MENYEBARNYA pandemi virus Corona, tak menghentikan niatku untuk melakukan perjalanan ke kota Mataram. Kota dimana pandu mengabdi untuk bunda pertiwi. Mendidik anak negeri untuk kelangsungan nafas bangsa ini di masa mendatang.
Dari kampung, saya menyalakan motor, menarik gasnya, membelah dinginnya ujung malam. Setelah menghadap dan bermunajat ke sang khalik, saya pun berpamitan kepada kedua orang tua, kemudian melajukan roda dua untuk menggapai tanah seberang.
Malam masih menyisakan kantuk, namun perlawanan yang saya tunjukkan mampu meredamnya hingga ketitik kekalahannya. Ia takluk. Tak berkutik.
Dalam perjalanan menuju kota kabupaten, saya melihat kawan-kawan pejuang pemutus mata rantai virus Corona sedang kelelahan menaklukkan malam di palang yang tak jauh dari kampung. Di samping tenda, ada dua orang yang masih terjaga dan sedang ngobrol sesuatu.Â
Satunya mengenakan seragam polisi, dan satunya mengenakan pakaian sipil. Saya berlalu begitu saja. Kepada mereka, saya ingin mengatakan, tetap semangat karena esok masih menyisakan harapan.
Ketika masuk di kota kabupaten, matahari di ufuk timur mulai menyapa semesta. Tapi suasana kota terlihat sepi, tidak ada geliat para pedagang, orang lalu lalang, mereka yang berolahraga di akhir pekan, yang  nampak hanya beberapa orang sedang menyapu di depan tokoh. Serasa kota mati. Tak ada tanda-tanda kehidupan, atau mungkin masih terlalu pagi. Saya berlalu.
Sekitar tiga kilo meter keluar dari kota, saya menyaksikan geliat masyarakat di pasar tradisional Manggelewa, Kabupaten Dompu Nusa Tenggara Barat.Â
Penjual, buruh pasar, tukang ojek tukang parkir, dan tanpa ada petugas yang berjaga-jaga, warga terlihat sibuk tawar menawar harga, lalu lintas terurai oleh tukang parkir, teriakan para buruh pengangkut barang, dan desingan suara knalpot dari kendaraan menyatu menyambut pagi.Â
Sejenak saya menghentikan laju motor yang saya kendarai untuk memotret aktifitas warga. Ketika mengambil gambar, terlihat beberapa orang menatapku dengan datar, saya mengabaikannya.Â
Tak ada tanya, tak ada jawaban. Sesaat kemudian saya kembali melajukan motor, membelah jalan sebelum pagi benar-benar pergi. Buliran embun, masih enggang menghilang, walaupun mentari mulai menyapa.