Mohon tunggu...
Suradin
Suradin Mohon Tunggu... Duta Besar - Penulis Dompu Selatan

Terus Menjadi Pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Kisah Hebat Seorang Nelayan Desa Jala

29 Maret 2020   13:19 Diperbarui: 29 Maret 2020   13:29 1382
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokpri. Bersama Pak Teta Nelayan Desa Jala

Menjadi seorang nelayan yakni memilih mendidikasikan hidupnya dengan tidak jauh dari memperbaiki jaring, membersihkan-Nya, menyimpannya di tempat yang semestinya, kemudian mendorong perahu, menambatkannya, serta merawatnya supaya kelak anak cucuh menjadi saksi bahwa ia adalah seorang nelayan sejati.

Ia adalah seorang ayah dari anak-anak yang kini menikmati jeri payahnya menjadi seorang nelayan, dan seorang suami yang berusaha memastikan dapur terus mengepul serta kebutuhan rumah tangga yang tidak pernah absen.
"Biasanya pendapatan tidak menentu, kadang jutaan, kadang ratusan, sangat tergantung berapa banyak tangkapan serta cuaca. Kalau bulan Januari sampai Maret jarang nelayan yang pergi melaut, karena cuaca di bulan-bulan ini sangat tidak bersahabat, ya terjadi musim panca roba," Imbuhnya.

Dengan umurnya yang ke 75 tahun, ia belum terpikir untuk berhenti melaut. Ia bukan seperti seorang pesepak bola, yang langsung menggantungkan sepatu atau pensiun jika umur sudah menua.

Baginya, berlayar ke tengah lautan dengan menjaring ikan adalah hal yang menyenangkan, terlebih jika berlayar bersama dengan yang lain. Mereka bisa saling menyahut, meneriakkan kapan jaring dilepas, kapan harus kembali menepi dan kapan menentukan titik dimana pelayaran harus berhenti. 

Walaupun pernah mengenal bangku sekolah di tahun 1993, dengan menimba ilmu di sekolah perikanan, dan sekolah pendidikan keperawatan di kota Bima yang tidak diselesaikannya. Namun, pengalamannya menjadi seorang nelayan lebih mewarnai perjalanan hidupnya hingga kini.

Dokpri
Dokpri

Dokpri
Dokpri

Ia bahkan beberapa kali berlayar sendiri ke tengah lautan tanpa ada yang temani. Dengan perahu miliknya ia bisa berangkat sore, dan kembali menambatkan perahunya setelah badaah isya. Tapi terkadang bermalam di tengah laut dan pulang keesokkan harinya setelah membawa perbelakan yang cukup selama berlayar.
Tapi bagi nelayan yang menggunakan perahu orang lain, diterapkan proses bagi hasil. Mereka mendapatkan upah berdasarkan kesepakatan dengan yang empuhnya perahu.
Teluk Cempi merupakan medium besar dimana Teta dan puluhan nelayan Desa Jala lainnya menaruh harapan semoga tetap melimpahkan kemaha murahan bagi kelangsungan hidup para nelayan. 

Pada Teta, saya melihat sosok laki-laki pejuang, laki-laki yang komitmen, konsisten serta loyal terhadap profesinya sebagai seorang nelayan. Ia telah menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk bercumbu dengan lautan yang penuh dengan kemaha murahannya terhadap dirinya serta puluhan nelayan lainnya.
Padanya saya belajar nilai sebuah pengorbanan dalam sebuah perjuangan, tanggung jawab dan pantang menyerah dalam mengarungi rimba raya kehidupan.
Ia menjadi nokta kecil dalam lipatan sejarah masyarakat nusantara yang jutaan tahun lamanya bergumul dengan lautan.
Sebelum mengakhiri obrolan, saya mememinta kesediaan Teta untuk berfoto bersama dengan duduk diperahunya. Iapun mengangguk, dan kamipun masuk camera. 

Desa Jala, 28 Maret 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun