Promo dari media, gembar-gembor pemkot, dan puja-puji Bu Risma tentang E-KIOS tidak sebanding dengan kenyataan ketika saya mencoba untuk mendaftarkan akte kelahiran anak via http://lampid.surabaya.go.id/. Pasalnya setelah istri saya melahirkan, saya harus menscan dokumen-dokumen seperti : KK, KTP (saya dan istri beserta 2 saksi), keterangan lahir dari bidan untuk diupload di web tersebut. Setelah bersepakat dengan istri saya untuk memberi nama anak kami, maka pada minggu kedua, saya baru melakukan apa yang sedang ngetren saat ini di dunia e-goverment : pendaftaran online.
Secara tekhnologi, saya sama sekali tidak pesimis dengan gebrakan yang dilakukan oleh dispenduk capil Surabaya ini. Karena integrasi NIK penduduk Surabaya sangat bagus dan menurut saya adalah terbagus di Indonesia dari sisi tekhnis, prasarana, dan inovasinya. Hanya saja dalam prakteknya, jauh api dari arang.
Praktek pendaftaran online untuk kelahiran anak yang sudah saya lakukan dan sudah mendapatkan nomer pendaftaran, ternyata selama 3 hari saya mengecek di menu monitoring, pihak RT dan RW belum menerima permohonan saya. Terpaksa keesokan harinya saya harus datang secara "offline" ke rumah RT dan RW. Saya tanyakan kepada beliau perihal pendaftaran online ini, dan jawabannya cukup mengejutkan saya karena alasannya berputar-putar seperti hendak menutupi kegagapan tekhnologinya. Saya merasa kasihan kepada pejabat RT dan RW ketika menulis berkas-berkas kependudukan yang saya bawa. Secara perlahan dia menuliskan satu persatu huruf demi huruf ia eja dari fotokopi berkas saya yang tidak begitu jelas. Prosesnya kurang lebih memakan waktu 15 menit. Kasian sekali dia harus menulis dan menyalin tulisan yang sama pada dua lembar kertas. Saya jadi teringat Bu Risma yang lulusan ITS yang sedang getol-getolnya memuja tekhnologi untuk memajukan Kota Surabaya. Kenapa tidak ada kursus khusus untuk orang-orang seperti pejabat RT RW ini? Bukankah dengan http://lampid.surabaya.go.id/ kita cukup memasukkan NIK dan nama, alamat, dst sudah terekam di database server discapil Surabaya ? Lantas apa fungsi validasi yang berkelak-kelok selama ini ketika pengurusan e-KTP ? Apa gunanya data-data tersebut kalau hanya untuk disimpan di mesin-mesin server? Padahal semangat untuk memutus rantai birokrasi yang bertele-tele sedang digalakkan pemerintah. Berapa kertas, tinta, waktu yang dibuang untuk proses "offline" bila validasi dan legalisasi dokumen bisa dilakukan secara online ? Mungkinkah gratifikasi bisa dihentikan bila setiap proses "offline/manual" terus dilakukan pejabat RT-RW seraya tetap menyindir-nyindir untuk mengisi kas RT_RW untuk setipa pengurusan pelayanan kependudukan?
Naifnya lagi, setelah saya sampai di kelurahan -tempat dimana e-KIOS berada- petugas kelurahan tetap meminta berkas fisik yang di legalisir. Lantas apa fungsi saya mendaftar online ? Ya, saya kira kita selama ini masih dalam taraf pengenalan tekhnologi e-gov, sosialisasi perlu digalakkan. Pelatihan SDM operator juga wajib digalakkan, kalau perlu kita pilih RT RW yang masih muda dan melek IT.
Maka tak salah bila saya mengambil kesimpulan bahwa pendaftaran online (diinstansi manapun di Indonesia -dalam hal ini yang pernah saya coba :daftar pernikahan, daftar kependudukan, daftar e-samsat) masih ranum, jauh dari bayangan saya ketika saya meminta pelayanan yang berkaitan dengan perbankan. Dengan kata lain, apa yang saya ketik ketika mendaftar online hanya membuat malas para operator, karena secara langsung kita membantu mengetikkan apa yang semestinya mereka melayani kita.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H