SAAT merekah-Nya mentari pagi di ufuk timur. Saat itu pula, gairah hidup menyeruak, mekar seperti sekuntum bunga yang berdendang di taman kedamaian. Mengibas semesta, mengawetkan impian untuk tetap di tuju. Bukan sekedar ingin ada pembuktian, namun bagian perjalanan hidup sembari memetik intisari makna.
Kala mentari menyapa semesta, menerangi sisi gelapnya dunia, membuat semua kembali tersenyum. Kembali memulai lembaran baru kehidupan, meninggalkan jejak sebagai pelajaran hidup, sebagai modal dalam menuntun langkah ke depan. Jika tak ada kawan setia, cukuplah embun pengalaman yang akan membasahi relung kalbu, jika problem hidup datang menyapa.
Masalah akan datang dan pergi bersama berlalunya waktu. Jika ia disambut kala menghampiri, akan menguatkan yang berserak, merangkul yang terpisah, memberi arti pada kehidupan dan jiwa tergenang dalam keharmonisan.
Kehidupan menghamparkan sejuta pesona, menyuguhkan menu hidup yang mengharuskan untuk dipilih. Dalam mengarungi rimba raya kehidupan, semua insan terkadang terhempas derunya ombak, tersisihkan ke sudut pantai, tergoreskan luka karena karang. Namun kadang pula menikmati lembayung senja, ketenangan jiwa membirunya samudra kehidupan.
Setiap pijakan meninggalkan jejak, memastikan langkah tetap berpacu dengan waktu. Tetaplah fokus, tapi sesekali menepi untuk memulihkan semangat, mencabuti duri, menyembuhkan goresan luka, menarik nafas dalam-dalam, sambil melirik kebelakang, hanya untuk memastikan sudah sejauh mana kaki melangkah.
Ketika mentari mulai kembali ke peraduan, gelapnya malam membunuh terang-Nya dunia, dan menjalani hidup di sisi yang berbeda. Merajut kembali mimpi yang tertunda dalam pembaringan malam yang damai. Terangnya bintang memenuhi langit malam, seakan ingin mengutarakan bahwa esok masih menyisakan harapan. Semakin meninggi, malam semakin terasa damai. Terlelap-Nya para insan dengan mimpi yang sempurna, langit masih menyisakan terang bintang. Bulan pun tak ketinggalan memberi terang. Walau sendiri, cahayanya menghampar ke semesta.
Malam, dalam sandaran mu, membunuh lelahku yang mengendap. Endapannya menyisakan pilu, menurunkan buliran air di sudut mata, membasahi hati yang terluka, dan kembali menguatkan untuk senyum merekah di kala duka lara merana.
Komtemplasi di malam hari, mengibas lapisan laku yang pernah bersua. Hingga akhirnya menentukan langkah untuk esok yang belum tersapa yang nantinya akan tersapu. Meniti hari, membunuh waktu, mengambil makna, memberi arti atas semua laku yang pernah terhamparkan.
Jika laku direstui sang cipta, hidup akan tenang dan memberi senyum pada sesama. Tapi kala tingkah tak sesuai titah ilahi, merana hidup tak terelakan. Sebelum semua berakhir, berpijaklah pada yang tepat, hingga waktu menyuguhkan kemenangan.
Kuta, 22 Mei 2020
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI