Mohon tunggu...
supriyono
supriyono Mohon Tunggu... Dosen - Wong Ndeso

Serve beyond the expectation

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sekilas Pendidikan di Jepang: Membudayakan Kesadaran

12 November 2019   08:30 Diperbarui: 12 November 2019   08:35 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi hari berkabut, dingin dan hujan tidak menyurutkan niat lelaki yang sudah berumur di atas 70 tahun tersebut untuk menyalakan mobil kecil yang terparkir di depan apartemennya. Lelaki tersebut bukan ingin berangkat ke kantor seperti orang pada umumnya, namun dia dan beberapa teman sebayanya membantu sekolah-sekolah di wilayahnya.

Dia memastikan bahwa setiap anak sekolah terutama sekolah dasar (SD) berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki dalam keadaan aman. Patroli keliling di jalan-jalan perkampungan dan memastikan bahwa siswa sampai di sekolah dengan selamat. Terkadang dia harus berhenti sebentar untuk membantu  siswa-siswa menyeberang jalan, mengatur dan menjaga anak-anak dari perilaku yang kurang baik di jalan. Hal tersebut Ia lakukan setiap hari dan bergantian dengan anggota masyarakat yang lain.

Sangat senang sekali rasanya saya dapat kesempatan berbincang dengannya. Banyak hal dalam benak saya yang kemudian saya tanyakan. Ternyata selama menjalankan tugas tersebut Ia tidak mendapatkan gaji dari siapapun. Pekerjaan itu Ia lakukan dengan tulus atas dasar pengabdian ke dunia pendidikan di wilayahnya.

Pekerjaan tersebut juga dilakukan bergantian dengan penduduk yang lain yang memiliki dedikasi yang sama. Mereka membentuk kelompok yang terdiri dari beberapa orang untuk melakukan tugas tersebut secara bergantian. Kesadaran masyarakat dalam membantu mengembangkan pendidikan memang sangat tinggi di Jepang, karena mereka memiliki keyakinan bahwa dengan pendidikan yang baik akan menciptakn generasi muda negara tersebut menjadi lebih baik. 

Memanfaatkan libur perkuliahan, hari itu saya juga berkesempatan berkunjung ke sekolahan-sekolahan mulai dari sekolah dasar (Shogakkou), sekolah menengah pertama (Chugakkou) dan sekolah menengah atas (Koukou). Ada banyak hal yang membuat saya heran, saya tidak menemukan kantin di setiap sekolah-sekolah yang saya kunjungi tersebut. Ternyata ada 2 hal terkait makan siang buat para siswa. Pertama sekolah menyiapkan makanan untuk semua siswa artinya semua siswa mendapatkan makanan dengan variasi yang sama.

Untuk kondisi yang pertama ini yang menarik adalah semua siswa terlibat dalam menyiapkan makanan dan membagi ke teman-temannya, membersihkan dapur, mencuci piring dan menata kembali semua peralatan. Sedangkan tipe yang ke dua, semua siswa sudah membawa bekal masing-masing dari rumah. Bahkan jika siswa ketahuan tidak membawa bekal maka orang tuanya akan di panggil ke sekolah untuk mengetahui penyebab tidak memberikan bekal makanan ke anaknya.

Teguran tersebut seolah ampuh untuk mengingatkan orang tuanya dalam menyiapkan bekal makanan setiap harinya. Kembali lagi ke budaya malu yang tertanam di masyarakat Jepang, teguran tersebut membuat orang tua merasa malu jika lupa menyiapkan bekal ke anak-anaknya. Bahkan jika memungkinkan, guru akan datang ke rumah orang tua siswa untuk memastikan keadaan dan berdiskusi lebih lanjut. Suasana kekeluargaan sangat terasa di sekolahan.  Bagi siswa-siswa tersebut sekolah ibarat rumah ke dua bagi mereka.  

Hampir disemua sekolah menengah atas (Koukou), tidak ada siswa yang memakai kendaraan bermotor, semua siswa berjalan kaki atau naik sepeda. Namun demikian, untuk dapat membawa sepeda ke sekolah pun mereka harus memenuhi persyaratan diantaranya ketentuan jarak rumah ke sekolah.

Seorang siswa hanya boleh memakai sepeda jika jarak rumah relatif jauh, izin untuk memakai sepeda akan diberikan oleh pihak sekolah, sedangkan siswa yang relatif dekat dengan sekolah harus berjalan kaki. Apabila jarak sekolah relatif jauh dari jarak penggunaan sepeda yang ditentukan, mereka dapat menggunakan angkutan umum terutama kereta api dengan mendapatkan kartu khusus yang sangat murah. 

Tidak berhenti di situ, ketika saya banyak melihat siswa-siswa yang membersihkan ruang kelas, membersihkan taman, menata buku, dan lain-lain, saya berpikir mereka sedang kerja bakti seperti yang dilakukan para siswa di Indonesia. Namun ternyata, setiap sekolah di Jepang tidak memiliki staff atau pegawai khusus untuk membersihkan ruang kelas, dapur, taman dan lain-lain.

Sebagai gantinya para guru dan siswa bahu membahu membersihkan ruangan kelas setiap selesai pelajaran, mulai dari menyapu, mengepel lantai, membersihkan papan tulis, dan membuang sampah yang telah dipisah-pisah sesuai dengan bahan atau jenis sampah. Hal ini tidak hanya di sekolah tingkat dasar bahkan di perguruan tinggi pun melakukan hal yang sama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun