Mohon tunggu...
Supriyono Suroso
Supriyono Suroso Mohon Tunggu... profesional -

Authorized Mediator for Conflict Resolution (Pusat Mediasi Indonesia - Sekolah Pascasarjana UGM)

Selanjutnya

Tutup

Money

Profiteering

24 Juni 2012   13:40 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:35 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mencari keuntungan adalah tujuan setiap perusahaan. Tetapi mencari untung tidak boleh dengan menghalalkan segala cara. Keuntungan yang halal adalah keuntungan yang diperoleh dengan berdagang yang adil, jujur, transparan, dan akuntabel. Memang kita masih menemukan sejumlah perusahaan yang memagang prinsip bahwa bisnis ‘yang baik’ adalah bisnis yang memberikan banyak untung. Karena semata-mata mengejar keuntungan (profiteering),perusahaan seringkali bertindak tidak etis. Mengejar untung besar biasanya dilakukan dengan menekan biaya produksi atau memanipulasi proses pemasaran dan penjualan produk. Agar biaya produksi murah, ada perusahaan yang menggunakan tenaga kerja anak-anak, memberlakukan jam kerja panjang dan gaji rendah, atau sistem kerja kontrak untuk menghindari tunjangan dan pesangon. Demikian pula, untuk meningkatkan keuntungan penjualan, sejumlah perusahaan menerapkan cara-cara promosi yang tidak jujur. Ada toko yang menggunakan strategi ‘bait and switch’ yaitu merangsang calon pembeli dengan produk murah, yang sebenarnya tidak tersedia, dan mendorong calon konsumen membeli produk lain dengan harga lebih tinggi. Sejumlah ‘content provider’ telepon seluler menjebak konsumen dengan sistem sedot pulsa otomatis, yang merampas pulsa konsumen tanpa bisa menghentikannya.

Sebenarnya perilaku tidak etis juga sangat dekat dengan lingkungan kita. Kita sering ‘dipaksa’ membeli permen sebagai ganti uang kembalian saat kita berbelanja di toko. Saat kita membeli bensin, petugas SPBU seringkali ‘merampok’ selisih harga pembelian. Dengan alasan pembulatan, sejumlah rumah sakit memaksa kita ‘mengikhlaskan’ membayar sekian ratus rupiah lebih tinggi dari tagihan semestinya.Rupanya, perilaku koruptif sudah menjangkiti hampir semua bidang kehidupan sosial ekonomi kita. Semuanya dilandasi mencari keuntungan yang sebesar-besarnya!

Menurut Bertens (2000), mencari untung tidak boleh hanya asal tidak melanggar hukum karena bisnis yang tidak melanggar hukum, belum tentu tidak melanggar moralitas. Etika diperlukan untuk melengkapi hukum karena lima alasan: (a) hukum tidak mengatur segala sesuatu, (b) hukum sering kalah cepat dari perkembangan bisnis; (c) hukum selalu memiliki celah yang bisa disalahgunakan; (d) hukum sering tidak ditegakkan; dan (e) ketentuan hukum seringkali memiliki multi-tafsir.

Buku Pedoman Prinsip dan Penilaian Bisnis Beretika Berkelanjutan LOS DIY (2007) menyebutkan bahwa ketaatan pada hukum atau peraturan hanyalah salah satu dari 8 indikator etika. Bisnis yang beretika adalah bisnis yang taat pada peraturan atau hukum, transparan, akuntabel, bertanggungjawab, wajar, jujur,berempati, dan independen. Indikator ketaatan pada hukum dan aturanlebih mudah diukur daripada ketujuh indikator lain. Dengan kata lain, dalam mencari keuntungan perusahaan wajib bersikap jujur, wajar, dan bertanggungjawab.

Oleh karena itu, untuk menilai apakah suatu bisnis itu etis atau tidak, Bertens (2000) mengemukakantiga tolok ukur etika bisnis: (a) hati nurani; (b) empati; dan (c) audit sosial. Bisnis yang baik selalu didasarkan pada hati nurani (yang baik). Hati nurani menuntun kita memilih yang baik, dan menghindari yang buruk. Empati menuntun kita untuk memperlakukan orang lain sama seperti kita ingin diperlakukan (empati).Ini sejalan dengan pepatah bijak, “jangan mencubit orang lain bila kita tidak ingin dicubit”. Audit sosial, atau penilaian oleh masyarakat, mensyaratkan bahwa suatu bisnis disebut baik bila menurut pendapat umum adalah baik. Masihkah kita punya hati nurani dan empati dan bisakah audit sosial berperan dalam pencegahan perilaku tidak beretika? Mari kita tegakkan bersama!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun