MENJADI petani merupakan pilihan yang berani. Bergumul dengan kubangan, mengairi, membajak sawah, menahan terik matahari, dan kadang harus mengelus dada ketika harga gabah anjlok setelah panen. Tapi, petani tetap sabar, senyumnya sumringah, walaupun kadang menggerutu karena harga gabah yang tidak menggembirakan.
Harusnya petani sudah lama menempati kelas atas negeri ini. Mereka harusnya sudah sejahtera, makmur dan sentosa. Tapi, hasil keringat mereka nampaknya tidak mendapat tempat yang layak di mata pemangku kebijakan. Memang dulu, di masa Orde Baru, Indonesia mampu melakukan swasembada pangan bahkan sanggup membantu saudara-saudara kita di Afrika sana, untuk keluar dari zona kelaparan.
Petani hanya disanjung di atas kertas, bahkan  menjadi opini politisi di masa kampanye. Dari Sabang hingga Merauke sana, bukan saja pulau-Nya yang membentang luas, tapi juga lahan pertaniannya yang terhampar. Tapi, kadang kita heran kenapa masih ada kasus busung lapar, kekurangan sembako, kemiskinan yang akut dari para petani di negeri ini. Apakah negara tidak punya data akurat untuk mencarikan solusinya.
Belum lagi kelangkaan pupuk ketika musim tanam tiba, bahkan menjadi masalah musiman setiap tahunnya. Hingga kini, nampaknya belum benar-benar terurai dengan baik, walaupun silih berganti pemimpin di pucuk kekuasaan negeri ini.
Mungkin benar kata seorang sahabat, bahwa bangsa ini, bangsa yang salah urus. Pernyataan tersebut tidaklah berlebihan mengingat sumber daya alam negeri ini sangat melimpah, bahkan selalu didengungkan oleh guru kepada murid-Nya di bangku sekolah. Tapi, sekian tahun merdeka, ternyata kekayaan yang melimpah itu, hanya dinikmati oleh segelintir orang.
Sehingga tidak heran, banyak generasi muda negeri ini yang tidak ingin menjadi petani, walaupun berasal dari keluarga petani. Bahkan banyak orang tua dari kampung yang menyekolahkan anaknya tinggi-tinggi, dengan harapan agar tidak menjadi petani seperti dirinya.
Bisa dibayangkan di masa mendatang lahan pertanian ditinggalkan dan diganti dengan bangunan pemukiman, serta dialih fungsikan untuk sektor yang lain. Sedangkan mayoritas warga negeri ini, menjadikan nasi sebagai makanan pokoknya. Haruskah negeri ini tetap membuka ruang masuknya beras dari Vietnam atau negara-negara tetangga, yang nota bene lahan persawahannya tidak sebanding yang dimiliki oleh bangsa ini.
Sungguh miris, harusnya kemerdekaan yang gaungkan puluhan tahun yang lalu, juga diikuti oleh kemerdekaan dunia pertanian. Sebab pertanian di negeri ini jauh lebih tua, dari kemerdekaan itu sendiri. Tapi sayang, itu hanyalah harapan dari suara sunyi seorang petani yang jauh dari keramaian ibu kota, yang tidak masuk hitungan elit di parlemen sana.
Suara itu hilang bersama angin, bersama hujan, bersama suara burung yang berkicau di semak-semak pinggir persawahan, serta terkubur bersama keresahan karena harga gabah yang di permainkan oleh para tengkulak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H