PEMILIHAN kepada daerah (pilkada) yang akan digelar serentak 9 Desember nanti tidak hanya melulu urusan kampanye, masifnya gerakan tim sukses dan jual program para calon. Tapi, fenomena menarik adalah mengenai jari.
Ada apa dengan jari?
Jari menjadi bahasa simbol bagi seseorang atau kelompok tertentu untuk menentukan keberpihakannya pada pasangan tertentu. Dalam menunjukkan keberpihakan, tidak hanya karena ada baliho, atau stiker di pasangan di depan rumah. Tetapi memperlihatkan beberapa jari, sebagai isyarat kepada semesta bahwa yang bersangkutan menunjukkan dukungan kepada calon tertentu.
Ini fenomena yang menarik. Jadi bagi kaum milenial yang biasa berselfie ria dengan mengangkat handphone lalu dua jarinya dilekatkan tak jauh dari mata, maka bisa jadi dicurigai mendukung salah satu pasangan calon. Bahkan di media sosial, tidak sedikit tim-tim sukses memperlihatkan simbol-simbol jari di beranda facebooknya.
Bahkan beberapa kali pertemuan yang berakhir dengan foto bersama, saya selalu ditegur dan ingatkan untuk tidak bergaya dengan memperlihatkan sebagian jari di depan camera. Karena terbiasa foto ala cabean-cabean dengan dua jari di luruskan dan yang lain mengepal, saya malah tersenyum sendiri ketika diingatkan oleh seseorang untuk tidak melakukannya.
Yang sebenarnya saya sedang tidak berpihak pada pasangan tertentu yang sedang digaungkan oleh para simpatisan politik. Saya hanya menunjukkan gaya dengan ekspresi tanpa beban dan tanpa dukungan kepada seseorang.
Saya sedang menjadi diri sendiri. Saya hanya ingin menunjukkan ekspresi terbaik pada saat di depan camera. Saya hanya bergaya dengan cara saya sendiri. Bukan karena embel-embel tertentu. Apa lagi dikaitkan dengan urusan pilkada.
Tapi di masa politik, ternyata menjadi sangat sensitif. Ibarat seorang ibu muda sedang ngidam rujak mangga. Selalu sensitif dan sulit dimengerti apa maunya. Kalau kepedasan  salah, kurang cabe malah tambah salah. Tim sukses menjadi sangat sensitif. Setiap orang yang memperlihatkan jari tertentu di ranah publik selalu dicurigai.
Mereka menjadi intelejen yang tidak intelek. Masa seseorang yang berfoto dengan memperlihatkan jari tertentu, di justifikasi tidak berpihak pada calon yang kelompoknya usung. Malah ada yang menuduh, lalu sejurus kemudian tidak lagi berkawan hanya kecurigaan yang berlebihan.
Ibarat sang suami sedang berjalan dengan perempuan lain, lalu istri sah mencurigai suaminya ingin membuka pos 2. Mestinya harus diklasifikasi terlebih dahulu. Bahkan perlu dilakukan cek and ricek. Karena bisa jadi seseorang yang menunjukkan jarinya pada momen tertentu tidak sedang mengisyaratkan dirinya  menyimbolkan keberpihakan. Bisa jadi karena ingin terlihat keren pada saat bergaya.
Pilkada memang sensitif. Masa ia, jari ikut dipermasalahkan. Bukankah tanpa jari pun seseorang tetap bisa menentukan keberpihakannya. Dan sebaliknya, walaupun pun memperlihatkan beberapa jari di momen tertentu, tidak lantas dirinya sedang mengkampanyekan seseorang.