HARI ini, Minggu (14/06/2020), saya menjadi buruh bangunan dalam membangun rumah salah seorang warga di Dusun  Ruhu Ruma, Desa Rasabou, Kecamatan Hu'u, Kabupaten Dompu. Dalam mengisi masa leburan karena Covid-19, saya memutuskan untuk bekerja, agar hari-hari yang saya lalui ada manfaat-nya.
Sebagian pihak berkomentar, kenapa saya harus menjadi pekerja yang menuntut fisik yang kuat dan prima. Sedangkan profesi saya adalah seorang pendidik, bahkan bergelar strata 2 dan mantan dosen di salah satu kampus swasta. Dengan gelar sementereng itu, mestinya saya, menurut beberapa orang di kampung, sudah tidak perlu lagi menjadi pekerja 'kasar' seperti ini.
Namun, saya memiliki pandangan dan prinsip sendiri. Bagi saya, apapun pekerjaan sepanjang itu halal, dan tidak merugikan orang lain, apa salahnya dilakukan. Bukankah saya berasal keluarga sederhana dan pernah mengeyam pekerjaan, seperti bertani, menjadi buruh bangunan, menangkap ikan di lautan untuk dijual, mengambil kayu bakar di gunung untuk kemudian dipasarkan. Dulu memang itu rutinitas saya ketika masih duduk di bangku sekolah dasar hingga Sekolah menengah atas.
Namun, kemudian saya memutuskan untuk melanjutkan studi hingga ke jenjang S2. Sehingga sekarang, ketika diperhadapkan dengan pekerjaan-pekerjaan yang menuntut fisik yang prima, seperti yang saya sebutkan di atas, tentu bukanlah sesuatu yang mengagetkan. Walaupun sudah lama saya tidak pernah lagi memegang cangkul, angkat semen, dan bahkan harus berkubangan ketika memikul padi di sawah.
Saya menyadari dan memahami komentar orang di kampung. Bahwa pada umumnya, ketika seseorang sudah bergelar tinggi, maka sesuatu yang mengherankan ketika masih mau berjibaku dengan pekerjaan-pekerjaan yang seyogyanya tidak pantas lagi dilakukan-nya. Pandangan ini tidak sepenuhnya salah, sebab masyarakat melihat dan menilai beberapa kawan di kampung yang memiliki gelar, akan mempertimbangkan untuk melakukan  pekerjaan yang jauh dari disiplin ilmu-Nya. Walaupun sebenarnya, mereka berasal dari kelas sosial yang biasa-biasa saja.
Bagi saya, tergantung sudut pandang dan pilihan masing-masing setiap orang. Begitu juga pandangan beberapa orang di kampung tentang saya, yang masih mau berpeluh keringat di bawah matahari yang menyengat kulit. Sedangkan saya sudah menjadi seorang pendidik dan memiliki penghasilan dari profesi yang saya geluti hingga kini.Â
Saya bersyukur dididik dari orang tua yang menuntun dan menuntut anak-anaknya agar mawas diri, mandiri, dan tidak perlu malu bekerja apapun asalkan halal, dan bahkan ibu saya yang selalu menekankan agar saya menjadi pribadi yang selalu bekerja keras.
Alhamdulillah saya sampai saat ini tidak pernah minder untuk bekerja apapun, walaupun profesi saya seorang pendidik. Bagi saya, bekerja tidak hanya persoalan penghasilan, tapi juga melatih diri untuk menjadi pribadi yang tidak cepat puas. Bahkan dengan bekerja apapun tentu memberikan pelajaran serta pengalaman hidup yang nantinya akan menjadi modal dalam menapaki masa depan.
Saya tidak ingin gelar yang saya sandang menghambat apapun yang ingin saya lakukan. Apa lagi pekerjaan yang saya lakukan bukanlah sesuatu yang baru, bahkan saya pernah menggeluti-Nya di masa lalu. Bagi saya di era kekinian, gelar kadang kala tidak berbanding kurus dengan pekerjaan. Kadang seseorang bergelar pendidikan, namun pekerjaan yang digelutinya sekarang malah menjadi petani sukses. Fakta yang demikian tidak dapat dipungkiri dan bahkan ada banyak sarjana-sarjana yang sukses menggeluti pekerjaan yang tak berbanding dengan ilmu yang mereka pelajari di masa menjadi mahasiswa.
Sekarang yang dibutuhkan adalah pribadi-pribadi yang inovatif, dan penuh kreativitas. Nampaknya memang demikian, bukan berarti gelar tak dibutuhkan, tapi yang terpenting ilmu yang didapatkan selama bergelut di dunia akademisi mampu diwujudkan dan diejawantahkan dalam membaca semesta. Bukankah begitu?
Kuta, 14 Juni 2020