KEKERASAN DI TEMPAT KERJA
Ada seorang bapak mendapatkan kekerasan emosional di tempat kerja dari bossnya sendiri. Hampir setiap hari ia mendapatkan omelan yang tidak jelas untuk pekerjaannya yang sudah dilakukannya dengan benar, apalagi jika salah dalam mengerjakannya. Disalahkan, direndahkan dengan dimarahi di depan orang lain, digoblok-goblokan, adalah hal yang sering diterimanya. Bapak ini menjadi serba salah dalam melakukan sesuatu. Takut salah dan dimarahi. Apa sudah benar? mana yang salah? itu yang selalu ada di dalam pikirannya.
Bapak ini keadaan finansialnya cukup baik. Jika ia harus keluar dari pekerjaan, saya rasa ia masih bisa makan esok hari sambil mencari pekerjaan baru. Pengalaman kerjanya pun baik. Tapi ini tidak dilakukannya. Ia pernah "ngambek" tidak masuk akibat dimarahi bossnya. 2 hari kemudian masuk kerja dan beberapa hari kemudian mogok kerja lagi. 3 hari kemudian masuk kerja lagi...dan mengeluh lagi terhadap perlakukan bossnya.
Mereka yang mengambil posisi sebagai boss, tentu menyadari ada perbedaan kerja keras antara menjadi karyawan dan pemilik usaha. Saya kira tidak semua pemilik usaha menjadi kasar akibat persaingan usaha, membayar upah karyawan, peraturan pemerintah, atau pungutan-pungutan. Lalu kalau begitu ada hal lain yang menjadikan satu orang lebih kasar dari yang lainnya, yaitu kualitas pribadinya.
Sebagaimana pada umumnya pelaku kekerasan, ia akan selalu menyalahkan orang atas semua pekerjaan yang dilakukan orang lain baik itu benar apalagi salah. Pelaku juga akan selalu melemparkan kesalahan pada orang lain untuk kesalahan yang dibuatnya sendiri. Boss si bapak ini membawa-bawa rasa malu yang beracun (toxic shame). Ia malu terlihat lemah, ia malu sebenarnya ia tulul. Ia malu dengan dirinya sendiri, sehingga ia harus terus menerus menutupi dirinya dari terlihat lemah dengan berlaku seolah-olah tampil sempurna. Pertanyaannya mengapa ia sampai malu dengan dirinya sendiri?.
Orang yang terluka, melukai orang lain. Bapak ini tidak sadar bahwa bossnya sedang men-transfer toxic shame kepada dirinya. Sebagaimana bossnya memiliki masalah inti harga diri yang rendah, bapak ini sedang dibuat harga dirinya rendah. Dilihat dari keadaan finansialnya, bapak ini seharusnya mampu tegas terhadap perlakukan bossnya. Tidak ada alasan "besok mau makan apa" jika ia harus keluar dari pekerjaannya. Uang atau kekayaan memang tidak bisa menggantikan ketegasan/kepercayaan pada dirinya sendiri.
Bapak ini tidak tahu dampak dari kekerasan di tempat kerja yang dilakukan bossnya, sehingga ia tidak bisa melihat secara jernih pada permasalahan yang dihadapinya. Kekerasan emosional selalu membuat korban memandang dirinya yang bersalah atas apa yang terjadi. Memang, tujuan dari kekerasan emosional adalah membuat korban merasa bersalah.
Jika kesadaran ini ada pada bapak itu, dan jika ia belum bisa tegas untuk keluar dari pekerjaannya, minimal membangun kekuatan agar suatu saat dapat berdiri gagah meninggalkan bossnya karena dirinya lebih dihargai di tempat lain.
Supriyatno
Counselor,Trauma Therapist, Freelance Writer, Founder of Peduli Trauma
http://www.wix.com/supriyatno/personalsite
http://www.facebook.com/groups/pedulitrauma/
E-mail: pedulitrauma@gmial.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H