TEPAT pada pukul 08.00 pagi saya membonceng istri dengan motor untuk mengantarnya ke sekolah dasar tempatnya mengajar. Mentari di ufuk timur sudah merekah menyapa semesta ketika saya keluar dari rumah. Jalanan sudah mulai ramai dengan lalu lalang kendaraan yang melintas.
Untuk sampai di sekolah, saya harus melewati hamparan sawah yang luas dengan beragam tanaman yang tumbuh di atasnya. Beberapa petani sudah terlihat sibuk.Â
Ada yang menyiram, menyangkul, bahkan ada pula yang sedang berdiri di pematang sawah sambil melepas padang menyaksikan hijaunya bawang merah yang belum di panen. Di kejauhan, terlihat beberapa ibu-ibu sedang memasuki areal persawahan untuk memulai hari sebagai bertani.
Kebetulan sekolah tempat istri mengabdi berada dekat dengan pasar kecamatan, sehingga saya harus berhati-hati melajukan kendaraan sebelum benar-benar sampai di tempat tujuan. Pasar Tente, itulah nama yang biasa dialamatkan kepada pasar yang juga di dalamnya ada terminal ini.Â
Pasar Tente sangat strategis, karena menghubungkan puluhan perkampungan dari berbagai arah. Bahkan ketika seseorang ingin ke kota kabupaten, bisa dipastikan akan melewati pasar Tente terlebih dahulu.Â
Dan sekolah tempat istri saya mengajar tidak jauh dari pintu masuk terminal. Maka bisa dibayangkan bagaimana sibuknya jalanan dengan beragam jenis kendaraan kala pagi menyapa semesta.
Setelah menempuh kurang lebih lima menit perjalanan, akhirnya saya pun sampai. Di pintu masuk sekolah, sudah terlihat beberapa penjual yang menjajakan dagangannya. Bahkan di antaranya menjual cilok, makanan kesukaan anak-anak.Â
Terlihat dari raut wajah, para penjual ini nampaknya datang dari pulau Jawa dan Lombok. Kebenaran itu setelah saya konfirmasi kepada istri setelah ia pulang sekolah. Nampaknya mereka perantau dari barat Indonesia dan memutuskan untuk mencoba peruntungan di Bumi Maja Labo Dahu.
Setelah istri turun dan memasuki areal sekolah untuk menuntaskan kewajibannya sebagai pendidik, saya pun kemudian duduk sejenak di tembok sekolah, sembari mencoba melepas pandang.Â
Pandangan terhenti pada titik dimana menyaksikan beberapa siswa, tanpa di suruh oleh gurunya mencuci tangan secara bergantian di tempayan yang telah disediakan oleh pihak sekolah.Â
Di beberapa titik, terlihat beberapa tempayan yang nampaknya disediakan tempat untuk mencuci tangan. Uniknya, tempayan ini terbuat dari tanah liat, bukan dari ember yang biasa dipajang oleh beberapa warga  yang terdapat di depan pintu masuk rumahnya.
Terlihat pula, beberapa siswa yang lain, ada yang berlarian, ada yang makan, bahkan ada pula yang sedang bercengkrama dengan gurunya. Bahaya Covid-19, telah mengajari bagaimana semua orang dipaksa secara tidak langsung untuk membiasakan mencuci tangan, baik sebelum beraktivitas terlebih selesai mengerjakan sesuatu.Â
Mungkin sebelum Covid-19 merebak seperti sekarang ini, kebiasaan mencuci tangan hanya dilakukan sebelum makan. Namun kini, terlebih anak-anak sekolah dasar telah terbiasa tanpa harus di bimbing dan diarahkan lagi bahwa pentingnya mencuci tangan.
Jika kebiasaan ini sering dipupuk, maka akan menjadi kebiasaan yang meregenerasi. Generasi mendatang akan memandang sangat penting mencuci tangan sebelum mengerjakan apa pun.Â