Mohon tunggu...
Suradin
Suradin Mohon Tunggu... Duta Besar - Penulis Dompu Selatan

Terus Menjadi Pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Menulis adalah Cara Saya Menerapi Pikiran dan Menggapai Kebebasan

27 April 2021   17:39 Diperbarui: 27 April 2021   17:46 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

KADANG ada kejenuhan yang merayap. Bosan. Malas. Bahkan malah tidak bergairah untuk melakukan hal yang positif. Itulah yang saya alami beberapa hari belakangan ini. Saya beberapa hari tidak bersemangat untuk menulis. Saya seolah kehilangan gairah untuk menggerak-gerakan jari saya di layar handphone. Semua seolah buntu. Tak ada yang bisa saya uraikan untuk merangkai kata untuk menyusun satu kisah yang bisa dibaca secara utuh. Semua hambar. Tapi saya bersyukur percikan-percikan semangat untuk memulai tetap ada walau timbul tenggelam. Dan hari ini, Selasa, 27 April 2021, saya memaksakan diri untuk menulis, walaupun memungut serpihan kisah yang berserakan.

Dokpri.
Dokpri.
Dalam keadaan bersandar di dipan, saya mengorek-ngorek lapisan kisah yang pernah saya lalui. Satu persatu kisah itu menari-menari di benak. Tak mudah menangkapnya. Hanya samar-samar teringat. Potongan kisah itu hilang dalam ke samarannya. Saya berusaha. Tapi sayang tak seutuhnya bisa mengendap lalu merangkainya menjadi kisah yang utuh.

Saya mencoba menulis untuk menyalakan kembali semangat yang pernah padam. Saya tidak pernah punya target apakah tulisan saya akan dibaca orang atau tidak. Menulis hanyalah upaya mengasah pikiran. Menulis merupakan cara saya menterapi diri dalam kalutnya dunia. Tidak pernah terlintas kisah yang saya urai akan menyapa hati dan pikiran publik. Lalu menyapa langit-langit memori pembaca, dan mereka merasa tersentuh. Jika pun ada yang tergugah, saya mengucap syukur walaupun bukan itu targetnya. Bagi saya, menulis adalah menulis itu sendiri sembari menyuplai informasi dengan membaca karya penulis-penulis tersohor.

Dokpri. Sawah Suradin
Dokpri. Sawah Suradin
Selain travelling, saya punya hobi membaca. Tidak sering, tapi tetap saya upayakan menyisihkan waktu membaca beberapa artikel setiap harinya. Mendapatkan tulisan yang diinginkan sekarang cukup mudah. Saya tidak perlu menyambangi perpustakaan lalu menerawang setiap rak, lalu membaca satu-satu persatu judul buku. Apa lagi keberadaan saya di kampung, dimana perpustakaan belumlah tersedia. Namun dengan kecanggihan teknologi informasi, saya bisa langsung membuka mbak google, lalu mengetik judul tulisan yang diinginkan maka akan terhampar jelas di layar handphone. Hanya dengan satu ketikan jari, maka tulisan itu bisa langsung disantap dengan lahap.

Pada saat membaca, saya membutuhkan tempat yang nyaman dan tenang. Dengan begitu saya akan mudah memahami isi sebuah tulisan. Sebab dalam keadaan ribut atau ramai tulisan yang dibaca hanya hambar dan tidak mudah mengendap dalam pikiran. Dalam membaca, ibaratnya ibu-ibu di pasar yang memilah buah dan sayuran mana yang bagus serta enak untuk di masak. Dalam memilih bacaan pun saya melakukan proses memilah sesuai yang diinginkan. Biasanya saya lebih senang membaca kisah-kisah yang menggugah perasaan yang diangkat dari masyarakat awam. Petani. Nelayan dan mereka yang termajinalkan oleh kehidupan. Selain itu, bacaan favorit saya adalah kisah-kisah perjalanan. Saya menyenangi tulisan yang berkisah tentang seseorang yang menyambangi sebuah pulau atau daerah, lalu menangkap satu kepingan realitas di situ, kemudian menguraikannya dengan cara natural dan harmonisasi alam sekitar.

Dokpri. Sawah Suradin
Dokpri. Sawah Suradin
Setelah membaca beberapa, saya memutuskan untuk menulis dengan cara saya sendiri beberapa kepingan realitas, baik yang saya rasakan maupun yang terlihat di sekitar tempat saya tinggal. Sebagai anak kampung, keseharian saya, kalau tidak ke laut ya ke sawah. Dinamika sosial tempat dimana saya berdomisili tidak mengalami perubahan yang cukup progresif. Masyarakatnya hanya melakukan kebiasaanya yang tidak terlalu menunjukkan perubahan yang signifikan. Walaupun tidak dikatakan monoton, kehidupan pedesaan mudah sekali diprediksi. Bagi masyarakat yang lebih mengandalkan dunia pertanian, biasanya setiap pagi sudah ke sawah ketika musim tanam dan panen tiba. Begitu juga dengan masyarakat pesisir yang membaca musim, kapan harus berlayar dan kapan harus menambatkan perahunya di pesisir. Hasil laut mereka jual pada pengepul yang biasa membawanya ke luar daerah, dan selebihnya di jual tiap-tiap kampung dengan sepeda motor.

Dokpri. Sawah Suradin
Dokpri. Sawah Suradin
Walaupun ada upaya agar penghasilan nelayan bisa bertambah dari sektor lain dengan cara hasil laut untuk menjadi barang yang bisa dijual lebih. Misalnya membuat kerupuk ikan, tapi nampaknya belumlah benar-benar maksimal. Masyarakat masih sepenuhnya melanjutkan tradisi yang diwariskan, lalu menyesuaikan dengan perubahan zaman.

Realitas yang ada di pedesaan jarang masuk dalam bidikan media nasional. Sedangkan di sana ada banyak sisi kehidupan anak manusia yang bisa diangkat di meja publik dan memberi warna pada sisi lain kehidupan umat manusia. Kisahnya tidak seindah di layar televisi dengan dokter yang tampan dengan pakaian necis yang dikerumuni kaum hawa. Bahkan tidak seglamour pakaian ala artis Korea yang wajah semulus marmer yang membuat banyak perempuan histeris.

Dokpri. Sawah Suradin,
Dokpri. Sawah Suradin,
Dokpri. Sawah Suradin,
Dokpri. Sawah Suradin,
Kisah kami di kampung, adalah kisah yang natural tanpa basa basi yang penuh drama. Kami menyatu dengan alam sambil mendidik generasi untuk ramah pada setiap inci peristiwa. Ada banyak kisah di sini yang perlu diurai yang bisa dihamparkan pada semesta. Hanya saja dibutuhkan komitmen anak negeri bahwa Indonesia tidak hanya seperti yang tampilkan di layar televisi.

Dengan itu, saya ingin berbuat. Minal lewat tulisan. Saya ingin menulis dari kampung untuk dunia. Bahwa di sini kami hidup dan menjalaninya dengan cara kami sendiri. Menikmati warisan ibu pertiwi dengan sesekali melantunkan syair "tanah air ku Indonesia, negeri elok amat kucinta, tanah tumpah darah ku yang mulia yang ku puja sepanjang masa"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun