Menjadi seorang nelayan yakni memilih mendidikasikan hidupnya dengan tidak jauh dari memperbaiki jaring, membersihkan-Nya, menyimpannya di tempat yang semestinya, kemudian mendorong perahu, menambatkannya, serta merawatnya supaya kelak anak cucuh menjadi saksi bahwa ia adalah seorang nelayan sejati.
Ia adalah seorang ayah dari anak-anak yang kini menikmati jeri payahnya menjadi seorang nelayan, dan seorang suami yang berusaha memastikan dapur terus mengepul serta kebutuhan rumah tangga yang tidak pernah absen.
"Biasanya pendapatan tidak menentu, kadang jutaan, kadang ratusan, sangat tergantung berapa banyak tangkapan serta cuaca. Kalau bulan Januari sampai Maret jarang nelayan yang pergi melaut, karena cuaca di bulan-bulan ini sangat tidak bersahabat, ya terjadi musim panca roba," Imbuhnya.
Dengan umurnya yang ke 75 tahun, ia belum terpikir untuk berhenti melaut. Ia bukan seperti seorang pesepak bola, yang langsung menggantungkan sepatu atau pensiun jika umur sudah menua.
Baginya, berlayar ke tengah lautan dengan menjaring ikan adalah hal yang menyenangkan, terlebih jika berlayar bersama dengan yang lain. Mereka bisa saling menyahut, meneriakkan kapan jaring dilepas, kapan harus kembali menepi dan kapan menentukan titik dimana pelayaran harus berhenti.Â
Walaupun pernah mengenal bangku sekolah di tahun 1993, dengan menimba ilmu di sekolah perikanan, dan sekolah pendidikan keperawatan di kota Bima yang tidak diselesaikannya. Namun, pengalamannya menjadi seorang nelayan lebih mewarnai perjalanan hidupnya hingga kini.
Ia bahkan beberapa kali berlayar sendiri ke tengah lautan tanpa ada yang temani. Dengan perahu miliknya ia bisa berangkat sore, dan kembali menambatkan perahunya setelah badaah isya. Tapi terkadang bermalam di tengah laut dan pulang keesokkan harinya setelah membawa perbelakan yang cukup selama berlayar.
Tapi bagi nelayan yang menggunakan perahu orang lain, diterapkan proses bagi hasil. Mereka mendapatkan upah berdasarkan kesepakatan dengan yang empuhnya perahu.
Teluk Cempi merupakan medium besar dimana Teta dan puluhan nelayan Desa Jala lainnya menaruh harapan semoga tetap melimpahkan kemaha murahan bagi kelangsungan hidup para nelayan.Â
Pada Teta, saya melihat sosok laki-laki pejuang, laki-laki yang komitmen, konsisten serta loyal terhadap profesinya sebagai seorang nelayan. Ia telah menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk bercumbu dengan lautan yang penuh dengan kemaha murahannya terhadap dirinya serta puluhan nelayan lainnya.
Padanya saya belajar nilai sebuah pengorbanan dalam sebuah perjuangan, tanggung jawab dan pantang menyerah dalam mengarungi rimba raya kehidupan.
Ia menjadi nokta kecil dalam lipatan sejarah masyarakat nusantara yang jutaan tahun lamanya bergumul dengan lautan.
Sebelum mengakhiri obrolan, saya mememinta kesediaan Teta untuk berfoto bersama dengan duduk diperahunya. Iapun mengangguk, dan kamipun masuk camera.Â
Desa Jala, 28 Maret 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H