarum infus. Menurutnya agar saya bisa segera lekas sembuh. Tapi saya selalu menolaknya. Hampir semua yang berkenaan dengan medis, termasuk keinginan membawa saya ke dokter selalu saya tolak.

Saya tidak bermaksud menolak sains. Saya bukan menolak sepenuhnya mereka yang biasa mengenakan seragam putih-putih itu. Saya ingin lebih banyak mengkonsumsi  obat-obat tradisional. Obat-obat ini hanyalah campuran akar-akar, daun-daun yang masih bisa dijumpai di kebun-kebun di kampung. Memang obat tradisional tidaklah sefamiliar obat yang ada di tokoh-tokoh. Tapi jangan ditanya tingkat mujarabnya. Jika penyakit seperti malaria datang, cukup meminum satu gelas air pepaya yang sudah ditumbuk. Maka malaria akan lari tunggang langgang hingga sumpah tujuh keturunan kalau berani datang lagi. 

Saya melihat di era modern, obat-obat tradisional seolah tak mendapat tempat di hati masyarakat. Sementara itu adalah warisan leluhur yang mesti terus di lestarikan. Sepanjang masih bisa digunakan untuk kesembuhan maka sekiranya masih bisa dimanfaatkan. 

Bagi saya, sakit adalah jalan peringatan, bahwa tubuh ini punya batas maksimal yang tidak bisa dipaksakan. Ia harus diberi kesempatan untuk mengistrahatkan diri. Organ tubuh mesti harus mendapat suplai vitamin yang cukup. Jangan membiarkannya bekerja tanpa mengenal waktu. Sebab, pada akhirnya semua akan colaps. Sakit. 

Pada sakit, saya diberi pelajaran hidup yang sangat berarti. Ketika sakit mendera tidak banyak sahabat yang datang menjenguk. Hanya mereka-mereka yang memang berkarib yang meluangkan waktu untuk merapat. Mereka bersahabat tanpa menentukan syarat. Mengulurkan tangan, lalu menarik teman dalam lembah keterpurukan. Ia tahu, bahwa arti persahabatan tidak diukur dengan sejumut materi dan setenar nama karena di sebut orang. Karena sahabat sejati sesungguhnya tak pernah lekang oleh waktu. Saya salut mereka masih mau menyempatkan waktu untuk bercakap dengan saya. Walaupun saya tidak enak hati karena beberapa kali disambangi. 

Sakit mengajarkan pentingnya arti sehat. Kesehatan menjadi sesuatu yang sangat mahal dan dibutuhkan ketika sakit mendera. Hidup seolah tak berarti lagi. Tidak ada planing, acara bersama teman, rekreasi, atau diskusi-diskusi ringan  bersama teman. Semua seakan hilang dalam peredaran, sebab yang dipikirkan adalah bagaimana rumusnya agar bisa cepat sembuh seperti sedia kala. 

Setelah beberapa hari sakit, saya mencoba menghibur diri dengan mengingat-ingat ceramah Ustadz dalam satu Jumaat yang pernah saya hadiri. Dengan mengutip firman Allah dan hadis nabi, Ustadz itu mengatakan, jika seorang hamba tertimpa sakit, maka Allah akan mencabut tiga hal pada dirinya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun