Generasi Pentol Bakso
Keluarga kami cukup menyukai masakan bakso. Kalau sedang mau makan bakso, segala daya dan upaya dilakukan agar segera terwujud keinginan itu. Hasrat untuk menikmati masakan bakso sering muncul secara tiba-tiba. Siang, senja, atau malam hari muncul keinginan, segera diwujudkan.
Siang bolong pas ingin makan bakso, segera cari tukang bakso atau mengunjungi penjual bakso di warungnya. Tukang bakso keliling dengan sepeda motor kadang lewat depan rumah, kadang tidak lewat. Saat ia lewat mungkin pas tidak ada keinginan untuk makan bakso. Pada hari lain, saat tidak ada tukang bakso lewat, keinginan untuk menikmati kehangatan bakso muncul secara tiba-tiba. Pada saat itulah segala daya dan upaya dilakukan untuk mendapatkan masakan bakso.
Sering warung langganan tutup saat keinginan makan bakso muncul. Untuk itu perlu "bergerilya" mencari warung lain yang menjual masakan bakso. Hal itu sering membuat jengkel karena kalau satu warung bakso tutup, warung lain juga banyak yang tutup.
Anak Kedua Dilahirkan Gara-Gara Kuah Bakso
Pada tahun 1993, istri tercinta hamil anak kedua. Waktu itu pas hamil tua. Sejak siang hari istri tidak mau makan nasi. Hasratnya ingin makan bakso. Kebetulan saat itu belum banyak penjual bakso keliling. Warung bakso pun bisa dihitung dengan jari dan lokasinya cukup jauh dari rumah sewa kami.
Malam-malam saya dengan mengayuh sepeda ontel mendatangi warung yang menjual bakso. Jarak sekitar lima kilometer. Jalanan cukup gelap. Saat tiba di warung yang menjual bakso, ternyata pentol baksonya sudah habis.
"Tinggal kuahnya saja!"
Begitu jawab sang penjual. Saya pun berterus terang bahwa istri tercinta sedang hamil dan sangat ingin makan bakso. Sang penjual pun memberikan kuah bakso yang tersisa dengan gratis, tidak mau dibayar. Saya merasa terharu atas pemberian kuah bakso gratis tersebut.
Sampai di rumah sewa, istri tercinta sangat lahap menikmati kuah bakso itu. Saya cukup heran. Sebelumnya, sama sekali tidak ada selera makan. Begitu ada aroma kuah bakso, semangat makannya luar biasa.
Beberapa jam kemudian, istri tercinta minta dipanggilkan dukun beranak berlisensi. Saat itu masyarakat masih boleh melahirkan dengan meminta pertolongan dukun bayi (dukun beranak) yang berlisensi (ada izin dari puskesmas). Istri sudah memiliki referensi dukun beranak yang diinginkan. Dengan begitu, saya tinggal memanggil ke rumahnya. Kalau tidak salah, dukun beranak itu merupakan orang tua ketua RT di lingkungan kami.