KADANG ada kejenuhan yang merayap. Bosan. Malas. Bahkan malah tidak bergairah untuk melakukan hal yang positif. Itulah yang saya alami beberapa hari belakangan ini. Saya beberapa hari tidak bersemangat untuk menulis. Saya seolah kehilangan gairah untuk menggerak-gerakan jari saya di layar handphone. Semua seolah buntu. Tak ada yang bisa saya uraikan untuk merangkai kata untuk menyusun satu kisah yang bisa dibaca secara utuh. Semua hambar. Tapi saya bersyukur percikan-percikan semangat untuk memulai tetap ada walau timbul tenggelam. Dan hari ini, Selasa, 27 April 2021, saya memaksakan diri untuk menulis, walaupun memungut serpihan kisah yang berserakan.
Saya mencoba menulis untuk menyalakan kembali semangat yang pernah padam. Saya tidak pernah punya target apakah tulisan saya akan dibaca orang atau tidak. Menulis hanyalah upaya mengasah pikiran. Menulis merupakan cara saya menterapi diri dalam kalutnya dunia. Tidak pernah terlintas kisah yang saya urai akan menyapa hati dan pikiran publik. Lalu menyapa langit-langit memori pembaca, dan mereka merasa tersentuh. Jika pun ada yang tergugah, saya mengucap syukur walaupun bukan itu targetnya. Bagi saya, menulis adalah menulis itu sendiri sembari menyuplai informasi dengan membaca karya penulis-penulis tersohor.
Pada saat membaca, saya membutuhkan tempat yang nyaman dan tenang. Dengan begitu saya akan mudah memahami isi sebuah tulisan. Sebab dalam keadaan ribut atau ramai tulisan yang dibaca hanya hambar dan tidak mudah mengendap dalam pikiran. Dalam membaca, ibaratnya ibu-ibu di pasar yang memilah buah dan sayuran mana yang bagus serta enak untuk di masak. Dalam memilih bacaan pun saya melakukan proses memilah sesuai yang diinginkan. Biasanya saya lebih senang membaca kisah-kisah yang menggugah perasaan yang diangkat dari masyarakat awam. Petani. Nelayan dan mereka yang termajinalkan oleh kehidupan. Selain itu, bacaan favorit saya adalah kisah-kisah perjalanan. Saya menyenangi tulisan yang berkisah tentang seseorang yang menyambangi sebuah pulau atau daerah, lalu menangkap satu kepingan realitas di situ, kemudian menguraikannya dengan cara natural dan harmonisasi alam sekitar.
Realitas yang ada di pedesaan jarang masuk dalam bidikan media nasional. Sedangkan di sana ada banyak sisi kehidupan anak manusia yang bisa diangkat di meja publik dan memberi warna pada sisi lain kehidupan umat manusia. Kisahnya tidak seindah di layar televisi dengan dokter yang tampan dengan pakaian necis yang dikerumuni kaum hawa. Bahkan tidak seglamour pakaian ala artis Korea yang wajah semulus marmer yang membuat banyak perempuan histeris.
Dengan itu, saya ingin berbuat. Minal lewat tulisan. Saya ingin menulis dari kampung untuk dunia. Bahwa di sini kami hidup dan menjalaninya dengan cara kami sendiri. Menikmati warisan ibu pertiwi dengan sesekali melantunkan syair "tanah air ku Indonesia, negeri elok amat kucinta, tanah tumpah darah ku yang mulia yang ku puja sepanjang masa"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H