Bahasa Ibu Bahasa Indonesia
Hidup di perantauan harus pandai-pandai menyesuaikan diri. Orang yang merantau pada umumnya sudah siap menghadapi berbagai tantangan yang menghadang di tempat pemukiman barunya. Perantau tidak melulu orang yang "tidak punya apa-apa".
Sebagian perantau adalah orang yang memang mendapatkan tugas baru di perantauan. Sebelumnya, ia hidup pada lingkungan yang homogen, baik dilihat dari sisi budaya, termasuk penggunaan bahasa sehari-hari.
Tiba di perantauan, banyak orang dari berbagai daerah dengan budaya dan bahasa yang tidak sama. Saat itulah peran bahasa Indonesia sangat menonjol.
Mereka tidak lagi memakai bahasa daerah untuk berkomunikasi dengan 'teman' baru dari wilayah lain di Indonesia. Sama-sama dalam lingkungan kerja atau tempat tinggal perlu berkomunikasi yang efektif.
Dari situlah peran bahasa Indonesia sebagai pemersatu bangsa sangat tampak. Agar dapat berkomunkasi dengan lancar, bahasa nasional yang digunakan.
Perantau Sejak 1987
Saya merantau sejak akhir tahun 1987 di Kalimantan Timur. Ada surat tugas yang mengharuskan saya menjadi guru pada sebuah SMA di Kecamatan Penajam, Kalimantan Timur. Waktu itu saya masih lajang, usia baru 23 tahun. Dua tahun kemudian menikah dengan gadis dari Magelang. Dua tahun berikutnya, 1991, putra pertama dilahirkan.
Untuk mengajari berbicara anak pertama itu, kami menggunakan bahasa Indonesia. Hal itu kami lakukan mengingat lingkungan tempat tinggal kami di Penajam beragam asal usulnya (dari daerah yang beragam).
Pada tahun 1993, putra kedua dilahirkan. Semakin ramai suasana rumah tangga kami. Bahasa Indonesia tetap kami gunakan untuk berkomunikasi.
Permasalahan muncul ketika anak-anak sudah mulai sekolah. Saat mudik ke Jawa, anak-anak kurang dapat berkomunikasi dengan kakek dan nenek di Jawa. Orang tua kami (ayah ibu kandung dan mertua) lebih lancar menggunakan bahasa daerah.