TURUN dari mobil dalam perjalanan ke Desa Senaru, Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, saya melihat seorang anak gadis yang sedang membakar ikan dengan dibungkus daun pisang. Terlihat sesekali ia harus bergeser dari tempat duduknya, karena harus menghindar dari kepungan asap dari pembakaran.
Bahkan sesekali ia harus meniup agar serbuk kelapa yang digunakan untuk membakar bungkusan ikan dengan daun pisang supaya tetap menyala. Tangannya terlihat sangat cekatan membolak balikan bungkusan ikan. Puluhan bungkusan ikan disejajarkan dengan rapi di atas tungku. Ia bisa menilai, mana ikan yang sudah masak mana yang belum.
Namanya Lia Apriani. Umurnya masih 13 tahunan. Ketika cahaya mentari dari arah timur di balik gunung Rinjani menyapa semesta, ia sudah membantu ibunya berjualan di pinggir laut, dekat jalan yang menghubungkan kabupaten Lombok Utara dan kota Mataram.
Ketika ku hampiri, senyumnya merekah dari bibirnya yang sibuk meniup pembakaran ikan. Tangannya beberapa kali sibuk mengangkat ikan yang dianggapnya sudah masak dan kemudian simpan di ember. Sedangkan ember yang lain, puluhan ikan yang sudah dibungkus siap untuk dimasukan di dalam pembakaran.
Sejurus kemudian, saya mengganggu kesibukannya dengan beberapa pertanyaan. Awalnya dia terlihat kikuk dan malu. Namun setelah tanganku ikut membolak balikan ikan di pembakaran, ia mulai merasa nyaman dan menjawab beberapa pertanyaan.
Lia anak pertama dari dua bersaudara. Dia sangat diandalkan  oleh orang tuanya untuk membantu dalam beberapa urusan, termasuk melayani pelanggan di warungnya yang dibuat serupa rumah tenda. Kali ini, Lia harus berjibaku dengan kepungan asap yang tertiup dari berbagai arah.Â
Dalam kesibukannya, ia harus  mampu memastikan  ikan yang dibakarnya harus secepatnya dihidangkan. Sedangkan ibunya, terlihat cukup sibuk melayani beberapa pelanggan, baik yang memutuskan makan di warung, maupun yang hanya sesaat singgah untuk membeli sesuatu.
Ikan-ikan yang dijual, dibelinya dari para nelayan setempat. Laut Jawa yang  membentang di utara pulau Lombok menjadi sumber kehidupan masyarakat setempat selain profesi bertani, berladang maupun membuka warung seperti orang tuanya Lia.Â
Di sepanjang pantai dekat jalan lintas kabupaten ini, sangat mudah menjumpai warung dan lapak yang semi permanen menjajakan makanan. Baik hasil laut maupun makanan olahan.
Karena suatu urusan, saya tidak bisa berlama-lama dan harus kembali melanjutkan perjalanan menuju ke utara. Melajukan kendaraan, dengan melewati berbagai perkampungan di bawah kaki gunung Rinjani yang terlihat anggun dan mempesona.
Pada Lia, saya mengagumi kerja keras dan baktinya kepada kedua orang tuanya. Dia sedang membasahi hatiku dengan semangatnya yang luar biasa.Â
Dalam gumamku Lia seorang gadis yang hebat. Lia memilih untuk menempa dirinya untuk menjadi pribadi yang tidak berpangku tangan. Tidak seperti gadis seumurannya, yang banyak disibukkan dengan handphone di tangan. Lalu cengengesan ketika ada like dan komentar dari para netizen.
Lia memilih menjadi gadis yang menempatkan dirinya dalam dunia yang begitu nyata. Ia merasakan panasnya matahari, ditempa semilirnya air laut, kulitnya dihempas debu kendaraan, dan matanya teriris karena sapuan asap pembakaran. Padanya, saya mendapatkan sapuan mata air inspirasi bahwa memang hidup harus siap dijalani dalam situasi apapun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H