BELAKANG ini beberapa tulisanku yang termuat di media Kompasiana selalu ku pajang fotonya Dinda Puspita. Pilihan ini bukan tanpa alasan. Pasalnya, beberapa fotonya nampaknya sesuai dengan isi tulisanku. Namun sebelum itu, aku harus meminta izin terlebih dahulu kepada orangnya. Khawatirnya ada komplain di kemudian hari.
Tapi sejauh ini, justru Dinda Puspita malah senang fotonya manjadi sampul tulisanku. Awalnya aku hanya berpikir praktis saja. Dari pada harus mendownload foto-foto di mbak Google, lebih baik memajang foto-foto mereka yang sudah ku kenal sebelumnya. Salah satu orang itu adalah Dinda Puspita. Apalagi fotonya Dinda Puspita tidak kalah bagusnya.
Dari sekian tulisanku, aku mencoba menyesuaikan isi cerita dengan foto yang dipajang. Itu bukan ide marketing, tetapi hanya sekedar menyesuaikan saja. Kenapa harus perempuan? Ya, aku pikir perempuan punya magnet sendiri, ketika netizen melihat sebuah tulisan. Selain judul, sampulnya pun bisa menjadi bahan pertimbangan seseorang membaca sebuah tulisan.
Walaupun aku sendiri sepakat, bahwa jangan menilai buku dari sampulnya. Tapi, nampaknya tidak bisa dipungkiri sampul bisa menjadi daya tarik seseorang untuk membuka dan membaca sebuah tulisan. Aku tidak bermaksud ingin mengatakan semua orang seperti itu. Tapi itu yang aku rasakan sendiri. Bahkan menurut sebagian teman-teman ku juga seperti itu.
Jujur. Foto-fotonya Dinda Puspita di branda facebooknya memang bagus-bagus. Bahkan latarnya selalu memperlihatkan alam yang asri. Kalau bukan laut, gunung, juga persawahan. Bahkan hasilnya pun sangat bagus. Aku yakin yang memotret Dinda Puspita bukan kelas fotografer profesional. Tapi, aku sendiri tidak mengelak hasilnya. Cukup bagus, ditambah lagi dengan keanggunan Dinda Puspita yang cantik.
Sebenarnya tidak hanya Dinda Puspita, ada pula Vanny, Nurmaulina dan bahkan Fadil yang ku pilih menjadi foto sampul tulisanku. Mereka yang ku sebut namanya memang bersedia fotonya digunakan untuk sampul tulisanku. Untuk menghargai privasi seseorang terlebih dahulu aku harus mengkonfirmasinya terlebih dahulu.
Perhari ini, selain reportase, aku cukup tertarik menulis hal yang berkenaan dengan cinta dan motivasi. Hal ini tidak terlepas dari seleraku membaca tulisan-tulisan yang berkenaan dengan masalah kasmaran dan tentang semangat hidup.Â
Hal ini bukan karena aku sedang jatuh cinta, atau ingin menjadi motivator sekelas Mario Teguh. Tapi, hanya mengikuti kata hati saja. Atau paling tidak bisa mengasah kepekaan dalam diri tentang kedua topik tersebut.
Bukankah kedua topik ini tidak pernah enyah dari kehidupan setiap orang. Terlebih mengenai cinta yang menjadi kata abstrak yang mewakili perasaan seseorang.Â
Tidak hanya berkenaan dengan dua pasangan sejoli yang sedang mabuk kasmaran. Tetapi menyangkut pula kecintaan terhadap sesama sebagai mahluk ciptaan tuhan.Â
Begitu juga dengan topik motivasi. Ada banyak orang bisa menasehati dan memotivasi orang lain. Tapi belum tentu hal yang sama, dia bisa lakukan untuk dirinya sendiri. Dan saya berpikir dengan proses membaca dan menulis tentang kedua topik ini. Paling tidak bisa mengendap dalam benak ku dan minimal bisa aku praktekan sendiri dalam hidupku.
Kembali ke Dinda Puspita. Aku sendiri sangat berterimakasih atas kesediannya mengizinkan aku menggunakan fotonya. Jujur saja tidak faktor dan alasan lain kenapa harus fotonya Dinda Puspita yang digunakan. Kenapa bukan orang lain. Aku sendiri tidak punya cukup jawaban untuk menjawab pertanyaan tersebut. Yang pastinya Dinda Puspita tidak keberatan dan aku merasa fotonya sesuai dengan isi cerita dalam tulisanku. Ya, titik. Itu saja.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI