KALAU ditanya kepada banyak orang di kampung, apakah mereka tahu tentang gardu, saya yakin mereka akan mudah menunjuk dan menjawabnya. Namun, jika pertanyaan tentang kapan gardu itu pertama kali dibangun beserta fungsinya. Nampaknya, mereka akan diam sejenak sembari pandangannya mendongak ke langit sambil mengernyitkan dahi untuk mencari jawaban yang tepat.
Bahkan mereka lebih mengenal gardu dengan sebutan poskamling, dari pada gardu itu sendiri.
Hampir setiap kampung yang ada di kecamatan dimana saya tinggal, memiliki gardu. Gardu sangat mudah di jumpai di pinggir jalan raya di setiap kampung. Kadang gardu di tempatkan di perempatan jalan, di sudut gang bahkan ada pula di tempatkan di atas parit. Ada yang masih terawat dan dibuat baru, namun tidak sedikit yang hampir tidak mendapat perhatian.
Setiap sore bahkan malam hari, sangat mudah untuk menjumpai orang-orang tua dan anak muda sambil mengisap rokok dan bermain gitar di gardu. Gardu seolah menjadi tempat bersua dan berbagi cerita.
Walaupun zaman sudah moderen, tidak lantas gardu kehilangan fungsinya, bahkan gardu sudah dibuat dengan arsitektur moderen dengan kayu dan bahkan seng yang lebih kelihatan mewah. Bahkan ada gardu yang dibangun dengan tembok semen bahkan dengan perlengkapan yang sangat bagus.
Di kampung gardu menjadi perekat sosial. Orang bisa duduk berjam-jam hanya membicarakan beragam topik, mulai dari masalah pertanian sampai membahas tentang cara menarik hati seorang gadis. Keberagaman topik sangat tergantung mereka yang bersua di gardu. Kalau orang tua, tentu di dominasi dengan pembahasan mengenai lahan pertanian, perkebunan bahkan merembes mengenai politik. Jika anak-anak muda, tentu tidak jauh dari gebetan mana yang akan di bawah ke pantai di akhir pekan.
Gardu menjadi bangunan yang penuh historis, ia tak tergerus oleh perubahan zaman. Eksistensinya sangat teruji. Ketika bangunan lain seperti rumah panggung mulai tergantikan oleh rumah batu bata, gardu justru masih mampu tampil dengan penuh keyakinan menatap hari. Ia tak lekang tergerus masa.
Nampaknya dengan melihat manusia sebagai mahluk sosial, maka sampai kapanpun gardu tetap akan eksis, walaupun fungsinya akan mengalami pergeseran. Manusia butuh tempat yang representasi untuk menyalurkan unek-uneknya, berbincang-bincang dengan sesama, berbagi cerita serta menyalurkan hasrat berbagi kisah.
Walaupun sekarang zamannya Facebook, Twitter, dan WhatsApp dimana orang bisa terhubung satu sama lain, namun keberadaan gardu masing sangat relevan sebagai perekat sosial.