[caption id="attachment_194159" align="alignleft" width="300" caption="Pelanggaran etika bisnis oleh pengembang properti"][/caption] Masih ada kekeliruan paradigma bisnis yang menganggap etika bisnis sebagai biaya sosial. Mereka beranggapan bahwa etika bisnis adalah saling asing dengan usaha. Terlebih dengan semangat kompetisi, berbisnis adalah memenangkan persaingan. Agar bisa kompetitif, mereka melanggar etika bisnis dengan menekan biaya produksi (dengan cara membayar upah buruh murah), menggunakan iklan bohong (bait and switch), dan menjual produk yang cacat. Suatu ketika, dalam kapasitasnya sebagai komisioner pengawas etika usaha swasta di sebuah kantor Ombudsman di Yogya, penulis mengundang 'terlapor' untuk menindaklanjuti pengaduan dugaan pelanggaran etika bisnis oleh yang bersangkutan. Apa yang dikatakannya saat penulis menyebut etika bisnis? "Bisnis adalah 'to kill or to be killed', membunuh atau dibunuh. Ibarat macan yang mau menerkam seekor kambing, etika bisnis seperti apa yang diterapkan?" Sekilas argumen Bos sebuah perguruan tinggi swasta itu benar. Tapi kalau kita cermat, si Bos itu menggunakan analogi yang terlalu naif dan absurd. Pertama, kita bukan binatang. Macan memang tidak pernah bisa tata krama. Kita manusia, yang diatur oleh norma. Bahkan dalam kegiatan yang disebut kompetisi seperti sepakbola, ada aturannya. Berbisnis juga ada aturannya. Alasan mencari 'profit' tidak boleh menghalalkan segala cara alias 'profiteering'. Ada nilai-nilai kepantasan dan kepatutan yang harus dijunjung tinggi. Kedua, Bapak itu masih menganut paradigma lama, yaitu bahwa beretika hanya menjadi beban biaya. Beliau (yang seorang doktor ekonomi) lupa dengan gejala global yang mengakui etika bisnis sebagai investasi. Coba kita lihat, perusahaan-perusahaan besar seperti Johnson&Johnson, Mercks, dan perusahaan-perusahaan multinasional lain yang eksis dan berkembang justru karena berhasil membangun kesetiaan pelanggan. Masyarakat konsumen semakin kritis dengan tingkat kepatuhan perusahaan pada etika usaha, sehingga banyak yang berlomba dengan kegiatan corporate social responsibility (meski banyak yang meragukan ketulisannya). Bahkan otoritas global pun sudah mengadopsi ecolabeling agar perusahaan tidak menimbulkan dampak negatif pada lingkungan. Kasus serupa ini sangat banyak penulis jumpai. Begitu banyak pembeli properti yang tak mendapatkan hak-haknya sebagai pembeli: tanpa sertifikat, tanpa IMB, tanpa saluran drainase, tanpa fasilitas umum / sosial. Ribuan atau jutaan orang 'menangis darah' karena 'investasi' mereka ternyata justru hangus, dilarikan bank atau koperasi. Dan, jutaan karyawan harus rela 'berhemat' karena hak-hak normatif mereka tidak dipenuhi. Itikad jujur pelaku usaha (termasuk pelaku usaha di sektor pelayanan publik seperti pendidikan dan kesehatan) mungkin belum sepenuhnya dianut. Maka, sepertinya masyarakatlah yang harus 'teliti sebelum membeli'. Masyarakat harus menjadi berdaya sehingga bisa memilih mana bisnis yang baik, dan mengucilkan bisnis yang curang. Konsep konsumerisme dari Ralph Nader semestinya bisa menjadi parameter hak-hak konsumen: produk yang baik, promosi yang jujur, dan praktek bisnis yang adil.Pembeli yang cerdas akan punya posisi tawar yang sejajar dengan penjual. Tanpa pembeli, bisakah penjual bertahan hidup?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H